Chapter 19

142 21 21
                                    

Toktoktok

Ketukan pintu terdengar dari apartemen Nadine, iapun segera membukakan pintu tersebut.

Plak

Itulah yang Nadine dapatkan ketika membuka pintu apartemennya. Tamparan yang cukup keras dilakukan oleh Agatha teruntuk Nadine, kakaknya. Agatha datang dengan keadaan menangis tersedu-sedu, gadis itu masih mengenakan seragam sekolah yang di tutupi oleh jaketnya.

Sakit, itulah yang dirasakan Nadine. Entah apa salah Nadine terhadap Ata, seharusnya dirinyalah yang marah kepada sang adik karena berani-beraninya dia merebut Daniel.

Nadine menatap Agatha dengan penuh kesal dan amarah, ia jelas tak terima tamparan tadi. Ingin rasanya Nadine membalas kembali untuk menamparnya, namun ia tidak akan pernah tega melakukan itu semua.

"lo kenapa Ta? Ngapain tampar gue?" tanya Nadine kesal.

"seharusnya gue yang tanya lo kak! Lo udah ngasih apa sama orang tua Daniel, sampe-sampe mereka lebih milih lo dari pada gue?"

Nadine terdiam, ia tak tahu harus berkata apa. Pertanyaan Ata sulit untuk ia jawab.

"lo guna-guna mereka? Lo pelet mereka?" tebak Ata.

Nadine yang mendengar pertanyaan itu langsung menatap tajam adiknya. Ia tak menyangka Agatha bisa berkata seperti itu. Amarahnya sudah kian memuncak sekarang.

"lo jangan ngomong sembarangan! Gue cuma ngasih ketulusan gue sama mereka. Kalau mereka gak suka sama lo, artinya mereka belum lihat ketulusan lo." cerocos Nadine.

"huft, bilang aja kalau lo ngedukun!" ujar Ata membuat Nadine benar-benar tidak tahan.

Plak

"awhh... Sstt.." lirih Ata.

Nadine berhasil membalas tamparan Ata tadi.

"ini tamparan karena lo udah ngerebut Daniel dari gue."

Plak

"dan ini tamparan karena omongan lo barusan, udah bikin gue muak sama lo!" ujarnya.

Dua kali Nadine menampar Ata dengan pipi yang berbeda. Kini Ata semakin menangis kencang. Pipinya sudah memerah kesakitan. Nadine menamparnya jauh lebih keras daripada saat Ata menampar Nadine.

Nadine menutup pintu apartemennya. Ia sangat marah, kesal, sekaligus kecewa terhadap adiknya. Namun, ia juga merasa bersalah karena sudah menamparnya barusan.

Nadine menangis, perlahan ia menjongkokkan tubuhnya di balik pintu. "maafin kakak, Ta!", itulah yang ingin ia sampaikan terhadap adiknya sekarang, namun ia tak bisa.

Sedangkan Ata yang masih berdiri diluar, ia menghapus air matanya.

"gue semakin benci sama lo kak. Lihat aja, apa yang bakal gue lakuin supaya Daniel bisa sepenuhnya jadi milik gue!" desisnya tersenyum licik.

***

Keesokan harinya, Nadine sudah terbiasa duduk di bangku paling depan. Meskipun tidak ada seseorang yang berani menyapanya, tapi tidak apa, setidaknya ia lebih nyaman seperti ini daripada harus sebangku dengan orang yang ia cinta namun berusaha keras menyingkirkannya.

Pria itu? Tiba-tiba datang dengan emosi yang bergunduk. Ia menatap Nadine dengan tajam. Tangannya dikepal kencang-kencang. Ada apa ini? Apa ia akan memukul gadis dihadapannya itu?

Nadine menatap pria itu dengan heran, ia sama sekali tidak takut. Bagaimanapun, Nadine yakin bahwa Daniel tidak akan menyakitinya. Baik itu dulu, sekarang, maupun dimasa depan.

"berdiri lo!" titahnya.

Nadine tetap diam tak bergerak, ia sama sekali tidak mendengar perintah pria itu. Dengan sengaja, Nadine malah mengalihkan pandangannya kepada papan tulis di depan.

"BERDIRI!" ujar Daniel mengangkat tubuh Nadine dengan kedua tangan di pundaknya agar berdiri.

Nadine menghempaskan kedua tangan Daniel, ia bergegas pergi keluar kelas karena malu di tonton teman-temannya. Bahkan, ia menjadi omongan dan tawaan temannya itu.

Ketika Nadine keluar, Daniel mengikutinya, Daniel meraih tangan Nadine dan tak sengaja membanting tubuhnya ke tembok.

"gedeblug!"

"ouch!" lirih Nadine memegang kepalanya kesakitan.

Nadine jatuh pingsan, kepalanya terbentur cukup keras hingga mencucurkan darah.

Daniel membuka kedua matanya, ia kaget akan kelakuannya yang telah mencelakai Nadine. Ia merasa bersalah, ketakutan, takut Nadine kenapa-napa. Segera Daniel meraih kepala Nadine, ia menepuk-nepuk pipi gadis itu.

"Nad!"

"Nad, bangun Nad! Aku minta maaf, Nad!" ujarnya meneteskan air mata.

Ia menangis tersedu-sedu, juga disaksikan banyak siswa yang menghampirinya untuk melihat kejadian itu.

"TELPON AMBULANCE!" titah Daniel yang entah untuk siapa.

"TOLONG! TELPONIN AMBULANCE SAT!" kini matanya tertuju pada Satya, yang merupakan teman sebangku barunya.

Satya menganggukan kepalanya dengan wajah cemas. Ia segera meraih ponsel di saku celananya, kemudian menelpon ambulance.

Nadine (COMPLETED) √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang