34. Bagiku, Kamu Terlalu Manis

344 35 3
                                    

Abra tersentak kaget saat Papa menyebutkan nama wanita yang ingin dijodohkan dengannya. Ia tidak menyangka, ternyata tebakannya salah.

Bahkan ia masih ingat betul ucapan Mama sebelumnya, "Gimana kalau Mama jodohkan kamu dengan seorang gadis. Dia anak yang baik loh! Mama kenal baik sama dia."

Kata-kata Mama sangat jelas diingatkannya. Apakah disini dirinyalah yang salah karena telah salah menangkap perkataan Mama-nya atau ada kesalahpahaman diantara mereka. Entahlah, Tapi saat ini ia sepertinya masih ingin menyendiri.

Abra pun berlalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih belum selesai berbicara perihal perjodohannya.

"Papa, Mama kira kita sepemikiran. Ternyata tidak," ujar Mama sebelum ikut pergi meninggalkan Papa didalam kebingungannya.

"Ada apa dengan mereka berdua. Sudahlah, nanti dengan sendirinya akan baik-baik saja," ujar Papa.

Abra yang telah sampai di dalam kamarnya, langsung saja membuang diri diatas tempat tidur. Ia mengambil bantal dan menaruhnya diatas kepalanya.

Mendengar ketukan pintu dari pintu kamarnya, membuat Abra malah semakin mengeratkan bantal tersebut menindis kepalanya. Ia tidak ada kemauan untuk pergi membuatnya karena percuma saja, kekacauan hatinya tidak akan terobati secepat mungkin.

"Nak, Abra. Dengar penjelasan Mama dulu," ujar Mama Rania.

Lagi dan lagi, tidak ada sahutan dari Abra. Mama Rania pun memakluminya. Ia mengembuskan napas, sebelum berlalu dari pintu kamar Abra.

"Mama kenapa sama Abra?" tanya Papa.

"Papa tuh yang kenapa? Masa keinginan anak sendiri ngga tahu!" ujar Mama Rania kembali meninggalkan Papa.

Papa menggelengkan kepalanya, tidak mengerti apa kemauan anak dan istrinya. Saat Papa hendak menyusul Mama, ponselnya berdering. Ia langsung saja menggeser tampilan telepon berwarna hijau ke arah kanan.

"Assalamualaikum, Pak Samuel," ujar Papa

"Waalaikumsalam, jadi kapan kita akan membahas perihal perjodohan anak kita?"

"Secepatnya."

"Aku menunggu kabar baik selanjutnya," ujarnya sebelum memutuskan sambungan telepon.

***

Keesokan harinya, Camelia berangkat pagi sekali ke tokonya. Perasaan hatinya saat ini masih tidak terlihat bagus sejak kejadian semalam.

Ia terus saja tidak fokus menata browniesnya di etalase toko. Riana yang baru saja selesai menata kursi didepan, lantas mendekat ke Camelia.

"Mbak Cam! Mbak kenapa melamun terus? Hati-hati loh, nanti kesambet," tegur Riana.

"A ... apa Ri?" beo Camelia tidak terlalu memperhatikan apa yang dikatakan oleh Riana.

"Mbak lagi mikirin apa? Sampe sebegitu tidak fokusnya. Kalau disini Riana bosnya, Mbak udah aku pecat," kekeh Riana bercanda.

Camelia tersenyum. Akhirnya candaan Riana tidak sia-sia juga. Camelia lantas berjalan keluar. Ia duduk di kursi yang barusan Riana perbaiki tempatnya. Ia pun menyandarkan kepalanya di meja.

"Mbak ingat anak Mbak," ujar Camelia.

"Hah! Mbak udah punya anak? Tapi bukannya Mbak masih ... masih ...."

"Masih gadis?" potong Camelia. "Carissa bukan anak kandung Mbak. Tapi dia adalah anak kecil yang sudah Mbak anggap sebagai anak sendiri. Tadi malam pas Mbak vc-an sama dia. Dia terjatuh, makanya Mbak tidak tenang."

Camelia RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang