Cemburu adalah definisi dari rasa sakit yang aku derita ketika dirimu menyebut tentang wanita lain. Cemburu adalah bukti kalau aku menginginkan dirimu seutuhnya dan cemburu juga bukti bahwa aku memang mencintaimu. (Naima)***
Dilan bertolak dari restoran milik Ima menuju rumah sakit jiwa. Sebelum mengajak Ima makan sate Padang, ternyata Dilan meminta Ima untuk menemani dirinya konsultasi psikologis di rumah sakit jiwa. Hari ini adalah jadwal dirinya mengikuti terapi psikologis dan konsultasi dengan psikiater. Dilan tidak melupakan pesan psikiater di rumah sakit jiwa saat ia baru bangun. Pesan itu adalah supaya Dilan lebih sering mengikuti terapi penerimaan diri dan konsultasi psikologis.
Ketika ia sadar 3 hari yang lalu ia tidak mengakui kalau dirinya adalah Dilan. Setiap pertanyaan yang diberikan psikiater ia jawab seolah dirinya adalah Sean. Namun, setelah dua hari menjalani hidup sebagai Sean ternyata sulit baginya dan terasa berat. Akhirnya ia mengakui keberadaan dirinya pada psikiater kalau dia adalah Dilan. Tentu saja psikiater sangat terkejut, mengingat gangguan psikologis seperti dirinya jarang ditemukan di Indonesia.
Dua jam kemudian Dilan keluar dari ruang praktek psikiater yang menangani dirinya sejak ia bangun dari tidurnya tiga hari yang lalu. Ia berjalan dengan tertunduk dan wajah yang datar, ia juga kerap menelan salivanya dan mengusap wajahnya.
"Lo baik-baik aja Dilan?" tanya Ima yang duduk di ruang tunggu di luar ruang praktek.
Dilan mendudukkan dirinya di samping Ima. Ia meluruskan kakinya agar lebih santai. "Tadi gue ngaku sama psikiater kalau nama gue Dilan, soalnya gue capek jadi Sean. Pura-pura terus, apalagi ibu-ibu itu ngasih pertanyaan yang menjebak," katanya dengan tatapan ke langit-langit.
"Trus gimana?" tanya Ima.
"Trus dia bilang kalau gue nggak nyata. Emangnya gue hantu nggak nyata," gerutunya.
Ima menahan tawanya dan menutup mulutnya. Omongan Dilan dan cara berbicara Dilan seperti bukan seumuran dengan Sean. Ceritanya justru terdengar seperti remaja labil.
"Ibu itu njebak gue, nanyain umur gue. Ya gue jawab 18, kan emang umur gue 18," sambung Dilan.
Dugaan Ima benar, Dilan memang remaja dan usianya 18 tahun. Berbeda dengan Sean yang usianya kira-kira memasuki 28 tahun. Sean memang lebih muda setahun dari Ima yang seumuran dengan Soni.
"Lo 18 tahun?" Ima bertanya supaya Dilan melanjutkan ceritanya.
"Iya, makanya gue gak mau tunangan sama lo! Gue kan masih bau kencur, nyari duit aja belom bisa," jawabnya.
Ima bergeming, sepantasnya ia tidak marah. Memang seseorang yang mengidap DID memiliki alter ego yang kadang usianya berbeda dengan kepribadian asli. Bahkan ada juga pengidap DID yang alter egonya anak-anak. Itu yang pernah Ima baca dan ia tonton dalam sebuah film Hollywood.
"Lo tau nggak? Gue tu bosen jadi Sean. Kerja-kerja terus gak ada istirahat. Belom lagi Soni nuntut laporan yang enggak gue tahu sama sekali. Nyari uang terus, padahal udah kaya. Soni uangnya banyak, Babe sama emak uangnya juga banyak tapi kenapa harus kerja lagi? Kapan mau santai?" cerita Dilan.
Ima menghadapkan tubuhnya pada Dilan dan mencoba memberi penjelasan pada Dilan. "Dilan, orang dewasa memang seperti itu, mereka bekerja untuk kelangsungan hidup dirinya dan keluarga. Mereka juga bekerja karena karirnya dan tanggung jawabnya."
"Tapi gue capek kerja seperti Sean. Buat laporan, rapat sama Soni, belom lagi Soni marah-marah kalau penjualan perusahaan menurun sedikit. Soni emang keren pekerja keras, tapi gue gak bisa, gue butuh refresing, gue pengen clubbing, pengen karaoke, main bilyar dan makan sate Padang," cerita Dilan.
"Sepertinya lo suka banget sama sate Padang," tanya Ima mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Iya gue suka banget," jawab Dilan.
"Sekarang gini aja, lo jalani aja hidup lo sebagaimana semestinya. Lo enggak usah kerja kayak Sean atau Soni. Lo bisa terus terang sama Soni, gue yakin dia ngerti," kata Ima memberi saran.
"Iya juga ya, lagi pula Soni meskipun pemarah dia baik. Buktinya tadi dia belikan gue motor," kata Sean menerawang.
"Hmmm," jawab Ima dengan anggukan.
Dilan menoleh pada Ima setelah sepanjang cerita Dilan hanya menerawang ke langit-langit. Selanjutnya Dilan tersenyum, senyuman terakhir yang Dilan berikan padanya adalah saat pria itu memaksanya minta dibelikan rokok beberapa hari yang lalu. Sekarang Dilan tersenyum tanpa mengaharapkan sesuatu, dan jelas kalau senyum Dilan kali ini iklas tanpa paksaan.
Mereka berdua saling bertatapan, mata mereka saling bertemu. Dada Ima sukses di buat berdebar oleh Dilan. Baik Sean atau Dilan keduanya memang memiliki pesona yang membuat debaran hati Ima tidak karuan. Dilan sebagai remaja labil yang terjebak di tubuh Sean ternyata juga memiliki pesona yang tak kalah jauh dari Sean.
"Lo baik tetangga, gue minta maaf udah jahat sama lo!" kata Dilan masih dengan menatap mata Ima.
"Gak apa-apa Dilan, lo santai aja!" jawab Ima.
"Hmm, kalau dilihat-lihat lo juga cantik, maaf kalau kemarin gue ngatain lo operasi plastik," kata Dilan.
Ima langsung terkekeh mendengar kata-kata Dilan barusan. Seumur hidup baru kali ini ia dituduh operasi plastik. Padahal wajah cantiknya memang alami karena ia suka merawatnya baik di rumah ataupun di salon kecantikan.
"Gue pengen nyium jidat lo, tapi gue gak bisa. Sebab gue punya pacar dan gue harus setia," kata Dilan sambil menundukkan pandangannya.
Pacar? Ima langsung dibuat kaget. Apa dia tidak salah dengar? Mendengar kata pacar ia seperti tercekik. Hatinya seperti tersayat sembilu. Ia mengatupkan bibirnya. Ternyata omongan di rumah sakit jiwa tempo hari kalau Dilan mengaku punya pacar bukanlah isapan jempol dan penyataan Chandra kakaknya kalau Dilan punya pacar saat kuliah juga bukan cerita karangan. Kini pria itu mengakuinya. Sakit, sakit sekali mendengar pengakuan itu.
Sakit, entah kenapa sakit. Yang punya pacar Dilan, bukan Sean tapi kenapa rasanya sakit. Rasanya ia tak ingin kalau pria di hadapannya ini memiliki tambatan hati lain. Cemburu itu adalah yang ia rasakan saat ini. Ketika ia berusaha dekat dengan Dilan pria itu justru mengakui kalau ada sosok wanita lain dalam hidupnya, sungguh kenyataan yang teramat sangat menyakitkan.
"Kenapa lo diem aja?" kata Dilan membuyarkan lamunan Ima.
"Ohh, ohh, gak apa-apa," jawab Ima gelagapan.
"Lo enggak cemburu kan?" tembak Dilan.
"Eng... Eng... Enggak-enggak," jawab Ima gelagapan lagi.
"Lo kan sukanya sama Sean ya, bukan gue," jawabnya diplomatis. "Ya udah kalau gitu kita makan sate ya, gue udah laper nih."
"Oke, ayo."
"Lo bisa jalan ke parkiran kan? Gak perlu gue gendong lagi?" tanya Dilan dengan menyipitkan matanya.
"Iya deh. Tapi kalau lo mau gendong lagi gue sih ok aja," canda Ima.
"Ah udah ah, gendongnya yang tadi aja. Gue capek tau," kata Dilan sambil mengacak-acak rambut Ima.
Setelah mengacak-acak rambut Ima, Dilan berlari pelan meninggalkan Ima. Ia berlari sangat energik sambil sesekali melihat ke arah Ima.
"Ayo kejar gue!" katanya dengan wajah sumringah.
"Dilan awas lo ya!" pekik Ima. Ia tak peduli akan tatapan semua orang di rumah sakit ini. Rumah sakit ini sepertinya bebas untuk berteriak dan berlari-lari kecil sebab di sini banyak orang yang melakukan hal-hal aneh namun dianggap biasa. Ya rumah sakit jiwa di mana pasiennya sering melakukan hal aneh di luar batas kenormalan.
Note:
Yukkk.... Dukung dengan vote.... Makasih yang udah vote. Semoga rezekimu lancar.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You Dilan (End)
General Fictionwarning : 18 + Dijodohin sama cowok ganteng! Pasti enggak ada yang nolak, malah bersyukur. Naima dijodohkan dengan Sean, cowok ganteng yang tinggal di depan rumahnya. Sean terlihat perfect, ganteng, kaya, senyumnya manis dan punya karir yang baik...