18. Menahan Diri

163 20 2
                                    

~Happy Reading ❤

_______________________

Ini seperti waktu yang menyeramkan yang telah aku lalui sebelumnya. Bahkan, lebih menyeramkan dari yang di prediksi.

Aku sudah merasa sangat lelah dengan semua yang terjadi. Namun, dari sudut hati terus berteriak memintaku untuk tetap bertahan. Entah demi apa dan untuk apa alasannya aku bertahan.

*****

Aku telah berpakaian rapi. Mengenakan dres simpel berwarna abu-abu. Bukan hanya diriku saja yang berpakaian rapi pagi ini. Tapi Mama, Papa dan Sasa pun juga.

Tampak dari wajah Sisi, ia kelihatan sekali seperti enggan untuk menghadiri acara keluarga besar Mamanya. Dengan penuh paksaan, akhirnya ia harus ikut.

Sekarang ia telah sampai. Rumah Nenek begitu amat mewah dan megah tak kalah jauh megah dengan rumah Papa dan Mamanya.

Seluruh anggota keluarga besarnya telah berkumpul. Semuanya seperti sibuk bercanda ria. Namun, ketika kedatangan Sisi seketika mereka diam dalam sesaat.

"Wahh si kembar sudah pada dewasa ya, cantik-cantik lagi." salah satu Tantenya memuji keduanya.

"Yang cantik itu hanya Sasa," jawab sang Nenek seperti tidak setuju.

"Tapi, Sisi juga nggak kalah cantik." Tantenya terus memuji.

"Percuma wajah cantik kalau bisanya cuman nyusahin!" sambung Paman Leo yang juga berada di sana.

"Dia itu penyakitan, jangan dekat-dekat sama manusia itu nanti kita bisa ketularan penyakitnya itu." kata Paman Leo yang mulai mencaci Sisi.

"Jangan ngomong gitu, nanti Sisi sakit hati," bisik Tante maura ke telinga suaminya.

"Nggak apa Tante, hatiku sudah cukup kuat untuk menerima cacian dan makian seperti ini." Sisi berusaha tersenyum sekuat tenaga untuk menyakinkan mereka jika dirinya benar-benar kuat.

Salah satu Tante yang memujinya tadi terdiam karena tidak mengerti.

Akhirnya Tante Maura menceritakan semuanya dengan berbisik.

"Lihat cucu Nenek yang satu ini, sudah cantik, pintar, nggak nyusahin lagi." nenek malah membanggakan Sasa di depan semuanya.

"Nggak seperti yang itu," mata Nenek malah melirik ke arah Sisi. "Bisanya cuman ngabisin duit orang tua, penyakitan, nyusahin keluarga, memalukan bukanya membanggakan."

"Dia itu nggak pantas hidup di sini, lebih pantasnya jadi gelandangan!" ketus Paman Leo.

Tante Maura terus tersenyum ke arah Sisi, untuk membuat Sisi lebih kuat. Sisi hanya membalas semua omongan mereka dengan senyum.

Sasa tersenyum sinis dan penuh kemenangan menatap Sisi.

Sisi hanya diam, ia menganggap semua hinaan yang mereka berikan itu seperti angin lalang yang lewat begitu saja.

Seluruh keluarga terus menghinanya, seperti tidak ada lagi hal penting yang bisa di bahas.

"Seharusnya kamu itu mengikuti saran Ibu. Jika saja kamu dan suami mu itu membuangnya ke panti asuhan, pasti kalian tidak akan membuang uang untuk menghidupi manusia yang penyakitan dan nggak tahu diri seperti ini!" ucap Nenek kepada Rania. Mamanya Sisi.

Firasat hatinya benar, lebih baik tadi ia diam di rumah di bandingkan ikut. Ujung-ujungnya ia hanya menjadi bahan cacian seperti ini.

"Aku permisi pulang lebih dulu ya," pamit Sisi kepada semuanya.

Sisi: Gadis Yang TersakitiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang