[15] Berubah

49 3 0
                                    

Ify melihat pantulan dirinya di cermin sekali lagi, sebelum berangkat sekolah. Dia terpaksa menggunakan syal untuk menutupi luka di lehernya. Takut masih melekat di benaknya tapi mencoba dikesampingkan.

“Fy, mau sarapan dulu?”

Ify menengok untuk memastikan siapa yang baru saja bicara. Mama. Ify hampir tidak percaya apa yang barusan didengarnya. Mamanya menawarkan untuk sarapan.

“Mama nawarin Ify?” tanya Ify masih tak percaya.

Rere tersenyum sekilas.

“Iya. Memangnya ada Ify lain di rumah ini?” Ingin rasanya Ify berteriak sekarang juga, memberi tahu bahwa mamanya menawari sarapan. Terkesan berlebihan tapi Ify sangat bahagia sekarang.

“Iya Ma, mau!” jawab Ify semangat.

Ify duduk di meja makan. Dia memperhatikan berbagai macam makanan tersedia di depannya.

“Kenapa sih ngeliatin Mama kayak gitu?” tanya Rere pada Ify yang terus memperhatikannya tanpa berkedip.

“Ify boleh peluk Mama?” tanya Ify takut-takut.

Pertanyaan Ify dijawab dengan anggukan kecil dari Rere. Ify menghambur ke pelukan wanita yang sangat disayanginya itu. Ify seolah tak mau lepas lagi dari pelukan mamanya. Sungguh, dia merindukan kenyamanan ini.

“Ify kangen Mama,” bisik Ify yang dibalas belaian lembut dari Rere.

“Udah ih. Nanti kamu telat loh,” ucap Rere merenggangkan pelukannya.

Ify menyelesaikan sarapannya lalu pergi ke sekolah. Ify memasuki kelas tanpa berhenti tersenyum. Dia semakin sumringah saat melihat Zenia sudah duduk manis di kursi samping tempat duduknya.

“Eh, kesambet apaan lo senyum-senyum gitu?” Zenia merasa ngeri dengan tingkah Ify pagi ini.

“Mama gue Zen. Mama gue—” Ify menggigit bibir bawahnya menahan agar tak berteriak.

“Mama lo kenapa?” Zenia malah khawatir.

“Mama udah sayang lagi sama gue!” Ify setengah berteriak dengan mata berkaca-kaca. Sontak hal itu membuat teman-teman sekelas memandangnya dengan tatapan aneh.

Sepanjang pagi itu Zenia benar-benar menjadi pendengar yang baik. Jujur, dia turut bahagia atas perubahan mama Ify. Seringkali Ify seperti mayat hidup yang tidak tahu arah tujuannya. Sekarang, Zenia bisa bernapas lega karena sahabatnya tidak lagi semurung biasanya.

“Fy,” sela Zenia di tengah Ify bercerita.

“Apa?”

Saking bahagianya, Ify tidak menyadari kehadiran seseorang yang kini sudah duduk manis di meja depan tempat duduknya. Ify terjingkat.

“Lagi bahagia ya?” tanya seseorang itu basa-basi.

“Lo ngapain kesini Al?” Ify balik bertanya.

“Pulang sekolah nanti gue ada bimbingan olimpiade,” tutur Alvan.

“Terus hubungannya sama gue?” Ify tak mengerti maksud Alvan.

“Gue mau lo nemenin gue nanti,” sambung Alvan.

“Lah,” Ify cengo dengan perkataan Alvan barusan.

“Woy Al! Dicariin juga, tahunya lagi ngapel,” ucap Rio menyerobot percakapan di antara mereka.

“Ayo ke kelas! Lo tadi sempet dicariin Bu Dewa. Paling urusan olimpiade,” tutur Belva.

Alvan kembali menatap Ify dan memberikan kotak yang sengaja disembunyikannya dari tadi.

“Jadi selama ini—” ucap Ify tertahan.

“Gue tunggu pulang sekolah. Bye Fy!” pamit Alvan yang kemudian diikuti dua sahabatnya.

Banyak sekali pertanyaan dibenak Ify. Tentang mimpi atau kenyataan dihantui Sahara, kelakuan Alvan, dan juga kepastian dari,

Aksa.

***

“Kak Aksa!” panggil Ify saat melihat laki-laki yang memakai setelan batik dan celana berwarna krem berjalan sambil memainkan ponselnya. Sang empunya nama berhenti.

Ify segera menghambur ke pelukan Aksa tanpa aba-aba. Tak peduli dengan berbagai macam dugaan dari para siswa yang baru saja keluar kelas untuk pulang. Aksa sempat terkejut.

“Mama Kak! Mama udah sayang lagi sama aku!” ucap Ify ceria. Ify memang tidak memikirkan apapun sampai dia pun tidak menyadari seseorang yang menatapnya sendu dari jauh.

“Syukurlah, Kak Aksa ikut seneng dengernya,” sahut Aksa.

Ify melepaskan pelukannya. Dia ingin bercerita banyak kepada Aksa.

“Kak, ada yang mau aku ceritain,” ucap Ify.

“Ify! Yuk sekarang,” Alvan muncul tiba-tiba membuat Ify mulai kesal.

“Sebenernya ada yang mau Kak Aksa sampein juga ke kamu tapi lain kali ya Fy.” Ucapan Aksa sedikit mengecewakan Ify.

“Kamu ada janji kan sama dia? Kak Aksa juga mau ke rumah sakit nengokin Bela. Duluan ya Fy!” sambung Aksa. Dia berlalu tanpa menunggu balasan Ify.

Bela, sepenting itu ya? Ify mencoba mengesampingkan pikiran buruknya. Bisa saja Bela lebih penting karena mereka lebih lama kenal daripada Ify. Lagipula Ify juga bukan siapa-siapa yang berhak mengatur Aksa ingin peduli dengan siapa.

Pukul 16.20, Alvan dan Ify masih mendengarkan arahan dari Bu Dewa, pembimbing olimpiade. Ify masih tak mengerti, mengapa Alvan memintanya untuk menemani bimbingan. Alhasil, dia seperti nyamuk yang tidak ada kerjaan.

Ify menatap Alvan yang duduk di sampingnya mendengarkan Bu Dewa dengan seksama. Ify sempat terheran. Pelipis Alvan menampakkan bulir-bulir keringat. Padahal ruangan itu terpasang AC yang menyala dengan suhu 16 derajat celsius. Bibirnya pucat dan tangannya tampak bergetar. Ify mendadak gusar.

“Al, lo kenapa?” tanya Ify dengan berbisik.

Alvan menoleh dan tersenyum singkat.

“Gue nggak papa,” ucap Alvan dengan berbisik pula.

Beberapa menit yang lalu, bimbingan selesai. Bu Dewa dan siswa lainnya lebih dulu meninggalkan ruangan tapi Alvan memilih untuk tinggal dulu di sana. Alasannya, supaya tidak berdesakan. Sekarang, ruangan dan sekolah sudah sepi tapi Alvan belum beranjak dari tempat duduknya.

“Nunggu apa sih Al? Ayo pulang, kesorean nih gue,” ajak Ify.

Alvan mulai bangkit. Dia melangkahkan kakinya dengan perlahan. Namun, dia merasa kakinya sudah tak sanggup lagi menopang badannya. Alvan terhuyung tapi untungnya Ify sigap menahan Alvan yang hendak jatuh.

“Eh, Al lo kenapa?” Ify mulai panik.

Alvan merintih seolah sudah tidak kuat lagi menahan sakitnya.

“Ayok, gue bantu! Kita ke rumah sakit!” ucap Ify semakin panik dan tidak tahu lagi harus berbuat apa.

“Ja-jangan ke rumah sakit. Gue mau pulang aja,” sahut Alvan yang masih terus merintih.

“Jangan gimana!? Lo udah kayak gini! Jangan bandel,” tukas Ify yang kini mulai berkaca-kaca.

“Fy, please! Gue mau pulang aja,” ucap Alvan semakin pelan.

Ify tidak ada pilihan lain selain menuruti kata-kata Alvan. Di sepanjang perjalanan, Ify tak bisa menghentikan air matanya. Dia sendiri tidak tahu, mengapa cairan bening di pelupuk matanya begitu bebas keluar.

Alvan bersandar di bahu Ify dengan menutup matanya.

“Pak, cepet ya Pak!” ucap Ify kepada sopir taksi yang entah ke berapa kali. Lagi-lagi dia tidak habis pikir, mengapa Alvan tidak mau dibawa ke rumah sakit saat sedang begini.

Sesampainya di rumah dengan alamat yang diberikan Alvan, mereka disambut oleh seseorang yang Ify yakin adalah mama Alvan. Melihat putranya terkulai tak berdaya, mama Alvan menjadi panik. Kepanikan itu membuat papa Alvan keluar dan segera membantu Ify memapah putranya itu.




♡´・ᴗ・'♡
fila_da

Doakan si Alvan dengan Vomment ya gaes :DD

ALKASA✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang