3

1.7K 233 10
                                    

***

G Dragon melangkah memasuki studio rekamannya. Pria itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa begitu ia tiba, menatap sekeliling, mengenali satu-persatu orang di dalam studio itu. Ada Yongbae di sofa, duduk di sudut sembari sibuk dengan buku bacaannya, lalu Daesung bermain dengan handphonenya, pria itu berjongkok di lantai, dua langkah di depan Yongbae sembari bersandar pada dinding. Yang ketiga ada Sonho, manager yang sebelumnya menanyakan nama Lisa di mobil tadi. Sang manager tengah duduk di kursi beroda, sibuk dengan berkas juga laptopnya. Kemudian ada dua orang asisten produser di kursi masing-masing dan yang terakhir Teddy, duduk di kursi berdoa tepat di sebelah Sonho. Teddy sedang menelepon saat Jiyong datang dan duduk tanpa suara.

“Tadi aku bertemu Lisa,” gumam Jiyong kemudian, terdengar seperti sebuah pengumuman yang tidak di gubris siapapun.

“Siapa Lisa?” tanya Daesung kemudian. Entah apa yang pria itu lakukan dengan handphonenya, namun ia tidak berencana bangkit dari posisinya itu.

“Han Lisa? Adik kelas kita di sekolah?” tanya Yongbae dan Jiyong mengiyakannya. “Bagaimana kabarnya sekarang? Ku dengar dia jadi reporter sekarang?” susul Yongbae, yang kemudian mengatakan kalau ia datang ke acara reuni akbar tahun lalu– tanpa Jiyong. Di sana, teman-teman Lisa yang memberitahunya tentang kabar gadis itu, sebab Lisa pun tidak hadir dalam acara reuninya.

Jiyong mengiyakan cerita Yongbae, pria itu juga memberitahunya kalau Lisa sedang mencari beberapa informasi di agensi dan Jiyong memberinya berita tentang rencana comeback mereka. Sayangnya, di sana Jiyong justru merasa khawatir, sebab Lisa yang dulu terkenal cukup berada kini bekerja di sebuah laman berita yang tidak seberapa sukses.

“Dulu Lisa sering membantuku, dia sering membelikanku camilan, apa menurutmu aku bisa membantunya, hyung? Setidaknya aku ingin memberinya sebuah berita eksklusif,” ucap Jiyong, sembari menendang-nendang pelan kursi managernya.

“Suruh saja dia meliput acara pernikahanmu,” saran Teddy, yang baru saja selesai dengan panggilannya.

“Jiyeon tidak akan suka. Oh iya! Hari ini aku harus menemaninya memilih gaun pengantin, jam berapa sekarang?” tanya Jiyong kemudian, terlihat sedikit terburu-buru meski di depannya sudah ada berbagai pekerjaan yang mesti ia kerjakan.

Lagi, Teddy yang bersuara, pria itu bertanya apa mereka belum memutuskan gaun pengantin? Sebab sudah tiga kali Jiyong bilang kalau ia harus menemani Jiyeon mencari gaun pengantin. Sudah tiga kali mereka berkeliling butik gaun pengantin dan belum ada satu pun gaun yang menarik perhatian sang mempelai wanita.

“Pria perfeksionis dengan wanita yang lebih perfeksionis lagi. Apa yang kalian harapkan? Semua urusan selesai dalam satu hari? Aku yakin mereka baru memutuskan gaun dan tuksedonya di minggu-minggu terakhir,” komentar Yongbae, yang sudah lebih berpengalaman dibandingkan Jiyong apalagi Daesung.

“Ini pujian kan?” tanya Jiyong namun yang bicara hanya mengangkat bahunya, tidak benar-benar setuju kalau itu pujian.

Lagi, Jiyong menghela nafasnya. Pria itu selalu sakit kepala setiap kali memikirkan masalah pernikahannya. Jiyong jadi penasaran, apa yang sebenarnya ia pikirkan saat melamar Jiyeon waktu itu. Benarkah ia menginginkan pernikahan ini? Atau hanya mengikuti permintaan keluarganya tanpa berfikir sama sekali?– Kau sudah ada di umur siap menikah, Jiyeon pun sama, kenapa kalian tidak menikah saja?– apa pertanyaan seperti itu yang sebenarnya menjadi alasan ia memutuskan untuk menikah? Semakin hari, rasanya Jiyong jadi semakin takut, semakin khawatir dan semakin ragu.

Pukul empat sore, Jiyong melangkah masuk ke sebuah gedung kesenian. Pria itu tahu kekasihnya ada di sana, tengah berlatih untuk orkestranya pertengahan tahun depan. Jiyeon akan menjadi seorang pianis utama untuk sebuah pertunjukan orkestra. Alunan musik Vivaldi memenuhi ruang orkestra ketika Jiyong masuk dari pintu utama di belakang kursi-kursi penonton. Dengan topi, kaos dan celana jeansnya pria itu tidak terlihat siap untuk menikmati alunan gembira musik Autumn dari Four Seasons karya Vivaldi.

Kemewahan yang ditawarkan oleh Autumn membuat Jiyong merinding. Sementara senyum Jiyeon di atas panggung– di depan pianonya– membuat Jiyong ikut tersenyum. Dari senyuman itu, Jiyeon mengatakan agar Jiyong menunggunya sebentar lagi. Sebab Jiyeon masih harus menekan tuts untuk memainkan Winter sebelum akhirnya latihannya selesai.

Awalnya Jiyong duduk di salah satu kursi penonton, di tengah-tengah auditorium besar itu menikmati alunan mewah penuh kegembiraan dari Four Seasons. Namun di tengah-tengahnya, handphone pria itu bergetar dan ia terpaksa bangkit, melangkah keluar untuk menjawab panggilan yang masuk.

Lisa yang meneleponnya. Gadis itu menelepon Jiyong untuk menanyakan sesuatu sekaligus meminta bantuan Jiyong. “Maaf karena aku sudah meminta bantuanmu di pertemuan pertama kita. Tapi kalau kau bida membantuku-“

“Apa yang kau butuhkan? Kalau aku bisa, tentu aku akan membantumu. Selama itu bukan sesuatu yang illegal,” potong Jiyong, terdengar senang sebab sampai terakhir kali pertemuan mereka, ia tidak pernah membalas kebaikan Lisa padanya. Jiyong merasa berhutang nyawa pada wanita itu. Wanita yang hilang bagai angin musim dingin di akhir hari kelulusannya– atau mungkin ia yang sebenarnya pergi tanpa pernah berpamitan? Saat itu kelulusan juga debutnya berlalu sangat cepat hingga Jiyong tidak sempat memikirkan hal lainnya.

“Boleh aku meliput tentang gedung baru YG?” tanya Lisa, terdengar sedikit malu-malu namun justru membuat Jiyong terkekeh karenanya. Jiyong pikir Lisa akan memintanya untuk memberikan informasi penting terkait agensi atau interview pribadi mengenai rencana pernikahannya. “Uhm… aku tahu kalau meminta informasi skandal padamu, atau meminta interview eksklusif tentang persiapan pernikahanmu, kantorku belum siap untuk mengatasinya. Kantorku hanya kantor berita kecil, tapi kurasa akan bagus untukku kalau aku bisa meliput di kantin atau beberapa ruang latihan kosong? Agar pembaca kami bisa tahu dimana dan seperti apa tempat idola mereka berlatih, bagaimana? Apa terlalu berlebihan?”

Jiyong menimbang-nimbang untuk beberapa detik. Rasanya akan sulit kalau harus meminta izin pada petinggi-petinggi agensi. Terlebih untuk meliput ruang latihan para trainee yang sedikit banyak masih dirahasiakan. Namun Jiyong rasa ia bisa membantu Lisa.

“Bagaimana kalau kunjungan pribadi saja? Aku bisa menemanimu berkeliling di YG, kau bisa menulis namaku sebagai informanmu, tapi tidak akan bisa membawa kameramu dan merekam. Mungkin mengambil beberapa foto dengan handphonemu diizinkan, tapi tidak boleh ada wajah siapapun terutama anak trainee di sana.  Uhm… tapi kalau kau butuh wajah, aku bersedia difoto? Bagaimana?”

Lisa berterimakasih. Ia menyetujuinya. Apapun syaratnya, gadis itu tidak keberatan, selama ia bisa berkeliling dan melihat bagian dalam YG Entertainment. Setelah beberapa menit, akhirnya panggilan itu berakhir. Seperti Han Jipyeong yang ingin membantu Seo Dalmi karena rasa terimakasihnya, Jiyong pun ingin membantu Lisa karena rasa terimakasihnya.

Tidak lama setelah panggilan itu berakhir, Jiyong menghubungi Yang Hyunsuk. Ia mengatakan apa yang baru saja ia janjikan pada Lisa, kemudian bersikeras kalau ia akan bertanggung jawab atas artikel yang nanti dikeluarkan Lisa. Jiyong bersumpah kalau artikel itu tidak akan merusak citra agensi, ia juga berjanji untuk memastikan tidak ada informasi rahasia yang bocor. Sikapnya yang terlalu perhatian itu, lantas membuat atasannya heran.

“Kau tidak berselingkuh dengan gadis tadi kan?” tanya Yang Hyunsuk kemudian. “Aku melihat kalian mengobrol di lobby lama sekali.”

“Dulu aku berhutang nyawa padanya,” ucap Jiyong, tentu tanpa pernah menyinggung rencana bunuh dirinya. “Aku pernah tergelincir di jembatan, dan masuk ke sungai. Aku hampir tenggelam karena terkejut tapi dia menyelamatkanku. Seharusnya aku berterimakasih sejak lama, tapi aku baru bertemu lagi dengannya sekarang. Dia butuh bantuanku untuk pekerjaannya, dan aku ingin membantunya, hanya itu. Sama sekali bukan perselingkuhan atau apapun seperti itu.”

“Baiklah kalau hanya itu hubungan kalian. Bawa saja dia berkeliling tapi pastikan kau mengecek dulu artikelnya sebelum diterbitkan,” tegas Yang Hyunsuk sebelum kemudian panggilan itu berakhir.

Jiyong bersyukur rencananya untuk membantu Lisa bisa dengan mudah terealisasikan. Ia hanya perlu mengatur jadwal dengan gadis itu, namun itu bisa dilakukan lain kali. Jadi sembari mengabari menyimpan kembali handphonenya di dalam saku, pria itu mengangkat kepalanya dan mulai melanhkah hendak kembali ke dalam auditorium. Alunan string dari Winter dalam Four Seasons sudah terdengar, sebentar lagi latihan Jiyeon akan selesai.

“Oppa!” sapa ceria seorang gadis yang baru saja keluar dari ruang auditorium lain. Dari ruang auditorium yang lebih kecil, Kim Jisoo seorang pemain biola, baru saja keluar setelah berlatih.

“Oh? Jisoo-ya, lama tidak bertemu,” balas Jiyong. “Mungkin sudah empat atau lima tahun?”

“Heish… dua tahun lalu kita bertemu di konser kelulusanku. Di Jerman, ingat? Ahh… oppa hanya ingat Jiyeon eonni di sana, iya kan? Di sana kalian pertama kali bertemu,” oceh Jisoo sembari memegangi tas biolanya. “Bukankah itu artinya aku yang menjodohkan kalian? Berterimakasih lah padaku,” seru ceria Kim Jisoo dan suaranya jadi lebih ceria lagi di saat Jiyong mengatakan kalau ia baru saja bertemu dengan Lisa lagi.

Ternyata, sama seperti Jiyong yang sempat kehilangan jejak Lisa, Jisoo pun juga sama.
Sama seperti Jiyong, Kim Jisoo terlalu fokus pada karir bermusik mereka hingga tidak sempat memperhatikan satu persatu teman masa sekolah mereka. Terlebih karena saat itu mereka bukan anak-anak populer.

Saat itu, mereka– orang-orang seperti Jisoo, Jiyong juga Yongbae– yang sering kali sibuk dan jarang datang ke sekolah hampir tidak diperhatikan di kelas. Anak-anak berbakat itu lebih sering menghabiskan waktu untuk latihan juga mengasah kemampuan mereka dibanding untuk bermain. Hampir bertolak belakang dengan Lisa, Jennie sampai Ten yang sehari-harinya dihabiskan di sekolah.

“Aku sangat merindukan Lisa… dulu dia satu-satunya anak populer yang tersenyum padaku. Bahkan saat aku di bully, dia membantuku mengatasinya. Membahas tentang bully membuatku mencium bau telur busuk lagi di kepalaku,” gerutu Jisoo sembari mencium rambutnya sendiri.

Sembari terkekeh, seolah dulu mereka sangat dekat, Jiyong ikut mencium rambutnya Jisoo. Bukan meraih helaian rambutnya, namun mengulurkan kepalanya untuk menghirup aroma di puncak kepala teman sekolahnya itu. Sikapnya terlihat seolah ia hendak mencium Jisoo tepat di kepalanya.

“Tidak ada bau busuk. Kau memakai shampo nanas? Aroma apa ini? Sesuatu seperti buah tropis yang segar?” balas Jiyong, mengomentari aroma rambut Jisoo demi membuat gadis yang terlihat masih menyimpan trauma itu merasa lebih baik.
Jisoo menganggukan kepalanya.

Ia mengiyakan komentar Jiyong kemudian mengaku kalau ia baru saja tiba dari Jerman dan belum sempat berbelanja.

“Aku memakai shampo keponakanku, aku baru saja datang dan tinggal di rumah lama kakakku. Ku pikir kakakku sudah menyiapkan segalanya, tapi ternyata apartemen itu hampir kosong. Peralatan mandi saja tidak ada, untungnya aku menemukan shampo dan sabun bekas keponakanku. Ah! Dan pasta gigi rasa jeruknya, benar-benar enak. Aku heran kenapa anak-anak sulit disuruh menggosok gigi padahal pasta gigi mereka rasanya luar biasa?” gadis itu terus mengoceh, membuat Jiyong tersenyum karenanya, membuat Jiyong terkekeh kemudian tertawa bersamanya lalu membuat cemburu sang calon mempelai wanita.

***

Can't SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang