"mampus, sakit kan? obatin sendiri ah gua mau ke kamar bye."
"arion? Kenapaa?" tanya mamah lita saat melihat ujung bibir haruto sedikit robek
"lalitaa obatin arionn, mamah mau pergi. Bisa-bisanya kamu gak peduli sama adik kamu sendiri ya"
Lita kembali mengehembuskan nafasnya, sedangkan haruto berusaha menahan tawanya saat melihat wajah lita yang baru saja ia tekuk.
"seuri sia, ari" ujar lita (ketawa lo, ari)
"maaf dong kak, yaudah gue obatin sendiri aja deh jangan cemberut gitu tar gak ada yang naksir tau rasa lo"
"udah diem sini gue bersihin dulu"
"kak"
"ngomong sekali lagi gue gampar ya ri"
Haruto mengatupkan bibirnya, bisa gawat kalau lita benar-benar kesal. Sudah wajah tampannya tergores seperti ini, tidak mungkin ia tambah dengan tamparan lita.
"gue mau nanya satu saja pertanyaan kak, jawab yaa"
"apa?"
"kak aya kak aya itu emang siapa sih?"
"seseorang, lagian lo tau dari mana sih tentang kak aya?" tanya lita
"gue denger pas orang yang tembak anya ngomong tentang lupain kak aya itu. Emang udah diapain aja sampe susah move on gitu, pernah diapa-"
"sembarangan, anya gak gitu nying. Kak aya juga bukan orang kayak gitu. Itu sih lo aja mikir kejauhan, atau jangan-jangan lo,"
"apaan sih engga lah. Cuma sampe cium doang, ogah begitu kalo melendung bahaya kudu tanggung jawab"
Sadarkan lita bahwa haruto adalah adik sepupunya. Kalau saja bukan, sudah di pastikan ia usir jauh-jauh dari rumahnya. Dasar bocah penuh dosa.
"ya pokoknya kak aya tuh, kalo diibaratkan estetiknya, separuh jiwanya anya banget."
"cih,"
"cobain deh ri, kali-kali serius sama cewe. Nanti lo tau deh gimana rasanya. Lo gini tuh karena lo belum paham rasa sayang yang sesungguhnya, serius cobain deh. Tapi sewajarnya, jangan ngikut jejak anya. Dah yaa gue mau tidur. Minta maaf lo besok"
Untuk apa haruto minta maaf padahal anya yang sudah memukulnya. Tidak akan, meskipun ada istilah wanita selalu benar namun haruto tidak memberlakukan istilah itu di dalam kehidupannya.
»»»★★«««
"anya, makan dulu yuk"
"anya gak laper kak nay, makannya besok aja"
"masa kakak makan sendirian nya? Tega nih?"
Toh anya juga sering melakukannya, bahkan lebih sering dari yang kanaya bayangkan. Tapi anya tetap melangkahkan kakinya menuju meja makan untuk makan bersama kakaknya. Cukup ia saja yang makan sendirian, kanaya tidak usah.
"nahh gitu dong, yu sini duduk"
"tumben belum makan" ujar anya
"namanya juga sibuk, lupa makan mah udah biasa"
Ah lupa ternyata, anya kira kanaya memang ingin makan bersama dengannya
"kamu kenapa kok lemes banget?"
"gapapa"
"kalo ada masalah tuh cerita anya, jangan dipendem sendiri gak baik. Kakak siap jadi pendengar kamu, mungkin kalo kakak bisa bantu itu lebih bagus lagi"
"engga, lagi cape aja"
"beneran?"
"tadi jalan sama siapa? Kemana?"
"sama lita, ke gramed. Tapi aku pulang duluan karena tiba-tiba pusing gitu"
"pusing? Sekarang masih pusing? Bentar kakak ambilin obat dulu. Lagian kamu semalem kakak cek aja badannya masih panas, tadi udah pergi lagi"
"semalem?"
"iyaa kakak pulang malem terus kakak cek suhunya masih panas, kenapa juga maksain keluar" kanaya kembali dengan kotak obat yang sudah ia bawa
"besok jangan dulu sekolah, nya"
"anya gapapa kak, sekarang minum obat besok juga pasti baikan"
Setelah selesai, anya dengan cepat pergi ke kamarnya. Meninggalkan kanaya yang memandang anya hingga ia menutup pintu kamarnya.
Kanaya tau, ia tak sebaik ibunya saat mendengar dan memberi solusi pada setiap cerita anya. Meskipun ia tak yakin bisa melakukan itu, ia akan berusaha untuk anya. Namun sampai saat ini anya masih saja sulit untuk ia gapai.
Ibu, maaf karena kanaya belum bisa menjadi kakak yang baik untuk anya -kanaya
"nay"
"iyaa bu? Kenapa ada yang sakit?" tanya kanaya pada ibunya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit
"ibu mau titip anya sama kamu"
"ibu kenapa ngomong gitu? Nay pasti jaga anya bu"
"anya itu anak yang kuat, nay. Dia punya lebih banyak kekuatan dibanding ibu sama kamu. Tapi tidak berlaku untuk hatinya. Hatinya lebih mudah hancur nay. Makanya kamu hati-hati yaa"
"kanaya tau bu. Ibu jangan khawatir yaa, kanaya akan lindungin anya"
Ibunya tersenyum hangat pada kanaya sebelum anya datang membawa setangkai bunga mawar kesukaan ibunya.
"ibu, anya bawa bunga buat ibu. Kan kemarin ibu mau bunga"
"wah, kamu paling tau ibu. Makasih ya"
"sama-sama ibuu, eh tapi anya cuma bawa satu maaf yaa kak nay" anya memandang kanaya dengan ragu
"gapapa anya, buat ibu ajaa"
"anya,"
"iyaa bu kenapa? Sakit lagi?"
Kedua putrinya bertanya bagian mana yang sakit saat ia memanggil nama mereka. Bahkan sebelum memanggil pun seluruh badannya memang sakit, tapi entah mengapa ia seolah melupakannya saat berada di dekat mereka.
"anya tau kan kalo punya kak nay selain ibu? Jadi kalo anya punya sesuatu yang harus anya ceritain, anya cerita sama kak nay yaa"
Anya menahan airmatanya. Ia tau kemana maksud pembicaraan ibunya. Anya tidak boleh egois,
"iyaa bu, kalo ibu mau gitu anya turutin deh. Apasih yang engga buat ibu kesayangan anya sama kak nay"
"ibu juga mau denger cerita anya, cerita kak nay dalam jangka waktu yang lebih lama lagi. Tapi ibu kayaknya gak bisa, maaf yaa"
"hus ibu kok ngomongnya gitu, ibu pasti sembuh. Pasti" ucap anya
Kanaya perlahan mengusap punggung anya,
"ibu, tau kan kalo anya sama kak nay sayang ibu?" tanya anya
Ibunya kini memandang anya,
"kita mau ibu bahagia, kita mau ibu gak harus ngerasa sakit lagi. Terima kasih ibu sudah lahirin, rawat dan membesarkan anya dan kak nay dengan baik bu. Kita-" dadanya tiba-tiba terasa sangat sesak
"kita ikhlas bu,"
Tepat satu jam setelah anya menyampaikan apa yang kanaya bisikan padanya, ibunya menghembuskan nafas terakhirnya.
Anya sempat lupa bagaimana caranya bernafas saat dokter memeriksa keadaan terakhir ibunya. Dengan cepat kanaya menyadarkan dirinya, ibu mereka telah tiada. Tanpa harus ia suruh, airmatanya perlahan turun dan mulai membasahi wajahnya.
»★━━━━━༻✿༺━━━━━★«
Monday, february 22nd 2021- isnaa_nisaa -
KAMU SEDANG MEMBACA
Comρlicαtҽd✔
General FictionCompleted, 2021 ©Isnaa_nisaa - ft watanabe roseanne Sepenggal kisah tentang Anya yang terjebak dalam belenggu masa lalunya. Start: 3 Januari 2021🌙 End: 22 September 2021🌖