Hal. 1 | Bocah Malang Bag. 1

755 38 34
                                    


Bab 1 | Bocah Malang

"Si– siapa yang melakukan ini ... kenapa ayah harus ... ayah ... jangan mati!"

Sungguh tragis, kematian ayahnya jelas di depan mata. Sulit menerima akan kenyataan pahit itu.

Kesedihan, penyesalan, kedua hal itu hadir dalam dirinya.

Warga desa juga turut berduka. Bahkan di hari pemakaman pun ramai didatangi warga. Lantaran mendiang sudah banyak mengajari silat kepada anak-anak desa.

Mendiang memiliki seorang anak laki-laki bernama Bayuaji Gundawasih. Dalam pemakaman, ia terus-menerus menyalahkan warga desa khususnya para murid mendiang. Amarahnya bukan berasal dari silat yang mereka pelajari, tetapi karena mereka tidak bisa melindunginya.

Membekas luka yang amat dalam di hati, sebab keluarga satu-satunya yang Bayuaji miliki kini telah tiada. Ia bahkan belum sempat meminta maaf kepadanya.

Kesedihan memancing amarah yang besar. Yang kemudian lama-kelamaan berubah menjadi dendam yang mendidih.

"Aku akan balas dendam! Ayah ...!" Sumpah itulah yang membulatkan tekad Bayuaji untuk meninggalkan rumah dan kampung halamannya.

Bayuaji memutuskan pergi hanya membawa beberapa makanan dan uang. Lalu segera bergegas meninggalkan rumah.

Sebelum meninggalkan desa, Bayuaji menyempatkan diri mengunjungi makam ayahnya. "Aku telah bersumpah untuk membalaskan dendammu ... semoga kau tenang, ayah ...!"

Bayuaji Gundawasih, tekadnya sudah bulat untuk pergi berpetualang demi balas dendam. Namun petualangan tersebut tidaklah mudah, sebab dunia ini telah didominasi oleh silat.

Kekayaan, kemegahan, dan kekuasaan, semuanya mudah didapatkan oleh seorang pendekar. Tak hanya itu, pendekar juga menimbulkan banyak bencana. Menjilat, memfitnah, bahkan membunuh, kesemuanya dilakukan demi mencapai paling atas.

Dunia itulah yang sekarang Bayuaji masuki, dunia yang begitu kejam, apalagi untuk bocah berumur 12 tahun.

Beberapa hari setelah perjalanan, sampailah Bayuaji di sebuah kota. Kota itu disebut kota Kapur, kota yang begitu kusam. Bangunan-bangunannya ambruk. Tak heran, pasti disebabkan kekuasaan yang terus berpindah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pendekar-pendekar yang haus kekuasaan.

Seketika turun hujan di saat Bayuaji baru sampai. Jadi Bayuaji memilih berteduh daripada melanjutkan perjalanan. Tik, tik! "Hujan-hujan begini ... berteduh di pinggir jalan memang pilihan yang tepat," ucapnya.

"Hooh ... aku sangat mengantuk ...!" Tanpa disadari, Bayuaji tertidur di pinggir jalan. Ia tidak bisa menahan kantuk setelah perjalanan yang panjang.

Hingga 2 jam telah berlalu, akhirnya Bayuaji terbangun dari tidur. Ia menyadari akan sesuatu yang janggal, yakni barang bawaannya telah hilang saat terbangun. "Astaga ... apa yang harus kulakukan? Aku tidak punya apa-apa untuk bertahan hidup ...?"

Kebingungan mulai menyertai. Bagaimana tidak? Bayuaji baru saja kehilangan barang bawaan yang terdiri dari uang dan makanan. Perutnya mulai lapar. Namun ia tidak punya uang atau makanan untuk bertahan.

Pikiran Bayuaji yang sebelumnya berpikir semua akan baik-baik saja, mulai berpikir cara ke depan untuk bertahan hidup. Yang penting bisa makan, menurutnya sudah cukup.

Dalam keadaan yang sangat lapar, Bayuaji melihat tempat sampah. Terlihat beberapa makanan di sana. Tentu saja makanan itu adalah makanan sisa. Dengan terpaksa ia harus memakannya, tetapi dalam kondisi tertentu ia tidak dapat makanan itu. Karena hidup gelandangan, tidak semudah apa yang dipikirkan.

Bersambung

Jangan lupa vote, comment, dan follow agar tidak ketinggalan halaman terbaru!

Donasi: https://trakteer.id/aprizaprasetio

Tanggal rilis: 25 Oktober 2020

Author: Apriza Prasetio

JAWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang