Silau, itulah yang pertama kali Ivan pikirkan setelah dirinya membuka mata. Ia mengedarkan pandangannya. Ini ruang tamu kost Ivanka. Ia menyentuh dahinya, ada sebuah kain yang sedikit lembab menempel di sana. Ini apa? Ivan mengambil kain yang menempel di dahinya, mengernyit bingung.
Ukh!
Ivan merasa badannya pegal. Kenapa ini? Padahal selama ia menjadi penjaga, belum pernah dirinya merasakan lelah yang teramat sangat. Dengan perlahan, Ivan mendudukkan dirinya. Kala itulah netranya menangkap sebuah kertas kecil di atas meja.
Kamu udah pingsan dari kemarin malem. Aku ngga tahu pentakit makhluk kayak kamu harus diapain. Dan aku ngga mungkin bawa kamu ke dokter. Ah, jika saat kamu bangun aku ngga ada, berarti aku lagi kuliah atau kerja. Tergantung kamu bangun jam berapa. Cari aja aku kalo butuh.
—Ivanka.
"Aku pingsan?" Ivan bermonolog. Lantas menatap ke arah jam dinding.
Nging.... Ivan merasa telinganya berdenging. Bersamaan dengan kepalanya yang kembali terasa pusing. Sekelebat memori masuk ke otaknya.
Meteor yang terjatuh. Baskara yang khawatir. Binatang raksasa yang berlarian. Gaea yang mengorbankan diri. Dan juga seorang gadis cantik bernama Galatea. Entahlah, memori itu tiba-tiba saja datang dengan cepat dan hanya sekelebat.
"Aku harus istirahat lagi," kata Ivan. Ia merebahkan diri di sofa. "Sekarang, Vani pasti masih jam kuliah. Mungkin aku akan ketemu dia waktu kerja di restoran Raya aja."
<>~<>~<>~<>
"Van, deg-degan ngga?" tanya Raya.
"Ya iyalah, kalo ngga deg-degan aku bisa mati kali Ra."
"Ih, maksudku. Kamu tadi grogi ngga? Kan ketemu mantan doi." Baiklah, Raya dengan mode menyebalkan sedang aktif.
Ya, tadi saat pelajaran Pak Rey. Ivanka secara tidak sengaja kembali tertidur lagi di kelas. Membuatnya harus mengambil tugas tambahan ke ruang beliau. Yah, serasa deja vu. Bedanya, dulu Ivanka masih memiliki perasaan dan sekarang dirinya sudah santai-santai saja.
Tapi bukan berarti hidup Ivanka akan tenang.
Karena masih ada satu manusia kurang kerjaan yang sedari tadi sibuk menggodanya. Bahkan setelah dirinya selesai mengambil tugas seperti yang di perintahkan."Tadi Pak Rey ngomong apa gitu ngga waktu kamu ngambil tugas?" Raya masih belum menyerah.
"Pak Rey ngga ada di ruangan. Lagian aku juga cuma ngambil tugas." Ivanka menjawab dengan nada sedikit ketus, lelah dengan perkataan Raya.
"Idih, mukanya sepet banget sih ngga ketemu doi."
"Raya! Aku itu udah move on oke!" Balas Ivanka sedikit meinggikin nadanya. Membuat Raya berjengit terkejut. "Jadi tolong berhenti."
"Kamu ...." Raya menggantungkan kalimatnya sebentar, menimbang haruskan ia mengutarakan apa yang ingin dikatakan. " Move on ke Ivan ya?" tanyanya hati-hati.
Wajah Ivanka terasa memanas. "Ngga tahu ah. Raya nyebelin." Ia berlari, menghindari Raya agar tidak melihat wajahnya.
"Eh, Van. Jangan marah, aku bercanda!" Raya mengejar Ivanka yang mulai jauh.
"Raya ngga ada akhlak, tolong jangan bahas itu!"
<>~<>~<>~<>
Ivanka menghentikan langkahnya di depan restoran ketika melihat pemuda tampan berambut putih yang dikenalnya--Ivan sedang berbincang seru dengan seekor kucing hitam.
Gadis itu hanya memandang heran sebentar lantas berlalu tanpa menyapanya.
'Paling dia bakal nunggu aku pulang.' batin Ivanka dan segera tenggelam di keriuhan restoran sedangkan Ivan dan sang kucing masih asik bercakap.
"Jadi, bagaimana kabar istanaku?" Tanya Ivan sembari mengelus kepala Baskara si kucing yang keenakan.
"Hm .... hm .... seperti biasa," jawabnya keenakan.
"Ck, yang bener!" Balas Ivan sembari menggetok Baskara.
"Meow! Baik-baik aja dibilang! Sayangi kucing! Jangan getok sembarangan!" Protes Baskara lantas melompat dari pangkuan Ivan ke meja di depannya.
Ivan terkekeh sebentar. "Bas, aku serius. Gimana kabar istanaku? Gimana kabar semesta?"
Baskara menatap tajam dari tempatnya. "Kamu nggak percaya sama aku? Nggak percaya sama sistem langit?" Sinisnya.
"Bukan aku nggak percaya Bas, aku cuma khawatir."
"Kamu kalo khawatir ya cepet dapetin bintang itu!" Jawab Baskara sembari menjilati kakinya. Sangat menghayati peran kucingnya. Ivan yang mendengarnya lantas menyandarkan kepalanya di meja, menatap kegiatan kekuucinga Baskara.
"Kalau bukan saran Ultarid, aku udah bilang ke kamu soal semesta atas yang ngga baik-baik aja," batin Baskara.
"Bas, pake baju dong. Nggak malu apa," celetuk Ivan tiba-tiba yang segera dibalas cakaran Baskara.
"Ngomong sama ketuanya nggak ada sopan santun sama sekali. Sering ke Bumi kenapa nggak sekalian belajar sih!" Rutuknya lantas kembali mencakar-cakar wajah Ivan namun dibalas cengiran dari pemuda itu.
Berbanding terbalik dengan Ivan, orang-orang yang melihatnya dicakar hanya menatap ngeri namun tak berani mendekat dan menganggap seolah-olah kejadian itu tak pernah ada. Begitulah manusia. Mereka tidak suka ikut campur hal-hal kemanusiaan, tapi sangat suka mencampuri urusan pribadi seseorang.
"Gimana progres pencarian bintang nya?" tanya Baskara berbasa-basi. Pasalnya, Baskara memang tahu semua kegiatan Ivan di Bumi.
"Ya ngga gimana-gimana—"
"Halo Ivan! Udah sembuh ya?!" sapaan riang dari Raya membuat ucapan Ivan terpotong.
"Iya, udah." Ivan hanya menjawab pendek, melirik ke si kucing yang kini memberi isyarat akan pergi.
"Aku akan pergi, jangan lupa tugasmu. Dadah," kata Baskara. Lantas melompat dari atas meja.
"Yah, kok kucingnya pergi sih... Baru mau ngelus padahal." Raya mencebik kesal.
"Ngomong-ngomong Ra, kenapa kesini? Tumben," tanya Ivan. Raya memang sering mengunjungi resto milik orang tuanya ini. Namun Ivan dan Raya terhitung jarang berkomunikasi jika sedang di restoran.
Raya berpikir sejenak. Mengingat-ingat tujuannya mendekati Ivan. "Itu, kamu harus kerja di restoran ku ya," mata Raya berbinar penuh harap.
"Ngga bisa Ra. Aku ngga pengalaman sama kerjaan restoran," tolak Ivan. "Lagian Vani juga ngga ngebolehin."
"Bisa, kamu bisa manggung disini."
"Manggung?"
Kepala Raya menganguk dengan semangat. "Iya, manggung. Nyanyi sambil main gitar. Kan kamu bisa."
"Eh, emang ada pekerjaan kayak gitu?!"
"Ada—ah, aku di telepon sama papa." Raya bangkit dari duduknya. "Jangan lupa pikiran tawaranku oke?!" Kata Raya sebelum beranjak pergi.
"Manggung ya .... Kayaknya seru sih."
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason [End]
FantasyBumi selalu indah. Entah itu di mata para makhluknya ataupun di mata langit sana. Siapapun pasti akan meyakini hal itu, tak terkecuali Bulan. Dia selalu memandang bumi dari atas sana sambil tersenyum dan berangan dapat menginjakkan kaki ke sana. Ent...