Bab - 42 | One fine day

1.1K 144 2
                                    

Pagi datang lagi. Matahari mengacungkan diri dengan cerianya. Berbanding lurus dengan Kana yang masih curat-marut hidupnya, tercabik-cabik hatinya, perasaan porak-poranda yang entah sampai kapan akan memerangkapnya.

Kana ingat, suatu kali Noah pernah berkata, "Melewati cobaan itu ada tiga tahap, Na. Sabar, menerima, iklas."

Saat itu mereka sedang menyaksikan talkshow-agenda kencan tiba-tiba ala Noah. Talkshow tersebut, mengundang pebisnis ternama tanah air. Lantas beliau di sana, membuka tabir bahwa hidupnya pernah luluh lantak sebelum mencapai kesuksesan. Bagaimana beliau pernah jatuh berkali-kali, kemudian bangkit hanya untuk jatuh lagi. Di sanalah Noah mendekatkan posisi duduknya, agak menunduk lantas berbisik, "Aku udah melalui tahap itu berkali-kali, Na. Gak lama lagi aku pasti bisa sesukses beliau. Kamu harus di sana ngelihat aku."

Saat itu, Kana bisa ingat dengan pasti bagaimana senyumnya yang hampir menyentuh telinga ia pancarkan begitu bahagianya pada pria itu, seraya membalas, "Aku tunggu." Pria itu lantas membalasnya dengan senyum yang sama lebarnya. Memberanikan diri mencuri-curi waktu sekedar menunduk mengecup punggung tangannya.

Hatinya sedikit menghangat mengingat ada seseorang di luar sana yang begitu mencintainya. Dimana lagi-lagi ia dengan egoisnya menghindari pria itu. Sudah seminggu berlalu sejak terakhir kali ia bertatapan muka dengan Noah. Dan Kana rindu. Tapi mengingat pria itu mengabaikan kewajibannya hanya untuk mengalihkan segala atensinya pada Kana, mau tak mau rasa bersalah itu memupuk. Dan berbicara tentang Noah, sudah seminggu ia menghindar. Sengaja mematikan ponselnya agar ia tidak tegoda untuk menghubungi sang pacar hanya untuk membuat pria itu kembali mendengar tangisannya.

Kana menghela dalam di sela-sela bibirnya yang membeku akibat pendingin ruangan yang sengaja ia rendahkan suhunya. Ia menarik diri bangkit dari tidur. Menurunkan kaki, lantas menapaki lantai menuju cermin setinggi dua meter yang berdiri cantik di ujung kamarnya.

Ia menjelajahi bayangan pada cermin datar di depannya. Di sana berdiri seorang gadis jelas tampak kumal dengan rambut kusut, kelopak mata membangkak, kantung mata tebal, diperparah dengan raut wajah menyedihkan. Tidak ia jumpai raut cantik nan anggun yang biasa ia tampilkan. Tidak ada Kana yang rapi dan wangi yang kerap ia jaga, karena ia belum mandi selama tiga hari.

Tanpa memperdulikan penampilannya, Kana berpindah posisi mendekati sisi kamarnya yang lain. Menjauhkan dua sisi gorden kearah berlawanan, Kana lantas membuka pintu kaca yang memisahkan kamar dan balkon di luar.

Sinar matahari lantas menelusup masuk, menyinari seluruh kamarnya. Menampakkan seluruh sisi kamarnya yang berantakan. Kana mendengus tak terima. Ia mengambil posisi di ujung balkon. Mendongak tegas sekan menantang matahari. Ini tadi cahaya yang dengan sombongnya berani menyelip dari celah-celah jendela, membangunkan ia dari tidur panjangnya.

Kana memepertahankan posisinya yang mendongak melawan sinar matahari dalam detik yang panjang. Tidak peduli pada ultraviolet yang membakar kulitnya, atau pada para tukang kebun di bawah sana yang sudah mewanti-wanti nonanya, takut si nona terjatuh atau sengaja jatuh dari balkon kamarnya, Kana tetap bertahan pada posisinya.

"Non, ngapain di situ?! Bahaya, Non." Suara Bik Jah yang tak pernah terdengar kuat, kini tersampaikan setinggi dua oktaf.

"Non, masuk ke dalam!" Sekarang bahkan sudah tiga oktaf. Sepertinya, Bik Jah bisa mencoba jadi diva.

"Non! Kalau masih keras kepala, Bik Jah aduin ke den Noah!"

Mendengar nama itu, sontak Kana menurunkan dagunya, membuka mata, meski beberapa saat pandangannya tampak hitam. Karena kornea matanya sedang penyesuaian. Di bawah sana berdiri para ART kediaman Sahid. Tapi tak bisa ia temukan nyonya maupun tuan kediaman ini.

CWTCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang