"Manusia emang suka menodai kesucian janji."
<>~<>~<>~<>
"Ayo kita pergi bersama," ajak Ivanka sembari menyodorkan sesuatu pada Bulan. Pemuda itu memandang kertas dengan heran. Maklum, di langit tidak ada kertas seperti itu.
"Apa ini?" Tanyanya. Ivanka menghela napas kemudian duduk di samping Bulan.
"Kamu ini manusia bukan sih. Ini namanya undangan pernikahan. Dan yang mau menikah adalah Pak Rey. Karena aku masih sedikit sakit hati aku males datang. Tapi si Raya yang baik hati tapi kadang nggak ada akhlak itu malah kasih undangan ke aku. Aku gamau berangkat sendiri, dan Raya nggak bisa dateng. Jadi aku ngajak kamu. Paham?" Jelas Ivanka panjang lebar dengan satu tarikan napas.
"Lah kan aku memang bukan manusia." Bulan mengangguk-angguk sok mengerti daripada kena lanjut cerewetnya Ivanka.
"Nah, yuk ikut, temenin aku," sambung Ivanka. Bulan melihat jam kedatangan tamu. 09.00-17.00 lantas ia menggeleng. Tidak akan bisa. Toh Bulan memang tidak mau. Ivanka memanyunkan bibirnya.
"Kenapa nggak mau sih. Lumayan tau dapet makan," katanya. Bulan hanya mengangkat bahu. Membuat Ivanka mencebik kesal.
"Majalahku? Mana?" Tanya Bulan tiba-tiba. Ivanka menepuk jidatnya.
"Hehehe,,,, dari tadi aku pergi sama Raya, langsung ke sini, jadi nggak bawa majalah, maaf. Oh, kost ku deket kok, aku ambilin bentar ya?" Tawar Ivanka. Bulan melirik Ivanka datar yang sedang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Ih, apa-apaan. Baru juga kemarin disepakati. Mana udah ditungguin setengah jam. Ih nggak tau ah mau pulang aja. Manusia emang suka menodai kesucian janji. Tahu ah, aku ngambek," katanya sembari bangkit dan segera berlari, lantas menghilang di antara atap-atap perumahan. Bulan tidak benar-benar marah. Hanya kesal karena 30 menitnya terbuang sia-sia untuk menunggu dan mendengar ocehan gadis itu yang tidak dimengertinya.
Ivanka yang ditinggalkan berdiri terbengong-bengong.
"Bentar, harusnya kan aku yang ngambek bukannya dia! Mana masih belum tahu nama dia lagi! diiiiiiihhhhh!" Teriaknya sambil mengentak-entakan kakinya sebal sambil berjalan pulang.
<>~<>~<>~<>
Ivanka merebahkan diri sembari memandangi undangan berwarna krem itu. Cantik. Lebih cantik lagi jika yang bersanding dengan nama Rey adalah namanya. Dia teringat dua tahun yang lalu. Pertama kali dia bertemu dengan Rey.
Dia sangat bodoh sekali, mengira Rey adalah mahasiswa baru juga.
"Halo!" Ivanka menepuk riang pundak seorang laki-laki. Tersenyum riang. Sementara itu, lak-laki yang disapa oleh Ivanka terkejut, lantas menutup buku yang sedang ia baca.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya laki-laki itu.
"Tidak ada," jawab Ivanka acuh tak acuh.
"Lantas apa yang kamu lakukan disini?"
Ivanka mengendikkan bahu. "Ini jam istirahat. Biasanya aku dan sahabatku akan berada di kantin. Sayang, dia tidak masuk kuliah hari ini. Dan karena aku ngga ada kerjaan, aku jalan-jalan aja muter kampus. Dan disinilah aku sekarang."
"Ah, kamu juga jurusan sastra ya?" tanya Ivanka random, matanya menatap kearah buku yang ada di tangan laki-laki itu. Buku pelajaran mata kuliah kesusastraan.
"Itu--" belum juga laki-laki itu menjawab, Ivanka lebih dahulu memotong ucapannya. "Aneh, aku ngga pernah lihat kamu sih? padahal jurusan sastra kan ngga banyak orangnya."
"Ah, kamu mesti mahasiswa baru ya! hahaha, kalau begitu salam kenal. Namaku Ivanka." Ivanka mengulurkan tangannya. Tersenyum sangat lebar.
Dengan ragu, laki-laki itu menjabat tangan Ivanka. "Rey," jawabnya singkat.
"Ngomong-ngomong aku bu--" lagi, ucapan Rey terputus, karena tiba-tiba saja Ivanka sudah berlari sembari berteriak memotong ucapannya.
"Sampai jumpa lagi Rey! Aku harus masuk kelas sekarang! Ah iya, kau tahu tidak? Kau sangat tampan!"
"Tapi aku bukan mahasiswa," ucap Rey lirih. Netra nya menatap ke arah punggung gadis Absurd yang baru saja ia temui itu. Lucu.
Rey menatap arloji yang melingkar ditangannya. Waktunya masuk. Dirinya memang baru di kampus ini, bukan sebagai mahasiswa namun sebagai dosen pengajar. Dengan langkah pasti, ia menuju ke kelas perdananya.
"Selamat siang semua!" suara Rey menggema di ruangan, membuat orang-orang yang berada di dalam ruangan itu menaruh atensi kepada dirinya. Termasuk gadis bernama Ivanka yang kini menatapnya bingung.
"Rey! Sini duduk samping aku!" teriak seorang gadis sembari melambai-lambaikan tangan. Ya, siapa lagi kalau bukan Ivanka.
Rey hanya berdeham, berusaha menutupi senyuman kecilnya. "Saya adalah dosen baru kalian dalam mata kuliah kesusastraan. Saya punya nama panggilan Rey. Kalian bisa memanggil saya dengan embel-embel kak atau pak. Karena, saya tentu lebih tua dari kalian semua."
Jangan tanya bagaimana ekspresi Ivanka saat itu. Sungguh jika bisa ia ingin menghilang saat itu juga. Ditambah gelak tawa dari seluruh teman sekelasnya. Ah, peristiwa itu pasti tak akan lepas dari benak mereka.
Senyuman kecil terbit di bibir Ivanka. Harus dirinya akui, pertemuan pertamanya dengan Pak Rey memang sedikit memalukan. Namun berkat pertemuan itulah pertemuan lainnya terjadi. Sungguh kenangan manis yang kini terasa pahit.
"Udahlah, Van. Dengerin kata Raya. Kamu tuh harus bisa move on. Masih banyak cowok lain di dunia ini yang perfect kayak Pak Rey," kata Ivanka bermolog. "Tapi siapa ya?"
Sekelebat sosok hadir dalam memori Ivanka. Membuat gadis itu buru-buru menepuk kepalanya keras-keras. "Kok malah jadi mikirin si aneh itu sih!"
"Ah kan! Jadi lupa beli tiket pulang! Tahu deh, mau bobok aja. Capek."
Bersambung,,,
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason [End]
FantasyBumi selalu indah. Entah itu di mata para makhluknya ataupun di mata langit sana. Siapapun pasti akan meyakini hal itu, tak terkecuali Bulan. Dia selalu memandang bumi dari atas sana sambil tersenyum dan berangan dapat menginjakkan kaki ke sana. Ent...