Hal. 9 | Padepokan Bag. Akhir

209 16 2
                                    

Letak sungai yang dituju sangat jauh dari padepokan. Mereka harus berjalan kaki sampai ke sana. Lantaran harga tumpangan kuda juga sangat mahal.

"Aku tidak sabar ingin memancing," celetuk Bayuaji.

"Sabarlah sedikit, Ji!"

"Hasta ... apa kita akan memancing ikan hiu?"

" ...."

Beberapa lama kemudian, akhirnya mereka sampai di sungai. Perjalanan mereka memakan waktu 1 jam.

Tampak sungai dengan ukuran lebar tetapi dengan warna air yang keruh. Terlihat berwarna coklat gelap, tidak ada satu pun ikan-ikan yang berenang.

"Bukannya sungai ini kemarin jernih ...?" ucap Ujang.

Mereka bertiga kebingungan kecuali Bayuaji karena ia belum pernah melihat sungai tersebut. Takut mengecewakan Bayuaji, mereka lanjut saja memancing tanpa memikirkannya.

Kail pancing mereka lempar ke dalam sungai. Dan menunggu layaknya orang memancing pada umumnya.

Mereka terus menunggu dalam waktu yang lama. Hingga 1 jam kemudian mereka tidak mendapatkan apa-apa.

Mereka pun mengangkat kailnya dan berpindah posisi memancing. Namun, tali yang di dalam sungai itu sudah tidak ada lagi. Lebih tepatnya telah dihanguskan air seperti air keras.

"Airnya kenapa menjadi seperti ini?" ujar Juna. Menanggapinya, Hasta merasa kecewa. Mereka bertanya-tanya kenapa hal itu terjadi.

Untungnya mereka berjumpa dengan warga setempat yang kebetulan lewat. Lalu semua hal yang terjadi dijelaskan oleh warga tersebut.

Tidak disangka ternyata semua ini disebabkan air yang tercemar. Air sungai dikatakan tercemar karena wabah telah menyebar di desa Makmuran.

Wabah itu mulai menyebar dari orang dewasa hingga anak-anak.

"Namaku Pak Slamet ... aku asli warga desa sini ... mari ikuti aku, kalian pasti sudah lelah." Bayuaji, Ujang, dan Juna diantar Pak Slamet ke rumahnya di desa.

"Silakan diminum bocah ... tenang saja, air ini aman."

Wabah yang menyebar sudah sangat parah. Penyebabnya karena air sungai digunakan mandi dan minum setiap hari. Alasan tercemarnya sungai juga masih belum diketahui. Sekarang pasien hanya bisa pasrah dirawat di balai desa.

Mendengar ceritanya, menarik simpati mereka bereempat untuk membantu.

Memang, bantuannya bukan berupa solusi. Namun dengan menjadi pesuruh di sana, sudah cukup membantu tenaga medis.

"Kudengar ... Pak Wayan punya obatnya ...!" bisik-bisik tenaga medis. Tentu saja jika sudah ada obat penangkalnya, Bayuaji sudah tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Namun, Pak Slamet mengatakan hal sebaliknya.

"Percuma saja, jika obatnya dijual mahal ...  kami tidak mampu membelinya,"

"Jahat sekali ... kenapa dia tidak memberikannya saja ...?" tanggap Juna.

Memang seharusnya begitu, tetapi harga produksi obat juga tinggi, apalagi keadaan kerajaan sedang kritis. Jika seperti itu, pantas saja dijual dengan harga mahal.

Bersambung

Jangan lupa vote, comment, dan follow agar tidak ketinggalan halaman terbaru!

Donasi: https://trakteer.id/aprizaprasetio

Tanggal rilis: 3 November 2020

Author: Apriza Prasetio

JAWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang