12. Psycho

258 26 67
                                    

Kesedihan tak membuatku menyerah untuk berhenti mencintaimu. Sebab, Kisah antara kamu dan aku adalah roman picisan yang tak akan pernah usai. (Naima)

***

Sean terbaring di brankar, Ia tak sadarkan diri. Matanya terpejam. Sudah dua jam pria itu tertidur pulas karena diberi obat penenang. Sedang tertidur dan dalam keadaan babak belur wajahnya masih terlihat tampan.

Walau pertunangan dibatalkan, Ima masih tetap berada di samping Sean. Sesekali ima meremas lembut tangan pujaannya yang sedang tertidur pulas. Setelahnya Ima menarik selimut dan menutupi dada pria yang ia anggap kekasih itu. Sedikitpun tak ada dendam di hatinya karena pertunangan dibatalkan. Sedikitpun Ima tidak membenci apalagi pergi meninggalkan Sean.

Bunda dan Ayah memaklumi kondisi Sean dan menerima kalau pertunangan ini ditunda. Ima juga sabar dengan cobaan ini, ia mengira tunangannya itu dalam keadaan tertekan mungkin karena seseorang melukainya. Hal itu terbukti dari wajah Sean yang terlihat babak belur. Sampai sekarang pihak keluarga belum mengetahui pelakunya, mereka memberi laporan pada pihak berwajib.

Mama, Papa dan Soni memasuki kamar rawat setelah mengantar Ayah dan Bunda ke luar. Mereka juga baru saja selesai mengurus administrasi rumah sakit jiwa. Ya, Sean dibawa Soni ke rumah sakit jiwa, bukan rumah sakit pada umumnya.

"Soni! Tadi Mama nyuruh kamu ke rumah sakit Cipto Mangunsarkoro, kenapa kamu justru bawa kami ke Grogol!" protes Mama.

"Ma, Pa, Ima. Sean itu sekarang lagi kumat! Waktu SMA dia sering kumat! 3 tahun yang lalu dia kumat juga. Ngomongnya ngelantur, ngaco, dia juga gak hormat sama Soni!" cerita Soni dengan wajah kecewa.

Semua terdiam. Mama dan Papa saling berpandangan. Sepertinya tadi Sean juga bersikap aneh seperti minta dipanggil Dilan.

"Dia itu psycho Ma, freak banget!" kata Soni berapi-api.

"Soni! Berhenti mengatai adikmu psycho," protes Papa.

"Maaf Pa, tapi yang Soni bilang ini bener Pa. Sean itu aneh kalau lagi kumat. Dia pernah nabokin Soni, nendang bokong Soni, nendang selakangan Soni dia bahkan kuat membanting badan Soni," cerita Soni dengan wajah yang sangat meyakinkan. Sebenarnya ia sudah lama menyadarinya tapi keanehan Sean tidak berlangsung lama. Sementara Mama dan Papa terlalu sibuk dengan pekerjaannya hingga tidak menyadari ada yang aneh pada Sean, mereka merasa Sean biasa saja.

Papa, Mama dan Ima menerawang membayangkan cerita Soni. Setelah mereka membayangkan cerita Soni, mereka bertiga menatap Soni lagi untuk meminta penjelasan lebih lanjut dari ceritanya.

"Sejak SMA, Soni merasa dia sering aneh. Tiap dia dizolimi orang dia jadi aneh dan melukai orang yang menzholimi dia. Kami pernah dipalak teman sekolah kami, kami dipukuli sampai Sean pingsan. Setelah dia bangun dari pingsan dia malah matahin kaki yang malak kami. Karena Mama sama Papa di kanada akhirnya Soni yang ganti rugi biaya pengobatan anak itu," cerita Soni.

"Kenapa Mama sama Papa enggak pernah merasa ada yang berubah dari Sean. Dari dulu Mama lihat dia biasa saja," debat Mama.

"Kejadiannya ketika kami SMA. Ketika Soni kuliah di luar negeri Soni enggak tahu apa-apa, tapi Soni enggak lupa tiga tahun yang lalu dia nabokin Soni. Mungkin karena udah enggak ada yang mau ditabokin lagi akhirnya Soni jadi targetnya," Soni kembali bercerita.

"Enggak Soni, kamu jangan ngada-ngada!" kata Mama yang mulai menangis lagi. Wanita itu sebenarnya menyesal tidak memperhatikan anak bungsunya.

"Sekarang terserah Mama sama Papa, Soni enggak tahu Sean mengidap gangguan jiwa apa. Pokoknya kalau Mama sama Papa enggak percaya sama Soni silakan. Soni enggak tanggung jawab kalau Sean bikin masalah lagi," tukasnya.

"Terus pertunangan dengan Ima gimana? Tadi dia udah batalin," kata Mama masih menangis terisak-isak.

"Kita sabar aja dulu, nanti dia berubah pikiran sendiri. Beberapa hari lagi dia baik sendiri bahkan lupa dengan kejadian ini," kata Soni mencoba menenangkan.

"Kamu yakin Soni?" tanya Papa.

"Iya Soni yakin! Soni pernah dihajar habis-habisan. Dua hari kemudian dia baik lagi bahkan mempertanyakan lebamnya muka Soni. Dia enggak ingat atas apa yang ia perbuat," jawab Soni yakin.

Semua saling berpandangan. Setelahnya Mama, Papa dan Soni beralih pandang pada Ima. Gadis itu sejak tadi tidak menanggapi cerita Soni.

"Ima, gimana sayang? Sean sudah memperlakukanmu dengan buruk. Dia bahkan memutuskan pertunangan. Sekarang keputusan ada di tanganmu. Mau lanjut atau tidak kami pasrah. Mama enggak ingin terjadi sesuatu sama kamu," kata Mama lirih.

"Mama benar Ima, besok Papa akan berbicara empat mata dengan ayahmu," sambung Papa.

"Enggak usah Ma Pa, Ima udah bilang kalau pertunangan ini ditunda bukan dibatalkan. Mungkin Sean tertekan karena ada masalah, Ima yakin setelah sadar dia baik lagi," jawab Ima.

"Ima, kalau Sean menyakitimu kamu boleh meninggalkan dia kapan saja. Pertunangan ini sepenuhnya Mama serahkan ke kamu ya," kata Mama dengan wajah yang masih sedih.

"Iya Ma, semoga Sean baik-baik aja. Ima enggak akan meninggalkan Sean, Ima akan selalu berada di sampingnya, Ima mencintai Sean," kata Ima. Setelahnya gadis itu kembali meneteskan airmata.

Melihat Ima menangis Soni menjadi iba. Tanpa permisi ia mendekati Ima dan langsung memeluk Ima yang menangis menutupi wajahnya. Tampaknya Soni sangat pandai mencari kesempatan dalam kesempitan dan bahagia di atas penderitaan.

"Soni minggir! Jangan peluk-peluk Ima. Ima itu calon istri adikmu," protes Mama.

"Soni cuma mengurangi kesedihannya," jawab Soni setelah melepas pelukannya.

"Ya enggak gitu juga Soni," protes Mama sambil menoyor kepala Soni.

"Sean terus, Sean terus. Sean dikelilingi cewek cantik!" gerutu Soni.

"Soni, ah! Inget Salsabilla pacarmu!" kata Mama tajam.

"Iya... Iya..," Jawab Soni sambil memajukan bibirnya,"

I Love You Dilan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang