Tiga belas

113 9 0
                                    


"Hey kamu!"

"Ya?"

"Inget sama saya?"

"Inget dong, om yang nginjek kejuku di mini market kan?"

Huh dasar! Kenapa yang dia katakan hanya jeleknya saja? Kemana cerita 'om yang bayarin semua belanjaanku'? Farez berdecih.

Ini adalah tempat paling tidak nyaman untuk bertemu. Biasanya pada drama drama dan sinetron itu pertemuan di pinggir jalan adalah hal yang sangat indah, tapi tidak untuk Farez dan Clara. Siapa juga yang ingin bertemu setelah kejadian memalukan itu dan sekarang sedang menunggu montir memperbaiki mobil dipinggir jalan dan diliat semua orang yang lewat?

"Om ngapain om disini?"

"Kamu juga ngapain lewat sini ? Sendirian, jalan kaki pula. Ga takut diculik heh?"

"Kok jadi balik nanya si om ih berisik banget kaya Daddy!"

"Oh jadi kamu mau saya jadi sugar Daddy mu?"

"Gausah pake acara kaya gitu, mending nikah langsung aja."

Clara melenggang pergi meninggalkan Farez yang kaget akan ucapannya itu. Beberapa detik kemudian pria itu mengulum senyum, ada banyak hal yang sekarang ia pikirkan. Apa mungkin ini saatnya untuk membenahi sepotong hatinya yang hilang bertahun tahun silam?

Farez masih saja terus memikirkan perkataan Clara, ia yakin Clara hanya bercanda. Tapi, kenapa hatinya merasakan hal yang berbeda? Ada sesuatu yang tak biasa yang sedang bertahta disini.

Dimatikannya lampu kamar, disibakannya gorden mahal itu agar keagungan sang rembulan tetap dalam radius pandangannya. Matanya sesekali mengerjap, melihat ke atap lalu ke arah rembulan. Rasanya ia gemas sekali ingin bertemu gadis itu lagi.

Tunggu,siapa namanya? Kenapa aku tak menanyakannya?ah shit ,bodoh sekali. Farez merutuki dirinya sendiri yang tak sepeka itu.

****

Senin adalah hari paling menyebalkan, kenapa Senin ke Minggu lama sekali sedangkan Minggu ke Senin cepat sekali?

Mentari pagi bersinar terang, awan putih yang selalu mempesona, dan suara burung adalah kombinasi yang sangat cocok di pagi hari.

Hari ini Clara berlari menuju halte, pasalnya ia malas membawa mobil dan motor kesayangannya sedang ada di bengkel.

"Ngapain Lo disitu?"

Clara tak peduli.

"Lo ngapain disitu Clara Mahatma?"

"Nunggu angkot"

"Ikut gue, daripada telat."

"Ngga, gue ngga mau."

"Harus mau ya." Bara turun dari motor besarnya, berdiri tepat dihadapan Clara. Clara mendongak, bara benar benar nekat. Begitu pikirnya.

"Gue ga mau Bara Sadewa Dirgantara!"

"Kok lo tau nama lengkap gue heh?" Bara mengernyitkan dahi, memberi tatapan menyelidik pada gadis didepannya itu. Clara yang merasa terintimidasi sekarang salah tingkah.

Kenapa juga gue bisa ngomong kaya gitu? Bisa besar kepala si bara ini huh.

"Ng-nggakk!"

"Lo pake jam kan? Bisa baca jam?"

Clara mengangguk.

"Berarti lo tau sekarang kita udah mau telat?"

Mau tidak mau harus mau,begitu kata Bara tadi. Ia bersikeras meminta Clara ikut dengannya agar dia tidak telat, padahal Bara ini cuma pengen dilihat semua orang kalo dia dekat dengan Clara.

"Pegangan"

"Mikir dikit dong! Motor Lo mana ada pegangan. Motor mahal tapi gada pegangan!"

"Eits sabar nona bulan, pegangan tas gue aja. Gue emang brengsek tapi gue ga omes ya."

"Apasi nona bulan nona bulan gadanta Lo!"

"Nona bulan, Lo itu bulan bagi gue. Seperti bulan yang menyinari gelapnya malam, lo juga menyinari sisi gelap diri gue. Apalagi kalo senyum berasa nemuin jodoh."

"Bullshit."

"Oke mulai sekarang aku panggil kamu bulan. Ngga ada penolakan, ini bukan pertanyaan tapi pernyataan."

Lecturer Love : LILAC Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang