1. Ketetapan

147 26 31
                                    

Semesta punya ketetapan yang nyata. Nama mereka memang tidak berdampingan dekat, namun di antara keduanya, masing-masing telah terikat
<>~<>~<>~<>

Langit telah gelap sedari tadi. Aktivitas makhluk hidup juga sudah menunjukkan persentase yang minim. Tentu saja, karena sekarang sudah tengah malam. Dan itu adalah tanda bahwa Bulan bisa pergi mengunjungi Bumi. Tempat yang memang sudah menarik atensinya sejak lama.

"Halo Bumi." sapa Bulan ramah tepat saat kakinya menginjak dipermukaan Bumi. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas, lantas menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa.

"Aroma bumi memang yang terbaik." Bulan melangkahkan kaki. Mulai menelusuri jalanan malam yang lengang.

Kalian pasti heran. Sebuah Bulan berjalan-jalan di Bumi? Bagaimana bisa? Ya, mudah saja. Setelah Bulan mendapatkan tugasnya untuk menjaga sistem perbintangan, pikiran Bulan terus dipenuhi dengan Bumi. Hal itu menyebabkan ia tidak fokus mengerjakan tugasya.

Singkat cerita, setelah perdebatan panjang, para penjaga memutuskan  Bulan boleh berkunjung ke Bumi. Bukan raganya yang pergi. Karena hal itu tidak mungkin. Namun, jiwa dari Bulan boleh pergi kesana. Hanya sebentar, melihat bagaimana penampakan Bumi dari dekat. Namun, kunjungan singkat itu ternyata mampu membuat  Bulan jatuh cinta kepada pesona yang ada di Bumi.

Dan  Bulan akhirnya mengerti saat pertama kali 'jiwa' nya mendarat di Bumi. Mengapa dirinya harus menjaga sistem perbintangan.

<>~<>~<>~<>

Bulan sangat menyukai Bumi. Baginya, Bumi adalah planet terindah di alam semesta. Penampakannya pun bermacam-macam. Tidak seperti Kerajaan Matahari yang tampak seperti buntalan gas panas ataupun kerajaannya sendiri yang bernuansa abu-abu. Kusam. Bumi sangat berwarna-warni, persis seperti di majalah "Semesta" yang sering dia baca.

"Hmm,,, apa yang akan kulakukan sekarang? Kakek tua itu sudah mendaratkanku di ujung tebing, tidak mengizinkanku berinteraksi dengan manusia pula. Kesal!" Umpatnya sambil menendang kerikil di sebelahnya.

Bulan berjalan tak tentu arah, terkadang dia melompat di antara atap-atap rumah. Penguasa langit memberinya waktu hanya setengah jam dan menentukan tempat mendarat dan pulangnya. Agar bisa diawasi, katanya.

Langkahnya terhenti di deretan ruko seberang alun-alun kota yang masih sedikit ramai bekas festival tadi. Petugas kebersihan sedang membersihkan sampah dibantu oleh para pemuda yang bersimpati. Bulan  melanjutkan langkahnya menyusuri deretan ruko yang sudah tutup. Kecuali satu. Kios buku dan majalah kuno 'Purnama' . Bulan berhenti, tertarik melihat kios tua yang menggunakan nama lainnya itu, lantas berjalan menghampiri penjaganya yang tertidur. Dia tahu tidak boleh berinteraksi dengan manusia. Namun, dia bosan, butuh sedikit hiburan.

"Permisi, apa toko ini masih buka?" Tanya Bulan kepada penjaga toko yg segera terbangun.

"Sudah berapa kali kubilang, tidak ada burung kakak tua! Aku hanya pedagang buku!" Cerocos penjaga lapak itu mengejutkan Bulan  lantas tertidur lagi. Sepertinya dia mengigau. Bulan yang sadar dari keterkejutannya hanya mengendikkan bahu dan mulai melihat-lihat kios itu.

Langkah pertama kakinya menginjak ke dalam, aroma buku dan majalah tua merebak, memasuki hidungnya. Sekejap itu pula, Bulan jatuh cinta dengan buku manusia. Dia tertarik dengan salah satu majalah tipis namun beragam informasinya, tanpa peduli untuk siapa seharusnya majalah itu dibaca. "Majalah Bobo" Pas sekali edisi kali ini membahas tentang mitos ketika purnama. Matanya berbinar senang.

"Uuh, ini pasti menyenangkan. Pak Tua, majalahmu aku pinjam!" Ucap Bulan lantas keluar dan mencari tempat nyaman untuk membaca. Kegiatan ini, akan selalu dilakukannya tatkala dirinya berkunjung ke Bumi, menemani malamnya.

<>~<>~<>~<>

Ini tengah malam, dan seperti biasa, Bulan sedang membaca di taman perpustakaan kota. Entah di kota manapun dia berada, dia selalu menyukai buku manusia. Harum kertasnya menenangkan, dan buku kesukaannya ialah "Majalah Bobo."  Sangat tidak sesuai dengan tampangnya yang sudah "matang" dengan tubuh atletis dan rambut perak panjangnya yang diikat. Tapi, itulah Bulan dengan segala keunikannya.

Ketika sedang asyik menikmati bacaannya, seorang gadis berlari terbirit-birit melewatinya sambil menangis dan menjerit minta tolong. Di belakangnya, dua orang preman mabuk mengejarnya. Bulan mengangkat kepalanya sebentar, menonton adegan tadi hingga mereka tenggelam dalam kelamnya gang-gang perumahan, bahkan matanya sempat bersitatap dengan mata si gadis. Tapi ia tak ambil pusing, lantas kembali asyik dengan kegiatannya. Bulan tak pernah berminat mencampuri urusan manusia. Baginya, itu sudah takdir mereka. Mengapa ia harus peduli? Lagipula memang pada dasarnya ia tidak boleh mencampuri urusan manusia.

Sepuluh menit lagi jatahnya habis. Pas sekali, majalah edisi kali ini juga sudah selesai dia baca. Ditaruhnya buku kesukaannya itu di pangkuannya. Ia mendongak, melihat keindahan raga nya dari bawah. Yah, benar-benar indah, dan dia bangga akan hal itu. Tiba-tiba, perhatiannya diinterupsi oleh seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya sambil terengah-engah. Bulan terkejut.

"Gadis tadi," batinnya.

Ya, itu gadis yang dikejar preman-preman mabuk beberapa menit yang lalu. Kemana mereka?

"Heh,,, hah,,,hah,,, kenapa Kau diam saja hah,,,hah,,, ketika melihatku dikejar bajingan-bajingan tadi!" Ujarnya terengah-engah.

Bulan terkejut, ini pertama kalinya seorang manusia berbicara dengannya. Yaa,,, selain penjaga kios langganannya yang selalu sudah tidur dan mengigau ketika dia datang. Bulan sedikit resah, dia takut ini melanggar aturan Penguasa Langit. Tapi lagi-lagi hati kecilnya berkata bahwa jika sebatas berbicara apa salahnya?

Bulan mengangkat alisnya.  "Apa urusanku?"

Gadis itu mendongak. Wajahnya berantakan dengan keringat bercucuran dan anak rambut kemana-mana. Air mata juga masih membekas di pipinya. Dia geram. 'Kenapa masih saja ada orang seperti dia.'

"Jadi, kemana pria-pria tadi?" Sambung Bulan sedikit penasaran.

"Kuharap mereka pingsan hingga polisi datang," jawab gadis itu sambil menatap ke kegelapan gang sambil mengepalkan tangannya. Bulan tertegun. Sepertinya, gadis ini menyeramkan, namun ia hanya  mengangguk-angguk. Beberapa menit kemudian, Bulan masih menikmati malamnya, lantas berdiri merapikan pakaiannya.

"Kamu mau kemana?" Tanya gadis itu setelah detak jantungnya mulai normal. Bulan menunjuk ke sebuah kios buku tempatnya biasa 'meminjam' majalah selama ini.

"Ternyata rumahmu dekat." Gadis itu manggut-manggut , sementara Bulan terkekeh, membiarkan gadis itu mengira kios 'purnama' sebagai rumahnya. "Bisakah kau mengantarku pulang terlebih dahulu? Aku sedikit trauma," Pinta sang gadis

"Tidak," jawab Bulan pendek. Ia mulai berjalan menuju kios dengan membawa Majalah "Bobo"

"Setidaknya ajaklah aku menginap semalam di rumahmu," pinta gadis itu, kali ini sedikit berteriak karena jarak mereka yang sedikit lebih jauh.

Bukannya menjawab, Bulan hanya mengangkat tangan lantas melambai. Tidak boleh. Tanpa membalikkan badan.

Entah bagaimana, gadis itu jengkel padanya. Dia berharap pulang dalam keadaan aman dengan seseorang. Nyatanya, orang yang ditemuinya bahkan tidak punya sisi kemanusiaan. Hufth. Matanya menatap kearah punggung pemuda yang kian menjauh itu.

"Dasar! Ternyata masih ada juga orang yang tak berperasaan seperti itu." Gadis itu berbalik, mulai berjalan pulang, mengingat esok ada kelas pagi dan tubuhnya letih setelah berlari-lari.

"Ah, tapi bukankah majalah yang di pegang olehnya tadi itu majalah 'Bobo'? Jangan-jangan dia pedofil!" seru gadis itu, bergidik ngeri. "Orang aneh, aku harap kita tidak usah bertemu lagi."

Kita boleh meminta, namun semesta punya ketetapan nyata. Nama mereka tidak berdampingan dekat, namun di antara keduanya, masing-masing telah terikat.

Bersambung,,,

Reason [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang