Sudah pukul 8 malam, Ify mondar-mandir di teras rumahnya. Alvan janji akan menjemputnya setengah jam yang lalu, tetapi sampai sekarang dia belum muncul. Ify sudah menelponnya tapi tidak ada jawaban. Tidak biasanya Alvan terlambat seperti ini. Apa mungkin Alvan lupa? Ify tak bisa menunggu lagi. Dia memutuskan pergi ke rumah Alvan.
Di ujung sana, Alvan terbangun dari tidurnya pukul 19.40. dia melihat ponselnya kemudian benar-benar terjaga. Dia tertidur sejak pulang sekolah tadi. Entahlah, minggu-minggu ini dia lebih mudah terasa letih. Dia beranjak dari tempat tidurnya kemudian bersiap-siap karena teringat memiliki janji dengan seseorang.
Sepuluh menit kemudian, Alvan sudah mengganti bajunya dengan setelan celana jeans hitam, kaos putih polos, dan kemeja kotak-kotak merah tua. Menjadi perpaduan yang pas dengan gaya rambut belah pinggir yang sengaja dibuat sedikit berantakan. Setelah memakai sepatu, Alvan mengambil ponsel juga kunci mobilnya dengan bergegas.
Baru saja hendak membuka pintu kamarnya, pandangan Alvan tiba-tiba berputar. Dia berpegangan erat pada gagang pintu dan tersandar di daun pintunya. Napasnya sedikit memburu mencoba menstabilkan pijakannya. Beruntung, pening di kepalanya tidak berangsur lama. Dia segera menuruni tangga bertepatan dengan terdengarnya suara pintu yang diketuk. Jangan sampai tamu malam ini menggagalkan rencananya dengan Ify. Apalagi kedua orang tua dan kakaknya sedang tidak ada di rumah. Hampir menjadi rutinitas dengan keluarganya setiap weekend. Namun, kali ini dia lebih memilih pergi bersama Ify.
Ceklek
Alvan membuka pintu dan terkejut melihat seseorang di baliknya.
“Ify? Maaf aku ketiduran,”
“Iya, nggak papa kok,” balas Ify.
“Eh, kamu sakit? Kok pucet gitu? Kalo sakit, kita nggak usah pergi ya? Aku mampir ke rumah kamu aja,” sambungnya khawatir.
“Enggak kok. Aku nggak papa. Lagian orang-orang rumah lagi pergi. Nggak enak kalo di rumah cuma berdua,” ujar Alvan meyakinkan.
“Ya udah, yuk jalan!” ajak Alvan. Ify mengekor di belakangnya.
Tak banyak obrolan yang terjadi sepanjang perjalanan. Sampai akhirnya pertanyaan Alvan mengalihkan fokus Ify dari menikmati suasana tenang malam itu.
“Kalo misalkan Aksa nggak hadir di hidup kamu, apa kamu mau terima aku?”
“Kok nanyanya gitu?” Ify menatap Alvan intens.
“Manusia nggak bisa jamin apa-apa Al. Yang hadir bisa pergi dan yang belum hadir bukan berarti nggak ada,” ucap Ify mengikuti suasana yang berubah sendu.
Beberapa menit kemudian, Alvan menepikan mobilnya di sebuah café bertema outdoor. Tatanan café itu semakin manis dengan hiasan lampu-lampu berwarna oranye yang digantung.
Mereka memilih tempat duduk yang agak ke dalam. Malam itu café sedikit ramai tapi tak menghilangkan momen romantis karena konsep yang terbuka. Entah mengapa Ify sedikit terusik dengan pertanyaan Alvan di mobil tetapi segera ditepisnya. Dia tidak ingin merusak makan malamnya dengan Alvan.
“Kamu mau pesen apa?” tanya Ify saat karyawan café menyodorkan buku menu kepada mereka.
“Emm… ice cappuccino sama chicken steak black pepper,” jawab Alvan.
“Oke. Aku ice chocolate terus makanannya samain aja ya Mbak,” ujar Ify.
“Baik, ditunggu ya,” sahut perempuan itu dengan ramah.
“Makasih Mbak,” pungkas Ify.
Cukup lama mereka menunggu pesanan datang, karena pengunjung semakin ramai. Lebih dari 20 menit, akhirnya pesanan mereka datang. Mereka menyesap minuman terlebih dahulu lalu bersiap menyantap makanan yang tampak begitu menggoda. Ify mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya tetapi Alvan malah kembali meletakkan pisau dan garpunya.
“Loh Al, kok nggak dimakan?”
“Emm… tiba-tiba nggak napsu makan,” ujar Al lalu menyesap minumannya lagi.
“Hadeh, jangan bilang ini modus kamu minta disuapin?” telisik Ify.
“Sedikit sih.” Alvan terkekeh walaupun sebenarnya dia berkata jujur tadi. Tiba-tiba napsu makannya hilang begitu saja, padahal tadi dia sangat lapar.
“Ya udah, aa…” Ify menyodorkan potongan ayam ke arah Alvan. Alvan menerimanya lalu tersenyum. Aneh, makanan yang masuk ke mulutnya terasa hambar. Dia tetap berusaha menelannya tetapi yang terjadi malah sebaliknya.
Alvan merasa sebentar lagi semua isi di perutnya akan keluar. Dia berlari meninggalkan Ify. Ify yang masih menikmati hidangannya terkejut lalu mengejar Alvan yang ternyata menuju toilet.
Lima menit Ify menunggu di depan toilet. Alvan keluar dengan dahi yang penuh keringat. Wajahnya semakin memucat dan bibirnya sedikit bergetar.
“Alvan!” Ify menangkup tubuh Alvan yang terhuyung.
“Al, kamu kenapa? Kita pulang aja ya?” panik Ify.
“Tapi dinner nya?” tanya Alvan lemas.
“Nggak usah mikirin dinner. Kita pulang sekarang! Kalo kamu nggak kuat nyetir, biar aku aja!”
Tak banyak yang tahu, Ify sudah bisa menyetir mobil sejak kelas 11. Mamanya lah yang dulu sering mengajarinya. Ify memapah Alvan menuju mobil. Dia mengambil alih kemudi dan Alvan duduk di samping kirinya.
“Tenang aja nyetirnya. Aku nggak papa kok,” ucap Alvan sambil tersenyum karena melihat Ify yang menyetir dengan tergesa. Ify mengeratkan genggamannya pada stir mobil sambil berusaha tenang.
“Kamu kenapa sih Al seneng banget bikin aku panik?” Ify menyandarkan tubuhnya kembali setelah tadi sempat menegang. Alvan hanya tersenyum lebar.
“Nggak ada yang kamu sembunyiin kan dari aku?” selidik Ify. Alvan menatap Ify yang masih fokus memandang jalan di depannya.
“Nyembunyiin perasaan ke kamu aja aku nggak bisa, apalagi nyembunyiin hal lain,” jawab Alvan dengan senyum tertahan. Ify balik menatap Alvan lalu menghela napas pelan.
“Mungkin aku capek aja karena udah mulai sibuk prepare olimpiade,” lanjut Alvan tak mau membuat Ify semakin khawatir.
Ify mengarahkan mobil Alvan ke halaman rumah Alvan. Terlihat keluarga Alvan juga baru saja sampai. Mereka menatap kedatangan Alvan dan Ify. Mereka sedikit terkejut karena Ify yang keluar dari sisi kemudi. Dia lalu bergegas membuka pintu depan sebelah kiri. Orang tua dan kakak Alvan semakin terkejut karena Alvan turun harus dipapah Ify.
“Fy, Alvan kenapa?” tanya Luna.
Ify ingin menjelaskan tapi tidak tahu harus mulai dari mana. Luna membantu Ify memapah adiknya itu dan disusul papa Alvan.
“Alvan nggak papa kok. Cuma kecapekan aja,” sahut Alvan. Mereka semua terdiam seolah mengerti kode tersirat dari Alvan.
“Ya udah, Ify masuk dulu yuk!” ajak mama Ify.
“Nggak usah Tante. Ify langsung pulang aja. Udah malem banget soalnya,” tolak Ify sedikit canggung.
“Eh Kak, lo tolong anter Ify ya. Pake mobil gue,” pinta Alvan.
“Nggak usah Al! Aku bisa pulang sendiri kok.” Ify semakin tidak enak.
“Udah nggak papa. Ayok!” ajak Luna. Ify mengangguk.
“Makasih ya Fy udah anterin aku pulang,” ujar Alvan.
“Iya. cepet sembuh ya Al. Makasih dinner nya.” Ify tersenyum lalu menyusul Luna yang sudah memasuki mobil Alvan.
♡´・ᴗ・'♡
fila_daAah kenapa si setiap sama Alvan ending nya gitu mulu? ಥ_ಥ
KAMU SEDANG MEMBACA
ALKASA✔
Teen FictionSteffy Aliyaza, gadis manis yang sedikit berbeda dari gadis lainnya karena bisa melihat 'mereka'. Sebagian hidupnya yang hancur perlahan terkikis setelah bertemu seorang laki-laki alumni sekolahnya. Mereka bisa begitu dekat dalam waktu singkat. Namu...