5. Fronting

15 4 0
                                    

Dua hal yang paling sulit dikatakan: ‘Hai' untuk yang pertama kali, dan ‘Selamat tinggal’ untuk yang terakhir kali.




***

*07.35 AM*

It's always times like these when I think of you
And I wonder if you ever think of me
'Cause everything's so wrong and I don't belong living in your precious memory 🎶
- Vanessa Carlton, A Thousand Miles

Lagu itu mengalun di telinga Dila dan sebuah suara mengganggunya.

"Kak, ayo bangun, kita sarapan bareng!"

Siapa lagi kalau bukan si bungsu yang berbakat sebagai koki, Diba.

"Buruan!! Bisa-bisanya lo nggak mau sarapan padahal selama ini paling rajin.” teriak Diba sambil menarik-narik tangan Dila agar Dila segera bangun.

“Masalah cinta? Hei.. apa lo tahu dapetin cowok yang baik? Lo mau gue kasih tau nggak?” tanya Diba mencoba memancing Dila agar segera bangun.

"Wah.. benar-benar menarik. Adik gue yang juga nggak pernah pacaran mau ngasih gue saran soal cinta? Omong kosong." Kata Dila sambil menarik selimutnya menutupi kepalanya.

“Kak, ayolah. Gue tau lo lagi kecewa sama seseorang, tapi jangan nyiksa diri lo kayak gini. Kita sarapan yuk, terus kita ke taman hiburan kek atau kemana biar lo senang, ajak kak Dino juga gimana?" bujuk Diba dengan manja.

"Kita kan udah lama nggak hangout bareng. Kakakku yang baik, ayo dong!” ujar Diba dengan bibir yang mengerucut sambil berusaha mencegah Dila menutupi dirinya di dalam selimut.

Setelah semenit acara tarik-menarik selimutnya, akhirnya Dila menyerah.

“Oke! Gue bangun nih! Sudah, kan? Ya udah, lo keluar aja sono.” bentak Dila sambil terduduk di ranjangnya dengan muka betenya lalu melepaskan earphone yang terpasang di telinganya.

Melihat Diba yang berlagak menyebalkan itu membuat amarah Dila meledak. Diba menunjukkan senyum kemenangannya.

“Belum. Lo mesti cuci muka dulu terus kita sarapan. Semua orang hidup pasti butuh makan mau bagaimana pun kondisinya. Kak Dino udah nungguin tuh. Cepetan sana!” titah Diba.

Diba tak memedulikan Dila yang berusaha mengusirnya. Dila mempererat cengkeramannya pada selimut di tangannya lalu mendengus.

"Ahh.. iya iya." Ujarnya pasrah.

Dila kemudian menuju kamar mandinya dengan gusar.

Setelah membasuh wajahnya, Dila dan Diba kemudian turun menuju ruang makan. Dino berdecak melihat wajah kakaknya yang masih galau.

“Siapa lo? Kok nggak kenal yah?"

Seperti biasa, Dino melontarkan sindiran dengan wajah datarnya.

"Muka kusut amat. Oh.. Pengen gue setrika? Masih pagi nih, entar rezeki lo lari takut lihat muka lo.” sindir Dino lagi.

Dino kira kakaknya itu akan terkejut dan merasa malu atau membuat alasan namun Dila hanya memutar matanya kesal lalu duduk di meja makan. Tawa Dino dan Diba hampir meledak melihat ekspresi Dila itu. 

“Kak! Makan tuh, dilihatin doang. Emang lo makan pakai mata yah?” tegur Dino.

Dila dengan pelan menyendoki makanannya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Diba dan Dino tersenyum satu sama lain saat melihat Dila akhirnya menyantap makanannya dengan lahap.

Dari semalam, Dila tak makan apapun. Dila hanya mengurung dirinya di kamar dengan menangis tersedu-sedu.

Itu sebabnya, Dino dan Diba sangat khawatir pada kakaknya itu. Apalagi orangtua mereka sedang di luar kota jadi hanya adik-adiknya yang bisa menghibur Dila.

Semicolon ; MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang