Tidak lama kemudian, seseorang menghampirinya dan memicingkan mata serta berkata dengan nada bertanya,
"Camelia?"
Merasa namanya disebut, Camelia mengangguk mengiyakan. Ia juga ikut memicingkan matanya. Pasalnya, ia tidak mengetahui siapa wanita yang ada didepannya ini. Bahkan ia tidak mengetahui dari mana wanita ini mengenal namanya.
"Aku yang memesan brownies punya Anda," ujarnya menjelaskan.
"Oh, maaf aku kira bukan Anda. Ini pesanannya," ujar Camelia hendak memberikan tas brownies itu.
Namun wanita didepannya menggeleng dan mengatakan untuk mengikutinya. Camelia pun lantas mengikuti wanita tersebut sampai di depan pintu ruangan terbesar yang ada di lantai empat belas tersebut.
"Silahkan masuk," ujar wanita tersebut.
Camelia membisu dan malah menujuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya, seperti mengatakan 'aku?' Wanita tadi kembali mengangguk dan mulai memutar knop pintu untuk mempersilahkan Camelia masuk kedalam.
Perlahan-lahan Camelia masuk ke dalam ruangan tersebut. Sesampainya didalam, tiba-tiba kekesalannya memuncak. Ia berjalan cepat kearah sofa, menaruh tas berisi brownies dan mengambil bantal sofa. Ia pun mengambil ancang-ancang untuk melemparkan bantal pada pemilik ruangan ini.
Benar saja, lemparannya itu tepat sasaran. Ruangan tersebut langsung riuh karena gema suara menjerit pada orang yang mengenai bantal sofa yang Camelia lemparkan.
Camelia tersenyum, kini kekesalannya telah terbalaskan. Ia tidak demam sebenarnya. Hanya saja, ia ingin memberi pelajaran pada orang yang seenak jidat melihat rambutnya tanpa izin darinya.
Bukannya sok suci, hanya saja ia ingin menjaga aurat-nya dari orang yang bukan mahromnya.
"Cam," jeritnya.
"Apa!" tantang Camelia berdecak pinggang.
"Akhirnya kamu kembali," ujar lelaki yang terkena lemparan bantal sofa itu. Ia kini tersenyum karena sifat dulu Camelia telah kembali.
"Aku tidak kembali, aku masih seperti yang dulu," sunggut Camelia.
Melihat lelaki dihadapannya ini tersenyum, Camelia pun ikut tersenyum juga. Kini kekesalannya telah terbalaskan. Sedangkan wanita yang telah mengantar Camelia tadi, saat mendengar suara jeritan atasnya, ia jadi cepat-cepat berlari kembali ke ruangan.
Sesampainya disana, ia membekap mulutnya tidak percaya akan apa yang telah dilihatnya.
Abra menoleh pada sekretaris dan memberikan kode tangan kalau dirinya baik-baik saja. Sekretarisnya pun mengangguk lalu pergi meninggalkan kedua pasang yang sifatnya saling bertolak belakang itu.
"Itu pendapatmu Cam. Aku rasa selama ini kita selalu jaga jarak walau jarak kita sangat dekat."
"Apa maksudmu?" Camelia memicingkan matanya.
"Maksudku, sepertinya kamu selalu menjaga perilakumu jika bersamaku, tapi jika bersama yang lain, kamu sepertinya menganggap mereka biasa saja saat bersamamu."
"Aku tidak mengerti."
"Bisakah kita seperti dulu? Saat-saat dimana kita masih sma. Saat dimana kamu tertawa, sedih bahkan konyol sekalipun, kamu tidak memperdulikan keberadaanku. Maksudku, apa yang ingin kamu katakan, kamu katakan. Apa yang ingin kamu lakukan, kamu lakukan. Seperti tadi kamu melempariku bantal sofa. Tanpa banyak bicara, kamu melakukannya," jelas Abra panjang lebar.
Camelia terdiam, kini ia paham maksud Abra. Abra hanya tidak ingin ia merasa canggung saat bersamanya saja.
"Tidak, kita tidak bisa kembali disaat seperti itu. Ini lah diriku, aku tidak bisa memaksa diriku untuk menjadi seperti keinginanmu," ujar Camelia sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camelia Rahma
SpiritualCamelia Rahma dan Abraham Fauzi, dua orang yang berbeda watak itu telah dipertemukan oleh takdir secara unik digerbang sekolah. Mereka dipertemukan saat masa orientasi siswa baru dimasa putih abu-abu. Karena keterlambatan, membuat awal pertemuan me...