4

1.3K 209 3
                                    

***

Kira-kira tiga hari kemudian, Lisa turun dan memarkir motornya di gang sepi, beberapa meter dari gedung YG. Motornya berwarna hitam tanpa hiasan apapun. Motor sport yang cukup tinggi, juga cukup besar untuk tubuh kurusnya. Orang bilang, gadis itu terlihat mempesona dengan motor juga helm hitamnya. Setelah memarkir motornya, ia tutup motor itu dengan sebuah terpal plastik berwarna biru gelap yang kelihatan kusam.

Lisa menoleh, memastikan tidak ada yang melihatnya sementara tangannya sibuk menata rambutnya yang sebelumnya ia gelung dalam helm. Di bahunya sudah tersampir sebuah tas ransel berisi kamera, sementara handphone navy-nya yang bergetar ada di dalam saku celananya. Setelah selesai dengan rambutnya selama beberapa detik, gadis itu menjawab panggilannya. Ia mendapat sebuah telepon dari Jiyong.

“Kau jadi datang?” tanya pria itu, setelah Lisa bersuara.

“Ya, aku hampir sampai gedung YG sekarang.” Sembari berjalan gadis itu berjalan mendekati gedung tujuannya, menyelinap masuk melalui pintu samping kemudian keluar di pintu utama dengan jalan pintasnya. Ia terlalu malas mengambil jalan memutar melalui trotoar. Ternyata peta agensi yang Hyunjin berikan padanya berguna juga.

Tidak lama setelah Lisa muncul di pintu depan, Jiyong terlihat tengah berlari kecil, menuruni eskalator untuk menghampiri Lisa di pintu utama. “Sudah menunggu lama?” tanya Jiyong setelah ia menyapa tamunya.

“Kau tidak membawa alat perekam apapun kan? Selain handphonemu, tentu saja,” yakin Jiyong dan Lisa menganggukan kepalanya.

“Tidak ada alat perekam apapun,” jawab Lisa sembari menyelipkan rambutnya ke balik telinganya, menekan sedikit anting-antingnya, menyalakan sebuah kamera kecil di sana.

“Aku sudah bisa melihat semuanya,” bisik Hyujin, terdengar jelas melalui earphone tanpa kabel di telinga Lisa yang lainnya.

Gadis itu kemudian melepaskan earphonenya. Memasukan benda kecil itu ke dalam saku celananya dan tersenyum pada Jiyong.

“Aku lupa kalau tadi sedang mendengarkan lagu. Earphone wireless membuatku sering sekali lupa kalau aku sedang memakainya,” cerita Lisa tanpa membuat Jiyong curiga sama sekali. “Oppa pernah pergi mandi dengan earphone wireless? Aku sudah dua kali melakukannya… untungnya benda itu hanya rusak dan tidak meledak di telingaku,” cerita Lisa sembari menunggu Jiyong mengajaknya masuk.

“Biasanya, aku mencari earphonenya kemana-mana dan ternyata dia ada di telingaku sendiri.” Jiyong membalas, sembari menggerakan tangannya untuk mempersilahkan Lisa masuk ke dalam agensinya. “Kalau kau ingin memotret sesuatu, beritahu aku, oke?” pesannya sebelum kemudian mereka melangkah, menginjak eskalator di sebelah lobby utama.

Mereka banyak bicara selama berkeliling. Membicarakan kegiatan orang-orang di agensi sampai cerita-cerita lucu yang pernah Jiyong alami di sana. Lisa terlihat begitu penasaran dengan cerita Jiyong, sikapnya yang antusias hampir bertolak belakang dengan sikap Jiyeon yang cenderung tenang.

Selera Jiyong bukan gadis yang penuh pertanyaan dan semangat seperti Lisa– begitu kata orang lain di sekitar mereka. Lisa yang terlalu berbeda dengan Jiyeon, membuat tidak seorang pun menaruh perhatian pada kegiatan mereka berdua sekarang.

“Perkenalkan, ini Lisa teman sekolahku dulu. Dan Lisa, perkenalkan ini Teddy, salah satu produser senior di sini. Kalau anak trainee bilang, dia adalah raja terakhirnya. Siapapun yang dipanggil ke studio olehnya, akan langsung debut,” cerita Jiyong memperkenalkan seorang pria yang berdiri di depan Lisa sekarang, di dalam studio rekaman tempat Teddy biasa bekerja– Studio The Black Label.

“Tentu saja aku tahu siapa Teddy, dia sangat terkenal di industri ini,” komentar Lisa, meski sebenarnya ia baru membaca nama Teddy dan identitasnya tadi malam, sebelum ia pergi tidur. “Ku dengar anda pernah tinggal di New York dan California. Aku pernah ke sana untuk meliput sesuatu,” cerita gadis itu membuat Teddy jadi lebih nyaman bicara padanya.

Hampir tiga puluh menit mereka mengobrol, membicarakan banyak permainan termasuk Poker yang Jiyong mainkan 2015 silam. Awalnya Lisa hanya bertanya, apakah Jiyong benar-benar bisa memainkan permainan itu– Texas Hold'em Poker– atau hanya duduk dan menonton. “Tentu aku bisa memainkannya,” seru Jiyong, tidak ingin terlihat payah di depan Lisa dan Teddy yang kini menaikan alisnya, ragu.

“Kau hanya perlu membuka kartu di tanganmu, apa sulitnya dari itu?” susul Jiyong.

“Tentu sulit, kalau kau tidak tahu kapan harus bertaruh dan kapan harus berhenti. Kau hanya tahu Two Pair dan Full House.” Teddy berkomentar. “Mau coba bermain di bawah?” tantang Teddy, membuat Lisa mengukir senyum syukurnya– akhirnya apa yang ia harapkan terjadi juga, pergi ke play room di agensi itu.

Di play room, Lisa bisa melihat banyak sekali permainan dan sofa-sofa empuk untuk bersantai. Beberapa member iKon terlihat tengah bermain tenis meja di sudut ruangan, sementara member Winner bermain biliar di ujung lainnya. Pria-pria itu menyapa Jiyong juga Teddy begitu mereka masuk, sementara Lisa membuka handphonenya dan membaca sebuah pesan di sana. Pesan itu sudah ada sejak tujuh hari lalu di handphonenya, sebuah pesan singkat berisi ajakan bermain– Come to my play room. Have a party with friends! Win your jackpot! ALL-IN 397-5 121-220! The wildest texas hold'em poker.

“Aku menemukannya,” gumam Lisa, berharap Hyunjin dapat mendengar ucapannya itu melalui kamera yang ada di anting-antingnya.

“Ya? Apa yang kau temukan?” celetuk Jiyong, tidak sengaja mendengar gumaman Lisa barusan.

“Ya? Ah… dia,” tanggap Lisa, menunjuk seorang pria di meja biliar meski sebenarnya ia tidak begitu mengenal pria itu.

“Mino?”

“Ya, Mino, aku mengidolakannya, tapi aku tidak boleh berfoto dengannya kan?” tanya Lisa membuat Jiyong tanpa sadar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Dengan tenang, Jiyong menghampiri Mino, bicara padanya tentang Lisa yang mengidolakan pria itu sementara Teddy menemani Lisa di meja Poker. Bentuknya hanya meja persegi panjang dengan dua sisi yang melengkung, hampir seperti oval. Bagian atas meja itu berwarna merah, dengan pinggiran kayu yang membuat mejanya tampak seperti mangkuk datar yang tidak seberapa dalam. Mungkin kedalamannya hanya lima sentimeter. Di sekeliling meja itu ada lima kursi, namun tempatnya didisain untuk enam orang– sebab orang keenam dalam permainan itu adalah dealer-nya, si pengacak dan pembagi kartu.

Lisa berdiri di tempat para dealer biasa berdiri, sementara Teddy duduk tepat di hadapannya. Ada laci kecil di tempat sang dealer, laci dimana kartu-kartunya di simpan. Dengan sengaja, sembari menunggu Jiyong, gadis itu meraih kartu-kartunya.

“Sepertinya jarang yang bermain di sini,” komentar Lisa, sebab tangannya menyentuh setumpuk debu tebal di tempat kartu-kartunya tersimpan.

“Ya, di sini tidak banyak yang senang bermain kartu. Hanya Hyunsuk hyung dan beberapa wajah senior. Anak-anak muda, lebih suka bermain biliar atau VR. Temanmu itu juga tidak bisa bermain, biasanya dia hanya menonton dan mengganggu. Atau All-in kalau dapat sepuluh. Jiyong belum tahu kalau Jack, Queen, King, As dan Poker itu lebih tinggi.”

Lisa terkekeh, namun bukan karena cerita Teddy. Gadis itu tertawa sebab ia menemukan jackpotnya, ada di balik kartu club delapan. Tidak lama setelah Lisa tertawa, Jiyong datang bersama Mino. Ia kenalkan Song Mino kepada teman sekolahnya itu, mengizinkan Lisa berfoto bersamanya kemudian bermain kartu untuk beberapa menit.

Mereka– Lisa, Jiyong, Teddy, Mino dan Seungyoon bermain kartu tanpa seorang dealer. Mereka tidak butuh dealer sebab tidak ada uang yang dipertaruhkan.
Permainan berjalan beberapa menit, hampir selesai satu putaran ketika tiba-tiba saja seorang pria berlari ke arah mereka dengan sedikit terengah-engah. Begitu tiba, pria itu langsung merebut kartu dari tangan Lisa dan Teddy, ia juga melakukan hal yang sama para kartu-kartu di atas meja, serta ditangan pemain lainnya.

“Hyung?” tegur Jiyong, sedikit kaget dengan sikap tidak terduga itu. Tidak ada yang menduga Yang Hyunsuk berlari dari ruangannya hanya untuk mengganggu mereka bermain kartu.

“Berhenti bermain, sudah waktunya bekerja,” susul pria itu sembari mencari-cari apa yang tidak bisa ia temukan.

***

Can't SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang