17. Jendral

158 20 44
                                    


Segala perbedaan yang ada, tak membuatku mundur selangkah untuk tetap mencintaimu. Aku adalah pejuang cinta garis depan yang kini berjuang mendapatkan cintamu. (Naima)

***

"Sial gue dikerjai Soni. Monyet tu orang! Ya kali kerjaan gue ngabsen satpam," umpat Dilan.

Setelah mengabsen semua satpam ia baru sadar kalau itu bukanlah tugasnya. Soni sukses mengerjainya. Bukannya marah Dilan justru terkekeh. Pria yang sering ia jahilinya itu ternyata bisa membalas kejahilannya.

"Ron, tolong kawal gue ke ruangan gue!" kata Dilan pada satpam yang bernama Roni setelah sadar kalau dirinya dikerjai Soni.

"Siap! Apa ada yang mencurigakan pak, sampai dikawal?" tanya Roni.

"Saya ini jendral, jadi harus dikawal," jawab Dilan asal.

Lebih tepatnya, gue gak tau ruangannya Sean, batin Sean.

"Baik Pak!" jawab Roni tegas.

"Eits! Jangan panggil saya Pak, ketuaan. Panggil saja jendral," koreksi Dilan.

"Hah, jendral?" Roni menggaruk kepalanya pertanda tidak mengerti.

"Udah lo nurut aja!" kata Dilan.

"I... Iya... Jendral," kata Roni mengalah. Heran, mengapa bisa bosnya menjadi akrab dengannya. Setahunya Sean itu dingin dan jarang menyapa sekuriti apalagi sampai mengabsen. Sepertinya Sean sedikit berbeda hari ini.

***

Dilan diantar sekuriti menuju ruangan Sean. Baru memasuki gedung ia langsung menjawab sapaan hormat karyawan yang menjadi bawahannya. Biasanya Sean  hanya menjawab sapaan karyawan dengan anggukan. Yang dilakukan Dilan justru membuat orang lain yang mengenal Sean menjadi heran, menurut mereka hari ini Sean lebih ramah dan bisa berbasa-basi.

Ketika naik lift juga terlihat beda. Jika biasanya Sean naik lift sendirian, Dilan justru mengajak karyawan yang akan naik lift untuk naik lift bersama dirinya.

"Ngapain kalian di situ?" tanya Dilan polos.

"Duluan aja pak, kami nanti setelah bapak," jawab salah satu dari mereka.

"Ehhh..., udah ayok kita barengan Bro," jawab Dilan.

Mulanya mereka bingung tapi karena diyakinkan Dilan akhirnya Dilan yang mereka kira Sean menjadi 1 lift dengan mereka. Dan karyawati sukses berbisik-bisik mengagumi ketampanan Sean yang mereka lihat dari dekat.

Melewati koridor menuju ruangannya Dilan juga menyapa semua karyawan yang kelihatannya lebih tua dari dirinya, bahkan cleaning servis pun juga ia sapa.

"Rajin amat pak," sapa Dilan pada cleaning servis yang usianya sekitar 50 tahunan.

"Iya Pak, wong namanya kerja," jawabnya dengan tangan yang memegang gagang pelicin lantai. "Loh Pak Sean?" sang cleaning servis pun terkaget setelah menyadari kalau yang menyapanya adalah Sean anak pemilik perusahaan. Ia heran puluhan tahun kerja di sini tapi baru kali ini Sean menyapa dirinya. Biasanya Sean hanya senyum seadanya.

Setelah memasuki ruangan Sean, Dilan menghempaskan tubuhnya ke sofa. Ia merasa nyaman di ruangan Sean. Ia pun menaikkan kakinya ke meja sofa setelah membuka sepatunya dan melonggarkan dasinya. Setelahnya ia memejamkan matanya karena lelah berjalan dari pintu gerbang menuju ruangan ini, jaraknya yang cukup jauh jika ditenpuh berjalan kaki.

Setelah istirahat di sofa ruangan Sean, Dilan bertolak ke meja kerja Sean. Ia melihat banyak sekali tumpukan kertas dan map. Ia mencoba mengecek tumpukan kertas dan beberapa map satu per satu. Setelah lama ia mengecek beberapa kertas, ia langsung mengusap wajahnya. Ia merasa pekerjaan di atas meja Sean cukup sulit ia kerjakan.

"Gue gak tau mau ngapain? Kertas-kertas ini mau gue apain ya?" gumamnya.

Setelah bergumam ia langsung menggaruk kepalanya. Ia bingung memikirkan kertas dihadapannya yang nominalnya milyaran dan beberpa proyek yang harus ia tanda tangani. Ia hanya menempuh pendidikan teknik mesin bukan ekonomi. "Lantas bagaimana Sean bisa tahan dengan kertas-kertas bernilai milyaran ini?" Pikirnya.

Ia merenung sejenak untuk menyelesaikan ini semua. Tiba-tiba ia teringat pada pak Yanto asisten Sean. Ya, ia berpikir kalau pak Yanto adalah jalan keluar dari masalah pekerjaan ini. Ya, ia merasa Pak Yanto bukan sembarangan asisten, pak Yanto pasti pintar, rajin dan menguasai bidang ini. Ia juga berpikir kalau keberadaan Pak Yanto di sini adalah hasil seleksi ketat yang dilakukan Soni atau Babe.

"Pak, bisa masuk ruangan saya!" kata Dilan setelah keluar dari ruangannya dan meminta Pak Yanto Salim ke ruangannya.

"Ada yang bisa saya bantu Pak Sean?" tanya Pak Yanto sedikit gugup. Pria 40 tahunan itu terlihat gugup takut ada kesalahan yang ia perbuat.

"Begini Pak, mulai hari ini silakan bapak angkat meja bapak dan di ruangan ini bapak bersama saya," kata Dilan.

"Memangnya ada apa ya pak?" tanya Pak Yanto sekali lagi.

"Iya tolong bapak bereskan semua pekerjaan ini ya Pak," perintah Dilan.

"Tapi Pak Sean?"

"Udah, buruan Pak bereskan. Kepala saya ruwet nih lihat tumpukan kertas ini!"

"B... Baik pak,"

"Eit, jangan panggil saya Pak. Ketuaan, panggil saya jendral!"

"Hah!" Pak yanto terkejut, mengapa tiba-tiba atasannya berubah dan sedikit lucu. selama 2 tahun ia menjadi asisten Sean, Sean tidak pernah bertingkah lucu apalagi ingin dipanggil jendral. Beberapa hari yang lalu Sean tampak serius dan baru kali ini ia melihat Sean lucu.

"Udah Pak nurut aja, saya maunya dipanggil jendral," protes Dilan.

"B... Baik Jendral," jawab Pak yanto, ia menahan senyumnya. Sungguh lucu rasanya ketika seorang menejer meminta dipanggil jendral.

"Bagus Pak, terima kasih," sambung Dilan.

Beberapa cleaning service datang dan mengangkat meja pak Yanto yang biasanya terletak di depan ruangan Sean. Mereka berpikir kalau Sean yang meminta Pak Yanto bekerja di dalam ruangan Sean. Setelah beres Pak Yanto yang biasanya bekerja di luar ruangan bersama karyawan lain kini justru bekerja di dalam ruangan Sean dengan meja terpisah.

"Oh iya Jendral maaf, kalau saya di sini mengerjakan pekerjaan Jendral, memangnya jendral mau ke mana?" tanya Pak yanto memastikan. Rasanya ia tak enak jika harus berada di ruangan Sean apalagi sendirian.

"Saya? Ya main soltaire lah!" jawab Dilan. Ia langsung menyalakan leptop Sean dan memulai bermain soltaire. Sementara Pak yanto mengerjakan tugas yang biasanya dikerjakan Sean sambil mengangkat bahunya. Pria paruh baya itu melihat atasannya sedikit aneh karena bermain soltaire saat jam kerja berlangsung.

 Pria paruh baya itu melihat atasannya sedikit aneh karena bermain soltaire saat jam kerja berlangsung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I Love You Dilan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang