Hal. 5 | Padepokan Bag. 1

318 22 2
                                    


Bab 2 | Padepokan

"Ayah ... aku bosan makan singkong rebus terus ... kenapa ayah mengajari silat cuma-cuma ...?"

"Bay ... aliran ini akan terus ayah ajarkan ... suatu hari kau akan kuajari juga ...!" lirih ayah Bayuaji.

Bayuaji selalu menganggap ayahnya hanya membuang-buang waktu saja. Menurutnya, mengajari silat cuma-cuma akan terus membuat keluarga mereka tetap miskin.

Tiba-tiba terdengar suara pintu yang dibuka keras. Ternyata pintu itu dibuka oleh para penagih utang. Mereka selalu masuk begitu saja ke dalam rumah mereka. "Pak Gundawasih ... tolong bayar utangmu! Jangan menunggak," resah para penagih utang.

Dalam kondisi keluarga Bayuaji sekarang, ayahnya tidak akan mampu membayar utang tersebut. Bahkan berulang kali terus meminta waktu lebih lama untuk melunasinya.

"Tolonglah, tuan ... berikan aku waktu sebentar lagi ...." Mendengar itu, para penagih memutuskan akan memberi waktu lebih lama lagi. Sebenarnya para penagih ikut sedih melihatnya, tetapi jika dikasihani mereka akan kehilangan pekerjaannya.

Keluarga Gundawasih adalah keluarga yang miskin di desa. Mereka sampai harus berhutang dengan bunga yang tinggi. Hampir tiap hari rumahnya terus didatangi oleh penagih utang.

"Sudah kukatakan ... kau berhenti saja menjadi guru silat!" gerutu Bayuaji.

"Maaf, Bay ... aliran ini akan terus ayah sebarkan ...!"

"Seharusnya ayah harus berhenti berpikir hal bodoh semacam itu ... aku sudah muak padamu sejak ibu tiada!"

Makin hari, Bayuaji tambah muak mendengar bualan ayahnya lagi. Hingga mendorongnya meninggalkan rumah untuk menenangkan diri.

Biasanya, Bayuaji pergi ke pinggir sungai untuk menenangkan diri. Sungai itu berada tepat di ujung desa. Suara gemericik airnya merupakan penawar hati untuk menenangkan jiwa.

Di sana Bayuaji melihat seorang gadis kecil. Gadis kecil itu memakai penjepit rambut bunga melati.

Namun gadis kecil itu nampak sedang menangis. Tak tega melihatnya terus menangis, Bayuaji ingin menghiburnya agar berhenti menangis.

"Hai ... namaku Bayuaji ... sedang apa kau di sini ...?"

"Aku ... Kirana,"

Bayuaji memikirkan sesuatu agar Kirana bisa berhenti menangis. Kebetulan, di pinggir sungai banyak tumbuh bunga melati. Dengan terburu-buru, bunga melati diambil satu per satu untuk diberikan kepada Kirana.

"Ini ... kuhadiahi bunga melati!  Jadi berhentilah menangis ya ...!"

"Te–terima kasih ... ngomong-ngomong kenapa kau juga sedih ...?"

Kemudian Bayuaji menceritakan semua yang terjadi kepada Kirana. Mendengar cerita itu, Kirana langsung mengomel. Kirana tidak suka jika Bayuaji tidak pulang-pulang.

Seketika Bayuaji terus memikirkan kesalahannya. Setelah dipikir-pikir, ia sudah membuat ayahnya khawatir.

Akhirnya, Bayuaji memutuskan untuk kembali ke rumah. Sekarang ia merasa sangat bersalah dan langsung meminta maaf atas perbuatannya.

Sesampainya di rumah, Bayuaji melihat kejadian yang tidak terduga. Ayahnya terbaring di depan mata dalam kondisi tak bernyawa. Perutnya terlihat sudah dilukai oleh senjata tajam. Luka itu menembus hingga punggungnya. "Ayah ... jangan mati! Jangan tinggalkan aku ...,"

Banyak barang-barang berjatuhan di rumah Bayuaji. Khususnya di dalam ruangan kamar ayahnya. Lemari-lemari yang terdapat di dalam kamar itu telah rusak parah akibat diobrak-abrik.

"Ayah ...."

"Ayah? Apa kau merindukan ayahmu ...?" tanya pria bandana putih sambil menggendong Bayuaji. "Iya ... aku sangat merindukannya ...."

Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Tempat yang dimaksud pria itu ialah padepokan silat.

Padepokan itu nampak seperti bangunan tua yang kusam. Di gerbangnya ada tugu bertuliskan aliran Cakar Kera.

Bayuaji dan pria itu langsung saja masuk ke dalam gerbang. Di dalamnya langsung diperlihatkan beberapa anak yang sedang berlatih.

"Rupanya itu kau, Sakar ... bocah itu siapa?" tanya kakek tua.

"Kenalkan dirimu, bocah ... beliau adalah guruku di padepokan ini," tegas Sakar.

"Aku ... Bayuaji Gundawasih ...." Kakek tua itu terlihat pernah mendengarkan namanya di suatu tempat. Nama yang sudah lama tak ia dengar bertahun-tahun.

Bersambung

Jangan lupa vote, comment, dan follow agar tidak ketinggalan halaman terbaru!

Donasi: https://trakteer.id/aprizaprasetio

Tanggal rilis: 29 Oktober 2020

Author: Apriza Prasetio

JAWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang