Bab - 46 | Empty

1.2K 138 1
                                    

Kana menatap rintik gerimis yang membasahi pekarangan rumahnya. Gerimisnya memang tidak deras. Tapi berdiri di bawahnya, tetap saja membuat basah. Gerimis itu sudah turun dari beberapa jam yang lalu, dan Kana masih setia menatap kosong pada tetesan itu. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tapi dinginnya angin malam tidak mengindahkan gadis itu untuk berpindah dari balkon dan masuk ke dalam kamarnya. Gadis itu tetap mempertahankan posisinya yang duduk meringkuk pada kursi santai di pojok balkon kamarnya. Ia hanya berharap. Barangkali, helaian angin malam yang menyapu kulitnya kini, mampu berhembus membawa sekalian semua rasa hampa yang menggerogotinya.

Rasanya seakan semua orang menipunya. Seakan semua peristiwa dalam hidupnya, hanyalah kebohongan belaka. Setelah mama, papa dan kini Noah turut andil menipunya. Apa yang Kana lewatkan?

Kini semua pikiran negatif mengisi kepalanya. Noah Arditya. Laki-laki itu ... ternyata Kana tidak begitu mengenalnya. Lelaki yang mengenalkan banyak hal pada Kana, mengajarkan berbagai hal padanya, menggoreskan berjuta kisah di hidupnya. Apa benar itu nyata? Atau hanya halusinasi kah selama ini? Ketulusan Noah, apakah fiktif belaka?

Kana sedikit melirik ponselnya yang terus saja bergetar sejak beberapa jam yang lalu. Dan hanya nama satu orang yang tertera di sana. Kana tidak bisa mengangkat panggilan itu. Tidak sekarang. Kana perlu waktu untuk berpikir. Memikirkan segala alibi yang mungkin bisa jadi alasan logis kenapa Noah menipunya. Berharap ada satu alasan positif yang bisa membuatnya bertahan. Masalah yang menimpanya belakangan ini sungguh menguras segala emosi Kana.

Noah Arditya
Na, sebelum berpikir jauh. Tolong dengarkan penjelasanku dulu

Angkat telpon aku ya, Na?
Sebentar aja, please

Sayang?

Aku masih di depan rumah kamu. Boleh ya ketemu?

Turun, ya? Sebentar aja.

Aku mohon

Kana menatap jauh pagar rumahnya yang mungkin menyembunyikan Noah di baliknya. Tapi sia-sia, Kana tidak bisa melihat ke sana dari kamarnya. Karena memang jarak yang membentang terlalu jauh.

Kana menatap ujung kakinya yang saling bersentuhan. Menimang sejenak, keputusan apa yang sebaiknya ia ambil. Haruskah Kana turun untuk menemui Noah? Meski sebenarnya, dirinya sendiri belum sanggup melihat wajah pria itu. Tapi memikirkan semuanya sendiri juga sia-sia. Selayaknya berjalan dalam gua tanpa ujung. Ia tidak akan mendapatkan jawaban apapun di sana. Yang ada pikirannya akan semakin menggelap dipenuhi berbagai asumsi negatif yang ia ciptakan sendiri.

Dan ... hujan. Apa tidak apa membiarkan pria itu lebih lama di tengah cuaca seperti ini?

Beranjak mengambil cardigan untuk menghalangi diri dari dinginnya malam, Kana turun menuju pagar rumahnya. Butuh waktu yang sedikit panjang untuk mencapainya. Dari kejauhan, Kana bisa melihat Noah yang duduk di depan pos jaga Pak Karto seraya menunduk menatap ponsel.

Pak Diman yang turut berada di sana, berdiri tak jauh dari posisi Noah lantas bertanya. "Belum dibalas Non Kana, Mas?"

Gelengan lemah Noah menjawabnya. "Apa Kananya udah tidur ya, Pak?"

Pak Diman memberikan tatapan prihatin. Sedikit melirik jam yang bertengger di dinding pos jaganya, Pak Diman menyertakan, "Masih jam segini, bisanya belum tidur sih, Mas."

Noah lantas balik menekuri ponselnya. "Kana kayaknya marah banget sama saya, Pak."

"Saya memang gak ngerti pacaran anak muda sekarang masalahnya apa. Tapi saya paham, semua cewek pada dasarnya sama aja, Mas. Cewek itu kalau ngambek, obatnya cuma satu. Kasih makan. Cepet baiknya, Mas."

CWTCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang