Chapter 33: What are We?

265 71 15
                                    

ANNETTE

"Bukan gitu ceritanya," gue memutar mata sebal, dia seenaknya ngambil kesimpulan padahal gue belum selesai cerita.

The Haunting of Hill House udah selesai gue tonton dan plot twist di ending bikin gue nangis. Laskar yang cuma nonton dua episode pertama sama gue langsung nebak kalau rumah itu bener-bener berhantu dan semua yang terjadi atas pengaruh hantunya.

Emang iya, tapi gak sepenuhnya.

Ada pengaruh kesehatan mental juga.

Kesehatan mental lo penting. Lo bisa bikin keluarga lo, semua orang yang lo temui sehari-hari, terpengaruh sama hal itu tanpa lo sadari.

Gue gak mau yang gue alami jadi sugesti ke orang lain—apalagi Laskar yang tau masalahnya kayak apa. Atau sekadar ninggalin trauma kecil kayak apa yang terjadi sama Mark. Dia gak mau ngobrolin yang sedih-sedih sama gue lagi.

"Oke makasih, lo baru aja nyeritain ending dari sebuah film series jadi gue gak perlu nonton sampe abis buat tau gimana akhir ceritanya."

"Gue tau lo kesel sama gue udah kena spoiler."

"Enggak."

"Lo diem-diem nonton juga ya di kosan?"

"Enggak."

"Laskar."

Dia menggeleng sekali lagi. "Enggak..."

"Gak boong?"

Akhirnya dia ketawa gara-gara kebohongannya terungkap. "Gue udah sampe episode 7."

"Dikit lagi! Lanjutin aja."

"Iya."

"Ayo nonton sekarang!"

Gue bermaksud ngambil remote tapi Laskar nahan tangan gue. "Nanti. Gue mau tanya sesuatu dulu ke lo," katanya, ngebiarin gue duduk lagi di sofa dengan kecewa.

"Kata Arsen, Jeara mau minta maaf sama lo. Kapan?"

"Besok."

Buru-buru gue meralat sebelum dia kecewa, "Gapapa kan? Maksud gue—Jeara minta gue ketemu dia empat mata. Karena dia gak mungkin bisa ketemu sama lo... jadi dia minta sama gue. Lo tau—dari Arsen? Arsen bilang apa aja?"

"Gak bilang apa-apa. Cuma bilang gue harus ngebolehin lo pergi."

Gue tersenyum kecil. "Jangan takut ada apa-apa. Bentar lagi beres."

"Iya, gue tau. Gue cuma..." Laskar ngacak rambutnya kesel. "Gue cuma ngerasa sampah aja gue perlu ngelibatin lo buat masalah yang bahkan gak ada hubungannya sama sekali sama lo. Harusnya gue yang nyelesaiin sendiri."

"Gapapa sih, toh Jeara juga mintanya ketemu gue? Dia mau sekalian ngomongin sesuatu kali."

"Maafin gue, Net."

"Buat?"

"Buat yang kemarin-kemarin soal Jeara."

Gue berdecak pelan sambil mengibas rambut sombong. "Sans. Berantem sama lo gak kayak waktu gue berantem sama Tara jaman maba. Cuma perlu jauhin lo? Tiga hari? Gampang. Kita gak sekelas. Bayangin dulu gue sama Tara duduk sebelahan tiap hari tapi gara-gara kegoblokan gue kita jadi musuhan? Lo bayangin jadi gue," gue menepuk-nepuk dada gue sambil pura-pura sedih. "Lo bayangin gimana caranya make up sama orang yang baru lo kenal... lo gak tau apa-apa tentang dia tapi lo perlu minta maaf dan benerin keadaan. Susah banget. Gue sama lo kemarin-kemarin gak ada apa-apanya, Kar. Sans. Gue udah berpengalaman."

"Gue belum kenal sama lo waktu itu," gumamnya, ketawa pelan sambil mainin ujung rambut gue. "Tapi iya gue tau lo sama Tara keliatan banget gak akurnya."

PLAYING WITH FIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang