Dalam sebuah kamar, terdengar tangisan anak kecil. Dia tengah memangku seorang bapak-bapak tua. Mata anak itu berkaca-kaca mengalirkan air mata hingga berwarna merah. Menetes masuk memenuhi robekan dada bapak itu. Dadanya terkoyak lebar, darah kental pula bercucuran. Timbul sayatan kecil menyelimuti dadanya.
"Kenapa harus sekarang ... Bapak," perasaan dia bercampur-aduk, antara sedih juga menyesal. Dirangkul erat oleh kedua perasaan itu.
Namanya Bayuaji Gundawasih. Seorang anak berusia 12 tahun. Dia baru saja mengetahui kenyataan pahit. Mulai dari sekarang, kehidupan mengharuskannya untuk hidup sebatang kara.
Ketukan pintu membesit dari arah luar. Lantas Bayuaji menggeletakkan jasad bapaknya kemudian mendatangi pintu depan.
Belum sempat menggapai gagangnya, pintu itu perlahan terbuka oleh tangan yang berlumuran darah. Tampak muka seperti dia pernah mengenali pemuda itu. Di belakangnya ramai orang berkerumun.
Bayuaji lepas memukul-mukul dada pemuda itu. "Maafkan aku ... maafkan aku," sorot mata berkaca-kaca darinya. "Ini semua salah kalian ...."
"Maafkan aku—tidak ... maafkan kami." Mengalir darah dingin orang itu di kelopak mata Bayuaji sampai bawah dagu. Dia menatap seraya mata berlinang. Pundak Bayuaji ditepuk, terus-menerus mengulang permintaan maaf.
Sontak Bayuaji tersadar—kala mengamati sisi belakang orang itu. Kendati darah mengucur lengkap dengan sayatan-sayatan. Mereka seakan-akan pernah mengalami kematian. Ditepuk kembali pundaknya hingga tangis semakin menjadi-jadi.
"Aku Suraga ... biarkan warga desa memakamkan Bapakmu, Dik."
Bayuaji masih tergagap lantaran air mata yang mengering. "Dik ... putrinya kepala desa juga sama," dia terdiam sambung melirik mata kosong para penduduk desa. "Barusan aku bertemu Kirana—dan sekarang." Di langit hitam, tiba-tiba bergemuruh. Suraga hanya bisa merangkul anak kecil itu.
Tidak ada luka yang lebih sakit kecuali luka hati. Menangislah Bayuaji, Suraga, dan para penduduk desa di bawah awan gelap. Kini mereka sedang dikikis oleh luka itu.
"Sudahlah, kami langsung memakamkan Bapakmu bersama yang lain." Bayuaji tetap gemetar tak kuat berdiri. Dia terdorong oleh kerumunan warga. Masuk ke dalam kamar—menjemput tubuh tanpa nyawa.
Hari ini, desa mendadak sunyi, pasalnya warga desa tengah berkumpul di satu tempat. Berhias awan mendung disertai gemeresik sekop. Lahan kosong sekejap berubah menjadi gundukan tanah dan tumpukan batu. Suasana duka didukung pula bersama langit yang ikut menangis. Bayuaji hanya berdiri sambil merenung. Pakaiannya basah kuyup tatkala terus berdiri ... menghadap tepat pada makam Bapaknya.
"Aku telah bersumpah, Bapak ..." tercelik hawa panas di hati anak kecil itu, "aku akan membalas semuanya," dia diam seperti itu sampai matahari terpejam.
Tengah malam
Bayuaji mengikal nasi yang masih tersisa. Membungkusnya padat dalam untaian serbet. Teledornya, dibukakan kembali bungkus itu. Dia hampir lupa memasukkan keping-keping uang.
"Maaf, Bapak." lirih Bayuaji. Di sebelahnya, tiba-tiba muncul gebrakan, rupanya cuma jendela yang tertiup angin, "mulai dari sekarang aku pergi—alam sudah berpesan," akhirnya keluar. Dia menginjakkan kaki sembari mendengar bentakan antar daun kelapa. Kulit sudah serasa menggigil—pepohonan jua berayun-ayun. Sepanjang jalan semata remang-remang sinar obor.
***
Tersengal-sengal penuh keringat bercucuran, sekiranya jutaan langkah telah Bayuaji injak di jalan lumpur tidak terbatas ini. Sudah melewati banyak pohon selama lima hari, belum juga berjumpa permukiman. Lidah yang kering sambil tersorot cahaya terang mentari pagi.
![](https://img.wattpad.com/cover/245541924-288-k302298.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JAWARA
FantasySeorang anak kecil bernama Bayuaji Gundawasih. Dia baru saja ditinggal oleh anggota keluarganya. Emosi membawanya nekat untuk membalas dendam. Berjuang mencari kekuatan di dunia era silat. Cerita pertama kali dipublikasikan pada tanggal 25 Oktober 2...