20. Pergi Lagi? (2)

229 24 2
                                    

"Aku kira rumah adalah tempat untuk pulang, ternyata rumah adalah tempat haluan untuk pergi."

"Sudah berani pulang ke rumah ya kamu?"

Baru juga sampai, tapi sudah di sambut oleh Mama dengan suara tinggi.

Sisi langsung menerobos Mamanya, namun lengannya di tahan oleh Mama dengan begitu kuat.

"Hebat ya kamu,  sudah berani menentang perkataan saya tadi, tapi masih juga berani pulang ke rumah."

"Kamu itu jadi anak seharusnya menuruti apa kata saya, jangan bertindak semaunya. Kamu lihat Kakakmu itu ia selalu menuruti semua yang saya katakan." Mama terus membandingkan antara dirinya dan Sasa.

Yang pasti rasanya sakit, ketika di bandingkan dengan orang lain.

"Saya itu salah besar, karena telah merawat seorang anak yang nggak pernah tau diri seperti kamu, jika saja dulu saya membuang kamu pasti kehidupan kami akan selalu tenang dan tentram tanpa ada benalu seperti kamu!"

Hatinya terasa sakit, ketika mendengar setiap perkataan Mama yang begitu pedas dan menyakitkan.

"Ma, tolong jangan berbicara seperti itu lagi. Aku memang tak sepintar Ayah, aku juga tidak secantik Kakak dan aku juga tidak sehebat Mama. Jadi tolong Mama jangan pernah membandingkan aku bersama yang lain."  lirih Sisi.

Sedangkan Papa hanya diam mengawasi pertengkaran antara Mama dan Sisi.

"Kejam sekali ya dunia ini, selalu di tuntut untuk dewasa karena keadaan dan sekarang di patahkan karena sering di bandingkan."

"Manusia itu bukan robot yang dapat di pekerjakan secara paksa tanpa mengeluh, yang selalu di tuntut tanpa bisa menolak." sambung Sisi.

Papa sedikit kagum ketika mendengar putri bungsunya bisa berbicara dengan bijak seperti ini.

Bisa-bisanya dari keluarganya berbicara seperti penyihir jahat tanpa tahu keadaan dan beban pikiran.

"Ma, Pa. Sisi sudah lelah bahkan sangat lelah, karena selalu di bandingkan seolah dalam ajang kompetisi pencari bakat." guman Sisi.

"Sisi tidak sama seperti Kak Sasa, Sisi adalah Sisi bukan Kak Sasa atau pun mereka. Sisi selalu berusaha menjadi terbaik bahkan berusaha menjadi lebih baik, tapi tetap saja selalu salah di mata kalian."

"Banyak omong ya kamu!"

Tak segan-segan Mama menampar pipi Sisi. Mungkin satu hari saja Mama tidak menampar pipi Sisi hidupnya menjadi tidak tenang.

Sisi mengalihkan pandangan pada Papanya yang terus berdiam diri memperhatikannya.

"Ini putrimu Pa. Yang telah di besarkan dan di bandingkan dengan bumbu hinaan," ucap Si.

Papa malah tidak peduli dengan kata-kata Sisi.

"Jika dulu Sisi tahu kalau keadaannya seperti ini, Sisi akan lebih memilih pergi."

"Kalau mau pergi, silahkan saja pergi sekarang. Pintu selalu terbuka lebar untuk menantikan kepergianmu."

"Baik, Sisi akan pergi dari rumah ini. Bahkan sebelum kalian menyuruh Sisi pergi, Sisi akan pergi sendiri."

Sisi langsung menaiki anak tangga menuju kamarnya. Ia segera meringkasi semua barang-barangnya.  Aku harus pergi dari sini. Tapi entah mau kemana.

Selang beberapa menit Sisi keluar dari kamar membawa tas. Ia benar-benar tidak sedang bermain-main dengan omongannya.

"Mau kemana kamu?" tanya Papa.

"Bukannya tadi kalian yang menginginkan Sisi pergi? Kalau itu memang keinginan kalian Sisi akan ikuti."

"Bagus lah kalau kamu benar-benar mau pergi dari sini, nggak perlu repot-repot dong saya mengusirmu." Mama terlihat bodoh amat dengan keinginan Sisi yang ingin pergi dari rumah.

Kali ini perasaan Papa dia buat tidak tenang, jujur saja ia pasti tidak rela jika putrinya harus meninggalkannya. Tapi Papa malah berpura-pura tidak peduli padanya.

"Anak nyusahin dan penyakitan enggak pantas hidup dalam keluarga ini!" ketus Mama.

"Aku memang nggak pantas berada di sini, karena aku sudah bercermin tentang diriku yang masih belum bisa menjadi kebanggan keluarga dan ini aku yang masih mencari jati diri sebagai manusia yang bisa kalian anggap layak sebagaimana mestinya!"

"Terimakasih atas semua pengorbanan, uang, tenaga, yang telah Mama dan Papa keluarkan untukku sampai detik ini." Sisi memang sudah sangat kecewa, bahkan begitu murka.

Sisi mulai membawa semua barangnya, keputusannya memang sudah bulat untuk keluar dari rumah ini.

Begitu banyak kenangan manis dan pahit yang bersatu sehingga begitu sulit untuk pergi dan melupakan rumah ini baginya.

Di rumah ini, pernah terukir sebuah senyuman hangat dari keluarga kecil yang bahagia. Namun senyuman itu sekarang telah sirna untuk selamanya.

Hatinya begitu kosong dan hampa, seperti kertas putih tanpa noda. Semua pergi meninggalkannya.

Ia bingung harus kemana, ia sudah tidak lagi memiliki keluarga.

Untungnya ia membawa semua uang tabungannya, setidaknya cukup untuk mencari tempat untuk berlindung dari hujan dan terik matahari.

*****

Akhirnya ia sampai di sebuah rumah kontrakannya.

Rumahnya begitu kecil dan sempit.

Untuk saat ini ia harus kerja lebih giat lagi, karena ia harus menghidupkan dirinya seorang diri.

"Sisi sudah lelah, karena selalu di permainkan oleh keadaan seperti ini." lirih Sisi merenungkan nasib.

Sisi semakin mendekap dalam selimut dengan erat, air matanya tak berhenti meleleh.

Setiap malam datang, menjadi malam yang panjang baginya. Setiap malam datang, selalu menjadi wujud ketakutan yang selalu menghadang.

Rasa sedih terus menghampirinya. Dirinya saja bingung kenapa rasa menyedihkan selalu singgah pada dirinya.

Sisi ingin sekali menelpon Bima, tetapi ia tidak memiliki handphone untuk menghubungi Bima si pahlawan kesiangan.

"Bim, bagiku kau adalah satu-satunya manusia yang masih peduli padaku. Di saat semua pergi meninggalkanku dalam kegelapan, tapi kau selalu menjadi cahaya yang menerangi dan menemani." guman Sisi yang sedari tadi ngomong sendiri.

Sisi masih bingung dengan tujuannya esok hari. Tidak mungkin juga ia bersekolah. Karena ia sudah tidak lagi memiliki uang.

"Andai saja Bik Siti sama Kak Disya masih berada di samping Sisi, pasti Sisi selalu merasakan kebahagian yang luar biasa."

"Huu," Sisi menghela nafasnya. "Semoga hari esok akan jauh lebih baik dari kemarin."

"Selamat malam dunia yang memiliki berjuta masalah,"

Matanya mulai mengantuk, karena seharian ini ia mencari rumah kontrakan.

*****

Dari tadi ia terus berguling ke sana ke mari di atas kasur. Hatinya benar-benar tidak tenang, seperti ada sesuatu yang mengganjal padanya.

"Argh, kok susah banged sih dari tadi tidur." lirih Bima yang sedari tadi masih bergulung dalam selimut.

Hari sudah larut malam, perasaan aneh terus menerornya.

Tiba-tiba saja perasaan khawatirnya ini malah ter utara kepada gadis malang yang penyabar.

"Kenapa dari tadi gue kepikiran Sisi ya?" guman Bima. "Apa dia sekarang sedang tidak baik-baik saja?"

Perasaan khawatir dan cemas terus menakutinya. Tidak ada lagi rasa tenang padanya.

Padahal belum juga lama kenal, tapi mereka seperti ada ikatan batin yang kuat di antaranya.

"Semoga lo dalam keadaan baik-baik saja Si," ucap Bima seraya memaksakan diri untuk tidur.

Mungkin hanya dengan tidur ia mampu melawan rasa penasarannya ini.

*****

Sisi: Gadis Yang TersakitiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang