32. Definisi Cantik

375 39 2
                                    

Keesokan harinya, Camelia bangun pagi sekali. Selesai mengerjakan sholat subuh, ia mulai terlihat sibuk kembali didapur memasukkan brownies buatannya ke dalam kotak. Saat jam dinding menujukkan jarum jam pendek telah berada di angka enam, Camelia menghentikan aktifitasnya untuk segera membersihkan diri.

Ia tidak ingin terlihat kucel didepan pelanggannya karena jika begitu, bisa-bisa semua pelanggannya lari dan tidak ingin kembali lagi. Memikirkan semua kemungkinan itu, membuat Camelia jadi tersenyum lucu. Riana yang baru tiba jadi heran melihat Camelia tersenyum. Ia lantas mendekat dan menepuk pundak Camelia pelan.

"Assalamualaikum, Mbak Cam," salam Riana.

"Eh, Ri. Waalaikumsalam," jawabnya.

"Mbak Cam, kenapa Mbak senyum-senyum? Beritahu Riana dong Mbak. Biar Riana ketularan Cantiknya Mbak saat tersenyum," ujar Riana.

Camelia berbalik bersedekap. "Jadi selama ini kalau Mbak ngga tersenyum, berarti Mbak ngga cantik dong?" canda Camelia ingin menakut-nakuti karyawannya yang satu ini.

"Eh, eh. Ngga kok Mbak Cam! Maksud aku, Mbak Cam dua kali lebih cantik saat tersenyum," ujar Riana gelagapan mau menaggapi seperti apa. Ia lalu melangkah sedikit menjauh.

"Maaf, maaf Ri," kekeh Camelia. "Mbak bercanda kok. Sini dekat lagi sama Mbak, Mbak mau ngomong sesuatu," ujar Camelia memberikan kode panggilan tangan agar Riana mendekat.

Dengan masih takut-takut, Riana lantas berjalan pelan, mendekat ke arah Camelia.

"Mbak mau ngomong apa?"

"Mau tahu ngga definisi cantik sebenarnya itu seperti apa?"

"Emang ada definisi sebenarnya juga Mbak? Kok aku baru tau ya? Aku biasanya cuma lihat di internet aja sih, Mbak," ujar Riana sambil mengetuk-ngetuk telunjuk di dagunya.

"Ada tapi ini definisi dari orang yang Mbak kenal. Mau tau ngga?"

"Mau ... mau, Mbak!" ujar Riana antusias.

"Jadi menurut teman Mbak, definisi cantik sebenarnya, itu adalah jika seseorang telah mempunyai pasangan."

Riana terlihat berpikir keras mencerna kata-kata Camelia. Setelah tersadar apa yang dikatakan Camelia ada benarnya juga, ia pun tersenyum membenarkan ucapan Camelia barusan.

"Iya Mbak, aku setuju dengan teman Mbak itu. Bener sih, kalau cantikkan pasti udah lama laku ya. Jadi ... jadi Mbak Cam, ngga cantik dong," ujar Riana tertawa cengegesan.

Camelia pun juga ikut tertawa, mengetahui gurauannya itu mempu membuat karyawannya tertawa terbahak-bahak.

"Kalau gitu, Mbak bersih-bersih dulu ya. Oh iya, Mbak mau pesan. Kalau ada pembeli yang mau pesan brownies melebihi duapuluh kotak dan ingin mengambilnya dalam waktu dekat ini, kamu tolak aja dulu ya, soalnya Sari masih izin jadi ngga ada yang bantuin, Mbak," ujar Camelia.

"Loh kok bisa Mbak? Kan itu rezeki, Mbak."

"Mbak udah ngga bisa lagi bermalam disini buat bikin brownies. Ini aja karena udah telanjur. Soalnya Mbak udah janji sama mama dan papa kalau ini yang terakhir mbak bermalam disini," ujar Camelia tanpa ada yang ditutup-tutupinya dari Riana.

"Bahagia deh kalau punya orang tua seperti orang tua, mbak," Riana tertunduk lesu. Namun, sedetik kemudian, ia pun kembali ceria karena tidak ingin memperlihatkan kesedihannya pada Bosnya yang baik hati ini. "Okelah, mbak. Kalau gitu Riana pamit mau ke depan dulu," lanjutnya.

Riana pun berlalu dari hadapan Camelia. Sedangkan Camelia yang telah selesai memasukkan semua pesanan brownies ke dalam kotak pun juga berlalu untuk segera membersihkan diri.

***

Terlihat seorang lelaki telah lengkap dengan pakain kantornya. Ia lantas keluar dari kamarnya dan berjalan menuju meja makan. Sesampainya disana, ia duduk ditempat biasanya.

Saat ia baru saja menyendok nasi, gerakannya terhenti saat papa memanggil namanya. Otomasi ia menoleh pada pria paruh baya yang telah membesarkannya dengan sepenuh hati.

"Iya, Pa."

"Jam berapa pulangnya dari kantor?"

"Abra belum tau, Pa. Tapi kalau ada yang ingin papa bicarakan, Abra usahain datang cepat," ujar lelaki berpakaian lengkap kantor yang tidak lain adalah Abra.

Abra berkata seperti itu karena ia tidak tau jam berapa ia akan pulang sebentar. Pasalnya, jadwal kerjanya semakin hari semakin padat tatkala ia telah menggantikan posisi Papa di perusahaan yang telah Papa Fauzi rintis sejak ia masih belia.

"Baiklah, kamu usahain saja," ujar Papa Fauzi.

"Papa, mau ngomoin apa sama Abra?" tanya mama dari arah dapur sambil membawa puding sebagai makanan penutup mereka.

"Rahasia," ujar Papa Fauzi.

"Papa, ih. Udah mulai main rahasia-rahasian sama Mama," omel Mama Rania.

"Bukan mama, tapi anak kita," jelas Papa Fauzi.

Mama Rania tersenyum senang. Ia pun duduk disamping Papa dan mulai sarapan juga. Sedangkan Abra masih saja lanjut memakan makannya sampai habis tak tersisa.

"Pa, Ma. Abra pamit pergi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati dijalan," ujar Mama Rania.

Abra mengangguk, ia pun berlalu meninggalkan papa dan mamanya yang masih menikmati sarapan pagi mereka.

Pagi ini jalanan tidak terlalu macet saat Abra melajukan mobilnya menuju kantor. Padahal kemacetan adalah suatu hal yang biasa Abra lihat. Ia bahkan bisa sampai dikantor lebih cepat dari biasanya.

Setelah memarkirkan mobilnya, Abra melenggang masuk kedalam kantor. Karyawan yang berpapasan dengannya pun menundukkan kepala memberi hormat padanya. Dengan hal yang sama, Abra juga melakukannya sambil tetap berjalan menuju ruangan.

Ia pun menaiki lift khusus petinggi perusahaan. Sesampainya di lantai tempat ruangannya berada, ia melangkahkan kaki keluar dari lift dan bergegas menuju ruangannya.

Sesampainya didalam ruangannya, Abra merentangkan tangannya. Ia melihat betapa indahnya pemandangan dari dalam ruangannya.

"Masya Allah," gumamnya tiap kali melihat pemandangan indah itu.

Abra bahkan tidak akan bosan berlama-lama dalam melihat keluar jendela ruangannya. Namun, karena kerjaan yang sudah tertumpuk, Abra pun menyudahi aksi kekagumannya itu.

Abra benar-benar menikmati waktunya hari ini. Meski jadwal pekerjaan yang padat, ia melewatinya dengan senang hati. Berbeda saat pertama kali ia menggantikan Papa. Kurang tidur, makan terlambat dan masih banyak lagi harus ia alami.

Dengan banyaknya hal yang telah ia alami, ia cepat sekali belajar dan beradaptasi dengan suasana kantor yang baru ia jalani ini.

Abra bernafas lega saat jarum jam tangannya telah menujukkan waktu pulang. Ia pun membereskan dokumen-dokumen yang tertumpuk tidak beraturan diatas meja kerjanya.

Dengan senyum yang terukir di wajahnya, Abra bersiap untuk pulang mendengar apa yang ingin Papa Fauzi bicarakan dengannya.

Bukan tidak pernah Abra terpikir apa yang hendak Papa bicarakan. Hanya saja ia tidak ingin mengambil pemikiran berlebihan. Toh, pada akhirnya ia akan mengetahuinya juga.

Ia pun mengambil jas yang terlampir di standing hook sudut ruangan dan berlalu keluar dari ruangannya. Perlahan-lahan ia menutup pintu ruangan. Sebuah ruangan yang mengajarkannya arti tanggung jawab.

To be continued

Jangan lupa vote/like dan komen sebagai timbal balik dari yang kalian baca ya readers.

By Peony_8298

Camelia RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang