Hal. 2 | Bocah Malang Bag. 2

438 31 4
                                    


Terkadang, makanan sisa yang dipungut Bayuaji sering dirampas oleh gelandangan lain. Namun ia tidak berani melawan. Gelandangan dianggapnya menyeramkan, padahal ia juga sama menyeramkan.

Perutnya sangat kelaparan, pakaiannya juga kotor, dan tubuhnya bau karena lama tidak mandi. Sekarang Bayuaji terlihat seperti gelandangan. Sungguh nasib yang malang.

Ke sana ke mari mencari makanan tetapi tak menemukan apapun. Bayuaji terus berkeliling dan mencari, hasilnya juga sia-sia.

Tinggal sendiri, di saat sedang kelaparan. Tidur, di saat cuaca dingin. Bangun, di saat tidak ingin bangun. Itulah mimpi buruk yang sedang dialami Bayuaji. Hanya saja, mimpi tersebut tidak pernah berakhir.

Hari-hari telah berlalu semenjak kepergian ayah Bayuaji. Tentu saja, ia masih sangat merindukannya. Sudah lewat beberapa hari, ia tak tahu harus berbuat apa.

Sampai suatu hari, Bayuaji melihat kantong yang tampak berisi uang di pinggir jalan. Kantong itu persis berada di dalam saku pemiliknya.

"Jika aku merampasnya ... itu artinya ... aku bisa membeli makanan ...!" ucapnya. Niat itu timbul, tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya. Namun keraguannya lebih kecil dibanding niat tersebut. "Baiklah ... aku akan merampasnya ... selagi pemiliknya berbicara dengan orang lain!"

Brak! Ia tertabrak sesuatu saat merampas kantong itu. Mulai panik, Bayuaji langsung berlari dari pemiliknya.

"Bocah ... apa yang kau bawa? Kembalikan ... itu milikku!" teriak pemiliknya. Kemudian ia mengejar Bayuaji. Lantas Bayuaji berlari dari kejaran pemilik kantong itu.

Sejak kecil, Bayuaji suka sekali bermain kejar-kejaran. Tentu saja, ia dengan mudah meloloskan diri. "Huh ... dengan ini ... aku bisa membeli makanan ...."

Setelah perbuatan itu, Bayuaji terus-menerus melakukan perbuatan yang sama. Merampas, mencuri, dan mengambil setiap barang berharga yang dilihatnya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tetap harus dilakukan.

Akhirnya, Bayuaji bisa membeli makanan dan pakaian ganti. Namun ia tidak berani menyewa penginapan. Lebih memilih tinggal di bangunan tua yang sepi. Bangunan itu kotor, tetapi cukup aman untuk ditempati.

Malamnya ditemani nyamuk, siangnya dirindukan kecoak. Waktu Bayuaji dihabiskan untuk merampas dan mencuri barang-barang yang dilihatnya.

"Apa aku akan terus-terusan seperti ini ... lalu ... sumpahku ...? " Bayuaji menangis, sumpah itu hampir terlupakan. Sumpah yang membawanya sampai sejauh ini.

Suatu malam di sebuah restoran, terlihat seorang pria yang tampak jelas seorang pendekar. Ia berbadan kekar dengan pakaian hitam.

"Sabuk warna jingga ...? Lambang kilat dan bunga ...? Pria ini ... sudah pasti dia pendekar dari aliran Tepus Guntur!" ucap Bayuaji.

Bayuaji merencanakan sesuatu untuk merampas kantong yang dibawanya. Memang awalnya takut, tetapi Bayuaji tetap akan melakukannya.

Bayuaji terus melirik kantong itu. Di matanya terlihat kantong berisi uang yang sangat banyak.

Tanpa waktu yang lama, ia langsung menjalankan rencananya. Brak! Meja dilompati Bayuaji. Kemudian ia langsung mendekati meja pria itu.

"Aku ambil kantong ini ya, brengsek!" Bayuaji merampas kantongnya. Sampai-sampai meja dan kursi kosong di sana berantakan. Sontak para tamu restoran kaget, tetapi tidak untuk orang yang disebut pendekar itu.

Jegeer! Tangannya diulurkan ke leher Bayuaji untuk mencengkramnya. Gerakan yang dilakukannya tampak seperti kilat yang menyambar.

Akhirnya Bayuaji tertangkap olehnya. Tak ada harapan lagi untuk lepas dari cengkraman itu.

"Anak gembel itu ... sudah pasti dia akan mati ...!" bisik para tamu restoran.

Bersambung

Jangan lupa vote, comment, dan follow agar tidak ketinggalan halaman terbaru!

Donasi: https://trakteer.id/aprizaprasetio

Tanggal rilis: 26 Oktober 2020

Author: Apriza Prasetio

JAWARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang