19. Kecelakaan

17 8 0
                                    

Di bawah naunganmu
Rindu-rindu juga tercipta
Yang mengaliri jiwa-jiwa hampa
Penuh sesal dan dosa

<>~<>~<>~<>

Di sinilah Bulan sekarang. Di restoran orang tua Raya, tepat di bangku luar paling ujung depan jendela. Di bawah meja berpayung tentunya.

Pandangannya fokus ke buku yang baru saja ia bawa dari perpustakaan kampus Ivanka. Dari ratusan buku di perpustakaan, Bulan sangat tertarik dengan buku Dongeng-dongeng dari Langit karena sampulnya tidak menarik. Aneh? Memang.

Matahari sudah tenggelam ketika Bulan selesai membaca tiga bab. Lampu-lampu jalanan dan restoran mulai dinyalakan. Menambah indah trotoar yang mulai ramai pejalan kaki yang sedang mencari makan malam.

Bulan merenggangkan badannya yang terasa lega lantas menoleh ke jendela. Di sana terlihat Ivanka yang sedang bersiap pulang. Tampak Ivanka bercakap dengan seorang gadis sebayanya, tertawa, bersalaman, lantas berjalan menuju pintu keluar.

Ivanka tampak tak menyadari kehadiran Bulan karena gadis itu bergegas menuju halte. Setelah ini, jadwalnya untuk bekerja di toko kelontong dekat alun-alun kota.

Bulan tersenyum dan segera ikut bus Ivanka. Tidak, dia tidak masuk. Pemuda itu memilih untuk duduk di atas bus sembari menikmati malam yang sedikit berawan dan ikut turun ketika Ivanka turun.

Gadis itu segera menuju tempat kerjanya dengan Bulan yang mengamati dari pucuk pohon di depan toko. Ivanka terlihat baik-baik saja setelah seharian belajar dan bekerja. Mungkin karena sudah rutinitasnya, ia tak akan menganggap ini beban.

<>~<>~<>~<>

"Ivanka!" Seru Bulan dari tempatnya begitu kaki Ivanka menapak keluar. Gadis itu tampak mencari-cari sumber suara sebelum terkejut melihat pemanggilnya.

Bulan turun dari pohon dan berjalan menghampiri Ivanka. "Ayo pulang." Mendengarnya, Ivanka mengernyit. "Ke?"

"Kostmu lah," jawab Bulan lantas berjalan di depan Ivanka. Gadis itu menarik baju Bulan sebelum jauh.

"Bentar, bentar. Pertama, kamu ngapain di atas pohon? Kedua, sejak kapan kamu ada di sini? Ketiga, sejak kapan kostku jadi tempatmu pulang juga?"

Bulan nyengir. "Sejak aku diusir?" Kerutan di dahi Ivanka bertambah dalam. "Nggak jelas," gumamnya lantas segera melepas cengkramannya dan berjalan mendahului Bulan.

Sepanjang jalan Ivanka berpikir. Sebenarnya, siapa cowok aneh yang selalu ditemuinya setiap malam? Siapa cowok aneh yang diiyakan permohonan tolongnya? Siapa cowok aneh yang bahkan Ivanka tidak tahu namanya? Siapa dia? Siapa?

Berbagai pikiran masih bermunculan di kepala Ivanka hingga setelah menyebrang jalan, sebelum terdengar decitan ban dan suara tabrakan nyaring di belakangnya. Sontak Ivanka berbalik.

Terlihat mobil yang berhenti, pengemudinya keluar sebentar, lantas  kembali menjalankan mobilnya seperti tak terjadi apa-apa. Mata Ivanka membulat. Cowok aneh itu! Ivanka segera berlari menghampiri Bulan yang terkapar di tengah jalan.

"Woi!!! Tanggung jawab!!! Woii!!!! Toloong!!! Ada tabrak lari tolong!!!" Teriakan Ivanka menggema di tengah jalan yang sudah sangat sepi. Tak ada siapapun yang lewat.

"Van, udah, diem, nanti disangka orang gila. Aku nggak apa-apa. Udah ayo pulang," suara Bulan menginterupsi teriakan Ivanka. Tampak pemuda itu sedang berdiri sembari membersihkan sedikit kotoran di baju peraknya.

"Eh? Kok? Kamu?" Ivanka sangat terkejut. Bagaimana mungkin seseorang masih sangat baik-baik saja setelah ditabrak seperti tadi? Bahkan, lecet sedikit saja tidak ada.

"Nanti aku jelasin. Ayo pergi dulu," jawab Bulan segera menyeret Ivanka pulang ke kostnya.

<>~<>~<>~<>

"Jadi, gimana?" Tanya Ivanka setelah sampai di kostnya dan membersihkan diri.

"Humm .... aku bingung jelasinnya. Oke, sebenernya, aku bukan manusia-"

"Kamu penampakan?!" Teriak Ivanka memotong.

"Bukan, bukan. Kamu nggak perlu tau siapa aku—" Bulan terdiam sejenak, menimbang bagaimana menjelaskan tanpa harus membuka identitasnya. "Intinya, aku bukan manusia. Jadi, aku tidak mempunyai sifat-sifat manusia seperti lapar, haus, ngantuk, sakit, dan semacamnya. Dan juga harusnya aku nggak kelihatan."

"Bentar, bentar. Kamu kalau mau bercanda ini nggak lucu." Ivanka masih belum bisa mencerna kalimat Bulan. Apa maksudnya cowok aneh ini bukan manusia? Apa dia hantu? Tapi Ivanka tidak punya indra keenam."Ih, kebanyakan baca majalah Bobo ya Kamu? Halunya ih."

Ivanka menatap manik mata orang di hadapannya ini mencari kebohongan, namun Ivanka tidak menemukan perasaan apapun di sana. Seakan manusia di hadapannya ini memang 'kosong'. Membuat buku kuduknya berdiri. Jadi, semua kejanggalan itu memang bukan hanya perasaan nya saja? Semua kebetulan itu memang bukan sebuah kebetulan?

"Van?" Bulan menyentuh lengan Ivanka dan dengan cepat di tepis oleh gadis itu.

"Jangan sentuh!" Kalimat dengan nada sedingin es itu masuk ke pendengaran Bulan. "Tolong, kamu pergi sekarang dari sini."

"Tapi—"

"Pergi."

<>~<>~<>~<>

Hati Bulan tidak baik sekarang ini. Sangat. Entahlah, perasaanya terasa sesak. Dan ia tidak mengerti. Ini pertama kali dalam hidup dirinya merasakan perasaan yang aneh namun menyakitkan.

Saat Ivanka menatapnya dengan binar mata yang seakan telah di bohongi. Saat itulah perasaan ini datang.

Hah.

Bulan mendongakkan kepala. Menatap langit malam dengan raganya yang bersinar redup di atas sana. Setelah Ivanka mengusir Bulan dari kost gadis itu. Bulan memutuskan untuk berjalan menuju taman—bangku nomor tiga.

Kejadian ini memang salah dirinya sih. Dengan bodohnya, ia terlalu asyik membaca sambil berjalan sehingga tidak sengaja me non-aktif kan kekuatan menghilangnya lantas berakhir tertabrak dan membuat Ivanka curiga kepadanya.

Ya, ini salahnya. "Bodoh. Aku bodoh." Baru saja ia bisa bersama dengan gadisnya dan kini malah harus kembali jauh. Mungkin untuk selamanya?

Bersambung ....

Reason [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang