Yang menyatukan cinta
Dalam kelembaban air mata
Dan kekeringan tawa
Sebelum mengantarnya pada yang semestinya<>~<>~<>~<>
Setelah berdebat panjang dengan Bulan, akhirnya Ivanka mengizinkan cowok aneh itu menunggu dirinya kerja di kostnya sembari membaca dengan syarat tidak masuk ke kamar tidurnya.
Alhasil, sekarang dia resah. Bagaimana jika cowok itu melanggarnya? Sebenarnya Ivanka percaya tidak percaya kepada Bulan karena dia belum pernah menerima tamu laki-laki di kostnya.
"Van!" Suara Raya mengejutkan Ivanka yang melamun.
"Ish, kaget tau gak."
"Ya lagian ngelamun mulu. Udah ganti shift noh. Atau Kamu mau bablas malam?" Ivanka segera melihat sekelilingnya. Para pekerja se-shiftnya sudah bersiap pulang.
Ivanka nyengir dan segera pergi meninggalkan Raya. Selanjutnya, dia harus ke toko kelontong di dekat alun-alun kota. Jaraknya tidak begitu jauh. Biasanya Ivanka akan naik bus. Tapi setelah melihat langit cerah sore ini, gadis itu memutuskan untuk berjalan kaki.
Udara sore ini sangat segar karena tadi siang sempat hujan. Lembayung senja dan kicauan burung-burung gereja menemani setiap langkah Ivanka. Jalanan tidak seramai biasanya. Orang-orang lebih memilih naik kendaraan akibat hujan yang sering turun tiba-tiba.
Sepanjang jalan, gadis itu nampak menikmatinya. Melihat sudut-sudut dan detil-detil kota membuatnya terpikir untuk menulis sebuah puisi.
Seirama dengan langkah kaki
Di antara tapak-tapak hujan dan remah-remah roti
Membentang ambisi tanpa kenduri
Berebut nyali
Demi menghidupi recehan mimpi
Dengan petrikor sebagai api
Dan doa-doa dari para abdi
Semoga para raja enggan berhenti<>~<>~<>~<>
Jam sudah menunjukkan pukul 22.30 itu artinya, 30 menit lagi Ivanka pulang. Bulan segera merapikan majalah yang ia baca. Habis sudah majalah Bobo dia lahap. Besok dia akan kembali datang ke kios Purnama untuk meminjam majalah edisi terbaru.
Pemuda itu menatap sekelilingnya. Mengamati tempat yang sedari tadi sudi menampungnya. Dengan dinding dihiasi wallpaper bercorak matahari—membuatnya iri saja—dan langit-langit sederhana, kost ini sederhana namun nyaman.
Di pojok ruang tamu, tepat di ujung sofa, ada almari tanggung berisi buku-buku bacaan yang hampir tumpah-tumpah. Terlihat sekali sang empu adalah kutu buku. Di sebelah almari ada buffet kecil berisi foto-foto, dokumen, dan penghargaan.
Bulan segera menaruh majalahnya di tempat semula dan segera keluar dari kost Ivanka. Tubuhnya terasa lebih baik dan penuh tenaga karena malam hari.
"Ah .... apa kabar bintang-bintang," gumam Bulan sembari menatap ke langit.
Ia menaruh kedua tangannya di belakangnya kepala, sementara pandangannya lurus ke langi malam. "Ah, ragaku yang malang. Baru sebentar dan aku sudah rindu kerajaanku." Bulan bermonolog. Kakinya terus melangkah, hingga tidak sadar bahwa dirinya sudah sampai di taman tempat ia biasa membaca. Ia terdiam. Bingung harus melakukan apa.
Pasalnya, kios purnama tempat ia biasa meminjam majalah masih menunjukkan beberapa pengunjung. Dan paman pemilik sekaligus penjaga toko masih dalam keadaan sadar. Bulan selalu meminjam majalah dan bukan membelinya, ingat? Jadi, tidak mungkin sekarang ini dirinya pergi ke sana untuk meminjam majalah kesayangannya.
"Lagi ngelihatin apa sih?" Suara Ivanka tiba-tiba terdengar tepat di samping telinga kanan Bulan. Membuat dirinya terkejut.
"Sejak kapan kau datang?" Tanya Bulan setelah Ivanka duduk.
"Entahlah. Mungkin sepuluh menit yang lalu."
Jawaban Ivanka membuat Bulan terkejut. "Kau sudah datang sepuluh menit yang lalu dan baru menegurku sekarang?! Waktuku terbuang percuma Ivanka ...."
"Habis, wajah melamunmu lucu banget. Kan aku jadi gemes pengen lihat."
Oh, bagus sekali. Ivanka dengan segala kerandoman miliknya.
"Ah, tahu ngga? Masa sih tadi aku nemu—" belum genap Ivanka mengatakan kalimatnya, Bulan lebih dahulu berdiri.
"Jangan cerita sekarang, waktuku kebuang sia-sia nanti," kata Bulan. "Mending sekarang kita cari hewan peliharaan ku.
Mata Ivanka membola. Perasaan Bulan yang malah menyita waktu istirahatnya. Kenapa sekarang dirinya yang disalahkan?!
"Ayo, mau ditinggal?" Tanya Bulan dari jarak yang belum terlampau jauh. Membuat Ivanka mau tidak mau mengurungkan niatnya untuk bercerita.
<>~<>~<>~<>
"Capek!" Ivanka berjongkok peluh tampak membanjiri wajahnya. meskipun ini malam hari, jika kamu terus berjalan dan sesekali berlari selama 50 menit pasti akan terasa panas dan lelah.
"Ih, ayo lanjut nyari lagi," rengek Bulan kala menyadari Ivanka kini malah sudah duduk di tengah jalan.
"Enggak, capek tahu! Lagian itu si 'bintang' juga susah banget nyarinya." Ya, selama mencari 'hewan peliharaan' milik Bulan, Ivanka memang sempat menanyakan nama hewan itu.
"Ayolah .... Aku ngerasa dia udah deket sama posisi kita."
"Iki ngirisi dii idih dikit simi pisisi kiti." Ivanka menirukan kalimat Bulan dengan nada mengejek. "Dari tadi juga bilangnya gitu tapi nyatanya nggak ketemu. Lagian apaan sih sok bisa ngerasa-ngerasa. Emang kamu sama si 'bintang' punya telepati?!"
"Itu ...." Bulan menggaruk tengkuknya.
"Udahlah mau pulang. Ini udah hampir satu jam. Janjinya aku cuma bantuin kamu satu jam." Ivanka kini berdiri, lantas berjalan pergi.
Pasalnya, orang aneh itu mengajak Ivanka mencari hewan peliharaannya di tempat-tempat yang tidak bisa di bilang normal. Seperti di belakang restoran yang sudah tutup, di pucuk pohon, di atas lampu-lampu taman, bahkan di dasar selokan. Ya maklumlah kalau dirinya sekarang sudah lelah.
"Eh, Ivanka. Tungguin!" Teriak Bulan sembari mengejar Ivanka yang menjauh.
"Apa lagi?"
"Masih ada waktu lima menit. Ayolah .... lima menit lagi. Pliss.... jangan korupsi waktu dong," bujuk Bulan. Ivanka menatap cowok di hadapannya jengkel.
"Oke, tapi kasih tau aku hewan jenis apa dia?" Pertanyaan Ivanka membuat Bulan berpikir.
"Humm .... serangga," jawab Bulan ragu-ragu.
"Serangga bernama?"
"Aku tidak tau jenisnya. Tapi dia bisa bersinar dan melayang," jelas Bulan mendeskripsikan bintang.
"Okelah, mungkin itu kunang-kunang," putus Ivanka.
"B-bukan kunang-kunang, Van."
"Ya udah intinya terbang kelap-kelip kalo malem 'kan? Yaudah kunang-kunang. Apa lagi coba. Nah, kalau nyari kunang-kunang itu coba kalau nggak di hutan kota atau di padang rumput." Mata Bulan bersinar. Masuk akal juga. Siapa tahu bintang ada di sana.
"Yaudah ayok ke sana!" Ajak Bulan lantas menarik tangan Ivanka namun ditahan gadis itu.
"Kamu gila? Udah tengah malen woi! Ngantuk! Besok aku ada kuliah pagi. Pokoknya aku pulang sekarang! Kamu kalau mau sekarang cari sendiri, kalau mau sama aku cari besok! Titik! Selamat malam!" Kata Ivanka lantas segera pergi dengan langkah menghentak-hentak.
Bulan mamandang pasrah kepergian Ivanka. Dia lupa gadis itu masih manusia yang butuh tidur.
"Ah, mungkin akan kulanjutkan besok saja. Pencarian ini tidak ada artinya tanpamu, Ivanka," kata Bulan bermonolog sembari memandang sendu punggung Ivanka yang semakin menjauh.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason [End]
FantasyBumi selalu indah. Entah itu di mata para makhluknya ataupun di mata langit sana. Siapapun pasti akan meyakini hal itu, tak terkecuali Bulan. Dia selalu memandang bumi dari atas sana sambil tersenyum dan berangan dapat menginjakkan kaki ke sana. Ent...