47. Sesak didada.

256 21 1
                                    

Jangan lupa like, vote dan komen sebagai timbal balik dari yang kalian baca ya readers. 🤗

***


"Apa! Kok bisa?" Abra kagetnya bukan main. Ia mengira setelah Bella sedikit membantunya, masalah perjodohannya ini masih bisa ia sembunyikan dari Camelia, tapi ternyata dugaannya salah besar. Malah Bella pun juga tak bisa berkutik.

Abra tidak habis pikir dengan jalan pikiran mamanya. Dulu Mama Rania begitu mendukungnya bersama Camelia. Bahkan dengan terang-terangan Mama Rania memberikan mereka lampu hijau. Namun, apa ini? Bahkan mama sekarang memberinya lampu merah.

Abra mendesah lemah. Memikirkan bagaimana nasib masa depannya. Sedangkan Bella juga tidak bisa apa-apa lagi. Sebagai anak yang terdidik dengan baik, memotong pembicaraan orang lain adalah hal yang tabu untuk dilakukannya.

"Maaf kak, Bella ngga jalankan tugas dengan baik?" ujar Bella merasa bersalah. Jujur saja, ia telah diberikan kepercayaan sama kakaknya, malah ia sendiri yang tidak bisa menjaganya.

"Sudahlah, tak apa. Jadi, kamu dimana sekarang?"

"Bella udah ada dirumah. Kalau kakak punya waktu luang, gih pergi temui kak Cam. Jelaskan pada kak Cam tentang perjodohan kakak. Agar kak Cam ngga salah paham," saran Bella.

"Iya kakak akan segera ke sana. Kamu ngga usah khawatir, kakak akan mengatasinya. Kakak akhiri dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Abra pun berlalu dari ruangannya. Padahal ia masih mempunyai pekerjaan yang banyak yang harus ia selesaikan. Namun, jika  dibandingkan dengan semuanya, penjelasannya pada Cemelia lebih penting dari hal apapun.

Abra sedikit melonggarkan dasinya yang kini kian menyesakkan. Untung saja saat ia memasuki lift, tidak ada satupun karyawan yang ikut memakainya juga. Jadi, dengan hitungan detik saja, ia sudah sampai di lantai dasar.

Agar tidak ada yang curiga dengan apa yang terjadi pada dirinya, ia keluar dari lift dengan langkah seperti biasanya. Ia tidak ingin membuat semua karyawan memandang aneh pada dirinya. Setiap karyawan yang ditemuinya pun ia menyinggungkan senyumnya.

Sampainya diluar gendung kantor, Abra segera berlari menuju parkiran mobil. Ia berlari secepat yang ia bisa. Namun, lari yang semula kencang, kini berangsur pelan tatkala didepannya  berdiri seseorang yang ingin dijodohkan dengannya. Ia mematung melihatnya. Lontaran ucapan pun terdengar keluar dari bibirnya. "Delia!"

Delia yang persis berada di hadapan Abra pun heran melihat Abra yang berlari-lari seperti orang panikan! Mau tak mau, rasa keingintahuannya yang tinggi pun membuat satu pertanyaan lolos dari bibirnya. "Kamu kenapa?"

"Ngga papa. Maaf, aku harus segera pergi," ujar Abra berlalu dari hadapan Delia.

Sedangkan Delia mematung, ia tidak menyangka akan ucapan dan tindakan Abra barusan. Padahal ia kesini hanya untuk bertemu dengannya, tapi apa ini? Bahkan Abra buru-buru meninggalkannya. Mau tidak maupun Delia ikut mengejar Abra.

"Abra tunggu," teriak Delia.

Abra tidak mempedulikannya. Sesampainya didekat mobilnya, ia membuka kunci mobil dan masuk ke dalamnya. Ia tetap melajukan mobilnya, pergi meninggalkan Delia seorang diri tanpa penjelasan.

Abra melajukan mobilnya secepat mungkin menuju toko Camelia. Namun, selama perjalanan ia tetap memperhatikan protokol keselamatannya. Jika tidak, percuma saja ia pergi menemui Camelia jika akhirnya malah membuatnya celaka.

Sesampainya disana, ia bergegas keluar dari mobil. Dengan langkah lebar, ia  telah sampai didepan toko Camelia. Riana yang melihat Abra pun pergi menghampirinya.

"Eh Mas Abra, cari Mbak Cam?"

"Iya, Camelia ada, Ri?"

"Mbak Cam baru aja pulang mas. Katanya ada urusan mendadak."

"Begitu. Baiklah, terima kasih infonya."

Abra kembali berlalu dari sana menuju rumah Camelia. Jika saja panggilannya di ponsel Camelia diangkat, ia tidak akan jadi begitu cemas seperti ini. Ia takut, Camelia akan menjauh lagi atau lebih parahnya akan menghilang lagi seperti yang telah terjadi.

Abra tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi didalam hidupnya. Sudah cukup ia menunggu kemunculannya selama bertahun-tahun. Kini apapun yang terjadi, ia akan menghadapinya.

"Cam, tunggu aku!"

Delia yang masih berada di halaman kantor Abra, mulai menitihkan air matanya. Biar bagaimana pun mereka akan segera melangsungkan perjodohan mereka. Ia seperti ingin berteriak melampiaskan rasa sedihnya.

Ia tidak terima Abra meninggalkannya begitu saja. Namun, ia juga tidak bisa menahan Abra agar tetap tinggal. Ia merasa dilema berada di tengah-tengah kebingungannya. Delia pun menghapus air matanya.

Merasa kalau Abra tidak akan kembali lagi, ia pun berlalu dari sana. Meninggalkan jejak kesedihannya yang tidak bisa ia tahan. Sesampainya dirumah, ia bergegas masuk ke dalam kamarnya. Belum juga ia sampai memutar knop pintu, papa yang sedang ada keperluan dirumah malah membalikkan badannya.

Papa Samuel terkejut melihat pelupuk mata anaknya yang sedikit bengkak. Ia menebak kalau anaknya habis menangis. Papa Samuel pun mengelus pipi Delia dan mengajaknya duduk di sofa untuk membicarakan sesuatu yang telah terjadi pada anaknya.

"Bisa ceritakan sama Papa?" tanya Papa Samuel setelah mereka duduk.

Bukannya menjawab pertanyaan Papa Samuel, Delia malah kembali menangis. Ia seketika memeluk Papa Samuel dan menangis sejadi-jadinya sampai sesegukan. Jujur saja, ia ingin melampiaskan semua tangisnya di pelukan papa.

Papa Samuel panik. Ia tidak menyangka pertanyaan singkatnya barusan, malah membuat putrinya semakin sesegukan. Ia pun semakin memeluk erat putrinya.

Setelah beberapa menit, tangisan Delia sedikit mereda. Papa Samuel memegang kedua pipi anaknya dan mengatakan, "sayang. Hei, ada apa? Coba ceritakan sama papa. Mungkin papa bisa bantu."

Delia mendongak melihat papa yang memberinya senyum menenangkan. Ia pun melepaskan pelukannya pada papa dan mulai bersuara meski suaranya agar serak karena habis menangis tadi.

"Papa pernah janji sama Delia kalau perjodohan Delia ngga bakalan batal kan, pa!"

"Iya nak, papa janji. Kamu menangis begini karena takut perjodohan ini batal?"

Dengan sedikit berbohong, Delia menganggukkan kepalanya. Ia tidak ingin papa mengatahui apa yang terjadi barusan. Dengan begitu, keadaaan mereka akan baik-baik saja nanti kedepannya.

"Pegang kata-kata papa. Apapun yang terjadi, papa ngga akan sampai membuat perjodohan ini batal," ujar Papa Samuel sekali lagi agar membuat Delia semakin yakin akan kata-kata papanya.

"Delia percaya sama papa. Pa, terima kasih." Delia pun kembali memeluk papanya. Kini, perasaannya sudah sedikit lega. Walaupun belum sepenuhnya, ia yakin suatu saat keinginannya akan tercapai tanpa hambatan dari siapapun.

"Udah senang?"

Delia mengangguk sebagai jawaban. Siapa juga yang tidak senang jika mendapati sosok seorang papa seperti Papa Samuel?

***


Sesampainya dirumah Camelia, Abra bergegas keluar dari mobilnya. Dengan langkah yang cepat, ia sudah sampai didepan pintu rumah. Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu rumah bercat putih itu. Saat tangannya tinggal sedikit lagi menyentuh pintu rumah, di saat bersamaan pintu rumah itu terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya yang terlihat begitu cemas.

"Tante!"

"Ya Allah, nak Abra. Syukurlah kamu datang disaat yang tepat."

"Tante kenapa?"

"Camelia masuk rumah sakit."

To be continued.


Jangan lupa like, vote dan komen sebagai timbal balik dari yang kalian baca ya readers. 🤗

By Zolovelypeony

Camelia RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang