Cuaca kali ini cukup berpihak kepada gadis malang yang berjalan sendirian menelusuri koridor tersebut.Panas, namun tidak terlalu panas untuk di rasakan kulit makhluk hidup.
Gadis itu masih fokus menatap kedepan dengan tatapan kosong. Keadaan sekolah memang benar-benar sudah sepi. Hampir seluruh siswa, siswi, penjaga kantin dan guru sudah pada pulang. Mungkin, hanya beberapa orang yang belum pulang.
Ia bingung menentukan tujuannya saat ini. Selang beberapa menit, ia terpikir untuk pergi ke sebuah makam.
Kebetulan jarak antara sekolah dan makan tidak cukup jauh.
Kakinya terus menelusuri, matanya Membaca setiap nama yang bertuliskan di nisan yang ia lewati.
Akhirnya ia menemukan makam seseorang yang ia cari dan ia rindukan.
Tubuhnya langsung terduduk lemah, matanya mulai memanas dan sudah tidak sanggup lagi untuk mengeluarkan butiran bening tersebut.
Mata cantik yang sudah di penuhi air mata tersebut memandangi sebuah gundukan tanah, dengan tangan yang mengelus-elus gundukan tanah dan nisan tersebut.
Gladisya Al-qienza nama yang tertera di nisan tersebut.
Sisi menangis tanpa henti, dengan di iringi semilir angin. Sunyi dan senyap, hanya tangisan Sisi yang mengisi kekosongan tempat tersebut.
"Kak, Sisi rindu Kakak." lirihnya.
Tangannya mulai menyeka air mata.
"Apa Kakak tahu? Sisi begitu menderita dalam hidup ini,"
"Mungkin, hanya satu atau dua orang yang peduli pada Sisi."
"Setiap malam, Sisi di temani tangisan dan kesendirian. Setiap berada di keramaian, Sisi merasa kesepian. Sisi sudah mulai lelah dan ingin menyerah Kak,"
"Andai Kakak masih ada di samping Sisi, mungkin hidup ini tidak begitu sepahit ini. Hidup dalam berandai-andai begitu menyenangkan," tawanya mulai keluar ketika mengucapkan kalimat terakhirnya.
Mulutnya terus berceloteh mengeluarkan keluh kesahnya, walaupun tidak mungkin sang Kakak akan meresponnya.
"Apa Kakak ingat, waktu kecil aku pernah menangis minta di belikan sebuah sepeda. Walaupun aku tidak bisa menggunakannya,"
"Kakak ingat, adik kecil mu ini pernah menjuarai lomba mewarnai waktu masa taman kanak-kanak dulu. Bukankah Mama sama Papa begitu bangga melihat ku yang berhasil mendapat juara dan piala? Namun, sekarang tidak Kak! Mereka benar-benar tidak lagi peduli pada ku. Aku mendapatkan juara umum di sekolah saja mereka tidak bangga dan tidak peduli pada ku."
"Mereka tidak pernah menganggap aku ada Kak,"
Suara gemuruh mulai terdengar, pertanda akan turun hujan. Tampaknya semesta tak lagi mendukungnya, awan gelap yang mengepul sepertinya dengan sengaja menyedot semua cahaya.
Sisi tidak menghiraukan langit yang mulai menurunkan hujan. Ia masih setia duduk dan menangis di makam Kakaknya.
Hujan semakin deras, rasa dingin mulai menerpa kulitnya. Ia mulai berdiri dan meninggalkan makam.
Tatapan fokus kedepan, kakinya terus berjalan sambil menginjak genangan air hujan di sepanjang jalan. Tubuhnya benar-benar sudah basah.
Sisi merasa air hujan tidak lagi membasahi tubuhnya saat ini. Matanya mulai mendongak ke atas, terlihat sebuah payung terbentang melindungi dirinya.
Pandangannya mulai beralih ke arah seorang yang memberikan payung.
"Kamu? Ngapain kamu di sini?" tanyanya setelah melihat wajah yang cukup familiar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sisi: Gadis Yang Tersakiti
Fiksi RemajaSisilia Mikaila, seorang gadis yang selalu di selimuti oleh rasa sedih dan sakit. Layaknya seperti Cinderella. Tapi ini bukan di siksa oleh Ibu tiri dan Kakak tiri. Melainkan oleh keluarga sendiri. Mungkin, kehidupannya tidak seberuntung saudara kem...