• p r o l o g •

4.5K 238 2
                                    

"Jadi berangkat gak sih kamu, le?"

"Jadi, Bunda. Kenapa buru-buru banget coba? Contoh dong Ayah. Tenang. Santai. Gak ribet. Check-in nya juga masih lama," sahut pria berhoodie hitam tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari layar ponsel.

Bundanya berdecak gemas melihat tingkat kesantaian yang dimiliki anaknya. "Bukan masalah check-in. Kalau di tengah jalan macet gimana?"

"Jakarta kapan gak macetnya sih, Bun?" tanya pria itu lagi masih memainkan game online di ponselnya.

"Kamu kok kayak gak niat gitu?"

Berdecak, ia mematikan ponselnya. "Iya-iya. Ini gerak."

"Kalau begini terus kamu kapan nikahnya? Masa iya kedeluan Lili?"

Pria itu bergerak meraih kopernya dari genggaman sang Bunda, ia berkata, "Idih. Pamali ngelangkahi. Ntar aku jauh jodoh, Bun." Menyeret kopernya ke luar rumah. "Ya emang jodohnya jauh,sih," gumamnya kemudian.

"Ini beneran cheesecake-nya gak dibawa?" tanya Bunda menghampirinya dengan cheesecake andalan di tangannya.

Ia mengangkat sedikit pandangan dari sepatu yang sedang ia ikat talinya. "Nope. Kayak di US gak ada yang jual cheesecake aja."

"Tapi gak ada yang seenak punya Bunda."

"Sombong bener," cibirnya.

"Pokoknya cheesecake-nya harus nyampe ya?"

"Iya, Bunda. Pokoknya sama yang semua Bunda bilang, jawabannya iya," ucapnya lalu berdiri menegakkan tubuh. Memeluk ayahnya yang sedari tadi tampak tenang memperhatikan istrinya mondar-mandir sambil berceloteh.

"Jaga kesehatan, Nak," ayahnya menepuk punggungnya berkali-kali.

"Ayah juga," balasnya.

Kemudian berpindah memeluk Bundanya tak kalah erat. "Bunda jaga kesehatan. Jangan sakit lagi."

"Iya. Kamu makannya dijaga. Jangan sembarangan. Belajarnya juga yang bener. Jangan main-main," nasihat Bundanya. "Inget. Uang kuliah kamu itu mahal."

"Yee. Yang mau bayari kan Ayah. Bukan uang Bunda juga."

Bunda melepas pelukannya. "Anak gaktau diri," dengusnya kemudian. "Yauda, buruan sana."

Ia memeluk Bundanya lagi untuk terakhir. "Pergi, Bun. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Beranjak mendekati taksi, ia memasukkan koper yang sudah disiapkan Bundanya sejak seminggu lalu ke bagasi taksi online yang baru saja sampai. Rasanya seperti diusir. Bundanya semangat sekali menyuruhnya pergi.

Memberikan lambaian tangan beserta senyum pada sang Bunda yang masih setia berdiri di depan rumah. Padahal ia tau Bundanya menangis, tapi terlalu gengsi untuk menghapus air matanya. Bundanya masih memberi senyum membalas lambaian tangannya.

Memasuki taksi, taksi pun memulai perjalanan. Membawa dirinya menuju bandara Soekarno-Hatta. Melihat kembali tiket pesawat yang akan membawanya ke kehidupan yang baru. Kehidupan yang jauh dari rumah. Tapi, tak apa. Toh di sana ia akan menemukan rumah yang lain. Rumah yang sudah lama dirindukannya.

*

CWTCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang