Bab - 41 | One Last time

1K 134 18
                                    

Lili : hari ini sekolah pulang jam 3. Kenapa, Kak?

Senyum Kana sedikit terulas dengan sebutan 'Kak' di ujung pesan teks gadis kecil itu. Setelah membaca pesan tersebut, ia lantas melirik ke pojok ponselnya. Masih 14.45. Ada waktu 15 menit sebelum sekolah Lili bubar.

Kana memandang sekolah Lili tersebut. Salah satu sekolah swasta internasional paling terkenal se-Jakarta. Tempat yang sama dimana ia juga dulu turut menimba ilmu dari sekolah dasar hingga menengah ke atas. Tidak banyak kenangan yang bisa Kana gali selama sekolah. Karena memang tidak banyak hal yang gadis itu lakukan ketika sekolah. Yang ia lakukan hanyalah belajar dan kompetisi. Kalau diingat kembali, betapa baik dan penurut dirinya sejak dulu. Ia hanya menuruti apa yang diperintahkan mama, papa ataupun kakek. Ia sedikit menyesal. Seharusnya ia memiliki sedikit jiwa memberontak dulu. Jadi, mungkin saja ia memiliki kesempatan untuk berteman lebih banyak dan pengalaman seru ketika sekolah.

Kana memperhatikan mobil-mobil yang berderet di depan pagar sekolah. Mobil yang sebagian diisi oleh orangtua yang sedang menunggu anaknya pulang sekolah dan sebagian lagi supir yang sedang menunggu majikannya. Dulu ketika sekolah, yang menjemput Kana selalu pak Diman. Selalu. Sehingga Kana tidak berani bermimpi untuk melihat mungkin saja mama atau papanya yang tiba-tiba sedang menunggunya di salah deretan mobil itu. Meski menjadi juara paralel, meski ia pemegang mendali OSN, meski ia menjadi mahasiswa berprestasi Nasional, Kana tidak pernah berani memimpikan itu. Tapi kini Kana melihat salah satu mobil papanya ada di sana. Tepat berada di depan mobilnya. Dan 15 menit kemudian pandangan lain menusuk tepat di ulu hatinya.

Kana tahu, yang ia lakukan sekarang adalah mencari penyakit. Sudah tahu hal yang ia temui akan menggoreskan luka lebih dalam. Tapi masih saja ia lakukan. Walaupun perceraian kedua mama dan papa sepertinya sudah bulat, Kana tidak bisa diam saja. Mungkin mama salah. Katanya papa bahagia bersama istri dan anak lainnya. Mungkin saja ternyata papanya tidak sebahagia itu. Mungkin saja ada celah yang bisa mengembalikan papa padanya. Mungkin masih ada kesempatan. Kana tidak bisa berdiam diri menyaksikan pernikahan kedua orangtuanya hancur begitu saja.

Meski apapun yang akan ia dapati akan menghancurkan dunianya. Tapi tak apa, untuk sekali ini aja. Untuk perjuangan terakhir kalinya. Melihat apakah masih ada harapan untuk membuat papa melihat ke arahnya. Sekali ini aja. Ia akan berjuang sedikit lagi.

"Ayah." Pekikan senang itu membuyarkan lamunan Kana. Kana memang sengaja membuka sedikit kaca jendela untuk mendengar segala hal yang ingin ia ketahui.

"Tumben banget Ayah jemput," seru gadis kecil itu seraya melemparkan tubuh pada ayahnya yang dibalas dengan pelukan sama.

Papa terlihat menundukkan kepala menatap sang anak seraya menampilkan senyum aneh yang gak pernah Kana lihat. "How's your day?"

Melepaskan pelukan, sang anak menjawab dengan cerianya, "Semua seperti biasa. Kecuali matematika. Hehe dapet 4."

"Astaga. Bahkan guru privat kamu nyerah ngajarin kamu matematika."

"Terima ajalah, Yah. Anak Ayah ini memang gak berjodoh sama matematika."

Papa terlihat menggerutu sambil menarik anaknya masuk ke dalam mobil. "Alasan kamu. Nanti Ayah aduin ke Ibu, tahu rasa."

Kana butuh usaha lebih untuk menahan amarah yang menggebu di dada setelah mendengar percakapan kecil ayah dan anak itu. Matematika dapat 4? Hah! Boleh Kana tertawa?

Mengesampingkan emosinya, Kana beranjak mengikuti mobil Papanya hingga setengah jam kemudian mobil tersebut memasuki sebuah perumahan. Untungnya perumahan tersebut keamanannya tidak seketat perumahan yang ia tinggali. Jadi tidak ada pemeriksaan apa-apa begitu ia masuk.

CWTCHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang