60. Pria Masa Depan Camelia

197 31 2
                                    

Halo, aku up lagi nih. Semoga kalian senang.

***

"Terkait dengan kedatangan kedua orang tua mas Atha juga?" tebak Camelia sekali lagi. Namun kali ini papa tidak terkejut lagi dengan pertanyaan anaknya.

"Iya. Percayalah nak, papa tidak mungkin menyerahkan kamu pada orang yang salah."

"Cam percaya, tapi ... tapi ...," ujar Camelia terpotong oleh ucapan Papa Carel selanjutnya.

"Papa tau. Namun seiring berjalannya waktu perasaan itu akan timbul pada akhirnya, nak."

"Biar Cam pikirkan lebih jauh lagi pa."

"Iya. Kapanpun kamu mau bicara, papa akan siap. Istirahatlah lebih awal. Malam ini biar Carissa tidur dengan kami."

Camelia mengangguk. Camelia pun pergi dari hadapan papanya dan menuju ke kamarnya sendiri. Saat dirinya baru saja memutar knop pintu, dari arah yang berlawanan, knop pintu itu juga tengah bergerak ke bawah menandakan kalau ada juga yang tengah memutarnya.

Pintu terbuka, menampilkan Carissa dengan Mama Lia. Carissa heran saat melihat mata bundanya begitu sembab.

"Bunda, habis nangis?"

Camelia tersenyum menaggapi, namun senyumnya itu sedikit ia paksakan untuk menenangkan Carissa.

"Tidak apa. Oh iya, malam ini Carissa tidurnya sama opah dan omah ya."

"Iya bunda," ujar Carissa dengan begitu riangnya.

"Papa bilang?" tanya Mama Lia.

"Iya ma."

"Istirahat yang baik ya, sayang. Mama sama Carissa pergi dulu." Mama Lia pun menggandeng tangan Carissa untuk mengikutinya.

Seperginya Mama Lia dan Carissa, Camelia berlalu masuk ke dalam kamarnya. Disana, air matanya kembali mengenang di pelupuk matanya. Mengapa ... mengapa rasanya harus se-sesak ini. Rasanya ini jauh lebih menyesakkan saat tau ternyata Abra telah di jodohkan dengan Delia.

Ia tau, tidak seharusnya ia memendam perasaan seperti ini. Namun sekuat apapun ia mencoba menahannya, perasaan ini tidak bisa menjauh darinya. Perasaan ini bagaikan angin yang berhembus tak tentu arah yang bisa membuat siapapun harus waspada ataupun malah menikmatinya.

Camelia pun berjalan pelan meninggalkan pintu kamar dan menuju beranda kamarnya. Sesampainya disana, ia menghirup udara sebanyak mungkin untuk mencoba menghilangkan rasa sesak ini. Namun hasilnya tetap nihil. Seberapa banyak pun ia menghirup, rasanya akan tetap sama.

"Apakah rasanya harus se-sakit ini? Mengapa ... mengapa! Mengapa kami harus dipertemukan lagi, jika akhirnya harus seperti ini," lirihnya tanpa sadar.

Camelia membekap mulutnya dan berlari masuk kedalam kamar. Ia luruh dan sekali lagi menekuk lututnya menenggelamkan wajahnya disana - seperti kejadian tempo hari di ruangan pribadi di toko brownies-nya.

Ia tidak menyangka akhirnya ia juga seperti Abra. Dijodohkan dengan kedua orang tua masing-masing tanpa tahu menahu dari awal. Padahal jauh didalam impiannya, ia ingin menemukan sendiri seseorang yang benar-benar mau memperjuangkannya dan mau berbagi seluruh hidup dengannya.

Memang pastinya - jika suatu saat Atha menjadi Pria masa depannya, pasti Atha juga akan berbagi kisah hidup dengannya. Namun, apakah perasaan ini akan sama pada akhirnya? Satu pertanyaan itulah yang membuat Camelia enggan untuk berpikir lebih lanjut.

Ia lalu berdiri masuk ke dalam kamar mandi hendak membuat dirinya segar kembali dengan cara berwudhu. Selesai itu, ia pun beringsut naik ke tempat tidur. Mengistirahatkan diri dan pikiran yang lelah.

Camelia RahmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang