28. Sour

6 2 0
                                    

Instead of saying “goodbye”, why don’t we just say “see you later”?





***

*03.40 PM*

“Kapan lo punya waktu? Lo aja datang kayak petir, pergi kayak angin dan habis itu ngilang."

Kalimatnya barusan membuat Dila terusik dan memasang wajah masam.

"Lo masih ingat kan terakhir kali kita ketemu?” tanya Tian pada Dila dengan sedikit penegasan dalam nada bicaranya.

“Gue.. gue pulang dulu, ya. Gue berubah pikiran.” jawab Dila gugup.

Mereka berdua sedang berada di kafe Fendy. Dila datang untuk melamar sebagai pelayan kafe.

Semalam, Dila mengirim e-mail ke pemilik kafe dan akhirnya dipanggil langsung ke kafe tersebut. Dia ingin memiliki sedikit pengalaman kerja.

Tapi, dia cukup terkejut karena tampaknya Dila kurang beruntung karena dia memasuki kandang ‘singa’. Kafe itu adalah milik Tian.

Wajah Dila mengeras. Dia terlihat seperti orang yang sedang bergumam pada dirinya sendiri, merutuki kebodohannya karena tak mencari tahu terlebih dulu soal kafe itu.

Dila ingin segera kabur dari situ, tapi Tian menahannya. Kepala Dila tertunduk saat Tian berdiri di hadapannya.

Dia tak nyaman mendengar Tian terus berbicara seakan menekannya. Dia sepertinya pendendam karena masih mengingat kesan pertama pertemuan mereka yang sangat tidak mengenakkan bagi Dila.

'Astaga, mirip siapa dia? Duh, dia betul mengingatkan gue sama si Iblis itu. Apes.' Batin Dila menyembunyikan rasa cuaknya dengan tersenyum canggung.

“Kenapa lo nggak menjawab sih? Katanya mau kerja, kok malah pengen cabut gitu aja?" Bentak Tian pada Dila yang menunduk dalam-dalam.

"Terus ngapain kirim surat lamaran?” tanya Tian lagi.

Dila yang sedari tadi berdiri di depan Tian makin menundukkan kepalanya.

'Apa yang harus gue bilang? Kenapa sih cowok ini keras kepala banget?'

Dia betul-betul ingin mengangkatkan kakinya dari situ. Dila sedikit mengerutkan alisnya dan merasakan wajahnya langsung memutih pucat karena mendengar pertanyaan Tian yang seperti membentak tadi.

Hal-hal yang dikatakan Tian itu menyudutkan Dila dalam posisi sulit dan menjadi pesimis.

“Lo takut? Gue bersikap sangat manis seperti seekor anak kucing, kok. Tenang aja, gue nggak bakal menggigit.” Kata Tian lagi.

Dila mengangkat kepalanya dan melihat Tian sedang tersenyum manis menatapnya.

“Maaf.. gue.. gue harus kerja kelompok habis ini. Sepertinya gue harus pergi sekarang. Gue balik, ya?” kata Dila dengan sedikit takut.

“Biarkan dia pergi. Lo nakutin pacar gue tau nggak.” Kata Joshua dengan suara ramah yang tiba-tiba muncul.

Dila terkejut melihat Joshua.

“Kok lo bisa ada di sini? Berhenti mencemaskan gue dan khawatirin diri lo sendiri. Oke, gue mau kerja di sini. Mulai besok, kan?” tanya Dila yang merasa tidak nyaman atas kehadiran Joshua yang ingin menolongnya lagi.

Dia belum yakin dengan perasaannya dan sepertinya jalan satu-satunya agar dia terbebas dari ketidaknyamanan itu, dia harus mengisi waktu luangnya sehingga Joshua nggak bisa mengganggunya saat dia luang.

Dila menggigit bibir bawahnya diam-diam.

'Bodoh! Kenapa gue malah ngomong gitu? Huft..'

Dia bisa jadi menyesali perkataannya barusan.

Semicolon ; MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang