Dua hari kemudian, Camelia sudah tidak merasa sibuk lagi seperti hari-hari yang telah berlalu sebelumnya karena karyawan yang bertugas membantunya didapur, telah datang. Jadi, ia bisa sedikit bersantai meski pesanan pembeli lagi banyak.
Setelah bangun dan menunaikan sholat subuh, ia keluar menuju balkon kamarnya. Terpaan angin segar yang membelai wajah cantiknya karena basahan air wudhu itu, membuatnya melebarkan senyum.
Dengan pelan, ia melangkah keluar. Sambil merentangkan tangannya, ia menghirup udara sejuk di subuh hari saat penguasa pagi mulai menampakkan cahaya kuningnya (Matahari).
Saat tengah menikmati angin segar dan udara yang mulai menghangat, matanya tertuju pada bola berwarna jingga bergaris hitam itu. Seakan bola basket itu memanggil-manggilnya untuk kembali memainkannya.
Camelia pun kembali masuk kedalam kamar untuk berganti pakaian olahraga. Baru setelahnya, ia keluar dari kamar dan bergegas menuju lapangan basket. Ia ingin sedikit bermain dulu sebelum beraktivitas seperti biasanya. Ia berlalu menuju bola basket.
Sesampainya disana, ia mulai memantulkan-mantulkannya ke lantai. Beberapa detik kemudian, dengan santai, ia melemparkan bola ke ring. Ia menyinggungkan senyuman lebar saat bola yang di lemparnya masuk ke ring sesuai perkiraannya.
Saat dirinya berjalan untuk mengambil bola basket yang telah bergelinding jauh, sebuah kaki seorang lelaki menahan laju bola itu dan mengambilnya.
"Boleh papa ikut main?"
"Papa, boleh. Lagi pula Cam sudah lama tidak mengasah kemampuan Cam yang satu ini. Emm, sudah lama juga papa Ngga tanding sama Cam," ujar Camelia.
Papa pun berjalan mendekati Camelia seraya memantul-mantulka bola itu ke lantai. Sambil bermain santai, Papa Carel mengajak putri semata wayangnya berbicara tentang usaha yang dirintis putrinya.
"Gimana sekarang tokonya, udah mulai rame?"
"Iya pa, bahkan Cam sampai menolak beberapa pembeli," ujar Camelia sambil terus berusaha merebut bola dari Papa Carel.
"Tidak apa. Daripada putri papa ini sakit."
Camelia tersenyum, ia masih belum bisa merebut bola dari Papa. Namun semangatnya itu tidak menyurutkan untuk tetap merebut bola. Akhirnya setelah lama berusaha, Camelia pun berhasil merebut bola dari tangan yang telah merawatnya dari kecil.
"Papa bangga padamu."
"Cam juga bangga punya papa."
Mereka memandang satu sama lain dan tersenyum. Dikejauhan, terlihat seseorang sedang melihat mereka. Namun, cepat-cepat ia berlalu karena ia tau, jika dirinya sampai ketahuan. Mungkin saja bola yang masih berada di tangan Camelia, akan berakhir manis di wajahnya yang tampan ini.
Huft, memikirkannya saja membuat ia harus segera melangkahkan kakinya menjauh dari sana. Sambil berlalu, ia selalu beristigfar kala didalam ingatannya tersimpan jelas senyum dan tawa dari wanita incarannya.
"Udah ketemu sama Camelia?" tanya Mama Lia
"Ngga sempet tan, tiba-tiba Mama telepon," ujarnya. Mama Lia manggut-manggut mendengar penjelasannya.
"Kalau gitu, aku pamit dulu. Ass ...."
"Loh, kok udah mau pulang?"
"Ini Abra tidak sadar kalau Abra harus segera berangkat ke kantor. Lain kali Abra akan datang lagi, Tan. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam. Hati-hati dijalan."
Baru saja Abra melangkahkan kaki keluar, Papa dan Camelia masuk ke dalam rumah. Mama Lia terkejut saat tau ternyata putrinya tidak memakai jilbabnya. Sekarang Mama Lia tau mengapa Abra pulang tanpa bertemu dengan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Camelia Rahma
SpiritualitéCamelia Rahma dan Abraham Fauzi, dua orang yang berbeda watak itu telah dipertemukan oleh takdir secara unik digerbang sekolah. Mereka dipertemukan saat masa orientasi siswa baru dimasa putih abu-abu. Karena keterlambatan, membuat awal pertemuan me...