30. To marry

29 6 0
                                    

"Jika saja aku tahu ini alasan ayah meminta surat dispensasi untukku..."


Aira duduk tegak didepan meja rias. Penata rias sibuk mengatur rambutnya.

Sungguh, Aira tak percaya mulai hari ini, ia sudah tidak menyandang sebutan gadis lagi. Ya, ia bukan lagi seorang gadis. Arg, Aira frustasi jika memikirkannya.

Semua terjadi karena sebuah kesalahan yang terjadi di cabang perusahaan ayahnya di Indonesia, yang membuat ayahnya harus secepatnya terbang ke sana untuk meluruskan masalah itu.

Ayah tak mau melewatkan pernikahan putri semata wayangnya. Bukannya lebih baik diundur dan menunggu sampai urusan ayah benar-benar rampung, mereka malah memutuskan untuk mempercepatnya.

Tentu saja hal itu semakin membuat Aira kesal. Terlebih mengingat pernikahan itu bukanlah sebuah hal yang bisa dipermainkan, membuat Aira ragu untuk menerima kenyataan. Tapi, apa lagi yang bisa Aira lakukan?.

Aira sibuk memainkan kuku jarinya. Tatapannya menatap kosong kearah cermin. Tidak seperti tubuhnya yang duduk terdiam, pikirannya sibuk berkeliling ke masa depan, membayangkan fakta pahit yang mungkin akan terjadi kelak.

Apa semua ini benar?. Apa semua akan baik-baik saja?. Apa tidak ada yang terluka?. Apa Aira telah menyakiti berjuta hati diluar sana?. Apa Aira akan menjadi wanita yang paling dibenci didunia ini?. Benarkah Aira seorang yang egois?.

"Argh!!"

"Astaga!, Kau sedaritadi memainkan kuku jarimu!"
Penata rias Aira mengambil tisu basah dan mulai membersihkan luka dijari Aira.

Karena terus memainkannya tanpa sadar kuku dijarinya tertarik dan sedikit terlepas dari kulit. Membuatnya mengeluarkan sedikit darah segar.

Perih. Diluar kesadaran, Aira meneteskan air matanya. Air mata itu jatuh pada punggung tangannya, membuat penata riasnya tersadar dan intens menoleh kepadanya.

"Kau menangis?"
Penata rias mengkhawatirkan luka itu benar-benar menyakiti Aira.

"Eum?!"
"A-ah... tidak, bukan!."

"Apa kau baik-baik saja?" Penata rias itu mulai cemas. Bukan apa, ia hanya heran karena baru kali ini ia mendapati pengantin wanita yang menangis di selang hari kebahagiaannya.

"I-iya... aku baik-baik saja..." Aira memalsukan senyum dibibirnya.
"Pukul berapa sekarang?"

"Sembilan."

"Eum... bisa tinggalkan aku sebentar?"
Penata rias itu tersenyum simpul seraya mengangguk dan berjalan meninggalkan Aira sendiri dikamarnya.

Aira menatap pantulan dirinya dicermin. Sekarang mata dan hidungnya memerah.

"Agh!, Kenapa kau menangis Ra?!"
"Wajahmu akan semakin buruk kalau kau menangis!!" Monolognya menatap miris pada dirinya dicermin.

"Apa kau sesempurna itu untuk menjadi milik Mark, hm?" Aira bertanya pada pantulan dirinya.

"Kau tahu?, kau itu kecil, pendek, jelek, kutu buku, tidak peduli diri, tidak bisa bermake up, tidak tahu fasion, aneh, takut film horor, takut kegelapan, takut petir, takut ketinggian, phobia ulat, serangga, timun—"

Ceklek.

"Hentikan!!"

BLAM!!

Mark berlari menghampiri Aira, yang kini menatapnya terkejut. Mark manangkup wajahnya kemudian melumat bibir kecil itu tanpa seijin pemilik.

Bibir yang selalu menarik perhatiannya. Mark meluapkan emosinya lewat ciuman itu. Bibirnya terus melumat bibir Aira meskipun Aira sama sekali tidak membalasnya. Dan kenapa ia membeku bukannya menendang atau melawan pria lancang itu?. Sial, Aira tidak bisa apa-apa dan tautan bibir mereka semakin dalam.

Forever With You "Mark Lee" ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang