Bel istirahat sudah berbunyi, semua siswa memadati kantin, termasuk tujuh bujang yang berada di pojokkan dengan sepiring bala-bala dan cabe rawit. Lima di antaranya sedang memegang ponsel yang menayangkan sebuah game tembak-tembakkan. Sisanya, memerhatikan sambil mengunyah bala-bala.
“Maju Chan, maju!” teriak salah satunya.
“Kalem kampret!” sahut yang lain. (Bentar, kampret!)
“A, Jindra sama Lele di belakang ya,” ucap orang yang menyebut dirinya Jindra.
“Jen, lindungi urang Jen.”
“Ini mereka yang teriak-teriak, kok urang yang malu,” kata Mark, salah satu dari dua orang yang tidak ikut main game. “Naha maneh gak ikutan?” lanjutnya.
(Kenapa lo gak ikutan?)“Males ah.”
Mark mengangguk.
“Heh! Kalian gak akan beli makanan?” tanya Mark pada kelima orang yang fokus pada ponselnya.
“Nanti,” sahut kelima orang itu serentak.
“Buset, kompak bener,” responsnya.
“Yaaaahh, kalah kan. Maneh sih Jen nggak ngelindungin urang,” keluh Echan.
“Ya udah sih, kalah mah kalah aja,” kata Injun.
“Heem, lagian kita main buat seneng-seneng doang A,” sahut Lele.
“Beli makanan sana,” titah Mark.
Mereka kompak bubar, pergi ke pedagang yang berbeda untuk membeli makanan sebagai pengganjal perut.
***
Dulu, mereka hanya sebatas teman satu angkatan yang tidak mengenal satu sama lain, kecuali Nana-Jeno dan Echan-Injun yang memang sudah satu kelas. Entah sebuah kebetulan atau memang takdir semesta, ketujuh bujang ini dihukum bersama-sama karena telat masuk sekolah dan yang dihukum cuma mereka bertujuh.
Guru BK berkata, mereka harus membersihkan kamar mandi sekolah sampai tidak ada satu noda pun yang tersisa. Mau tidak mau, mereka menyanggupinya. Mereka selesai ketika bel istirahat berbunyi, jadilah mereka pergi ke kantin bersama-sama, duduk di pojokkan sambil meminum teh sisri.
“Btw, urang Rechano, panggil aja Echan,” kata salah satu dari mereka.
“Gak nanya,” sahut si bahu sempit.
“Ya urang ngasih tau.”
“Urang Mark,” kata si bule.
“Kalo aku Lele, aku pernah aksel, jadi umurnya di bawah Aa-Aa semua,” kata si sipit.
“Eh? Aku juga! Nama aku Jindra,” kata si tinggi.
“Urang Jevian, tapi panggil aja Nana. Ini Jevano, panggil aja Jeno,” kata orang yang seragamnya sudah dilepas, digantikan kaos polos hitam.
“Kalian kembar?” tanya si tinggi.
“Enggak, kebetulan aja namanya mirip,” jawab Nana sambil memandang Jeno.
“Urang—“
“Injun, panggil aja dia Injun,” potong Echan.
“Apaan heh!”
“Nama maneh kan emang Injun.”
“Ya tapi jangan dipanggil itu atuh blekok! Malu urang.”
“Emang kenapa?” tanya Mark.
“Noh, kata si Echan nama urang kayak anak alien.”
“Emang kayak anak alien! Maneh setuju ‘kan Jen? Na?”