Lihat, satu persatu, alasan semesta mulai tebaca.
<>~<>~<>~<>~<>
Netra Ivanka kini memandang ke arah langit dari balik jendela kelasnya. Matanya menyipit sedangkan dahinya berkerut, menampakkan wajah khas orang-orang yang sedang berpikir. Bahkan kepala gadis itu sekarang berada dalam posisi miring, seakan memang sedang berpikir keras.
"Dari tadi kamu lihat apa sih di langit?" tanya Raya yang entah sejak kapan sudah ada di samping Ivanka, ikut memperhatikan langit. "Padahal ngga ada apa-apa juga."
"Kamu ngerasa nggak sih? kalau bulan hari ini kelihatan jelas banget?" Bukannya menjawab, Ivanka malah balas bertanya.
"Ha? Mana ada bulan siang-siang gini." Raya kembali memperhatikan langit. "Kayaknya obsesimu sama bulan bikin kamu halusinasi deh," ucap Raya seakan tidak ada dosa.
"Ih, aku nggak terobsesi ya, emang suka. Tapi bener lho ada bulan! Bahkan semakin lama semakin jelas."
Raya merotasikan matanya. "Terserah deh."
"Ra, kayaknya sesuatu yang gelap akan datang hari ini. Dan hal itu datang tanpa pemberitahuan, membuat manusia kalang kabut," kata Ivanka, masih setia menatap langit.
Entah mengapa bulu kuduk Raya berdiri saat Ivanka mengatakan hal itu. Karena pancaran mata sahabatnya itu seakan benar-benar memberitahu sesuatu. "Dari pada kamu makin nggak jelas, mending sekarang temenin aku makan ke kantin. Laper." Belum juga Ivanka menjawab, tangan gadis itu sudah ditarik paksa lebih dulu oleh Raya. Membawanya menuju kantin jurusan mereka.
<>~<>~<>~<>
Senang. Kata itulah yang kini dirasakan oleh Bulan. Bersantai di kerajaannya sambil membaca majalah Bobo ternyata semenyenangkan ini. Tahu begini, sejak dalu ia akan membawa banyak majalah agar waktu bosannya di kerajaan bisa diobati.
"Kenapa rasanya panas sekali ya?" Bulan mengernyitkan dahi bingung. Pasalnya, rasa panas yang ia rasakan sekarang ini seakan bisa memanggangnya. "Apa Baskara berada disini?"
Tanpa membuang waktu lagi, Bulan segera menuju ke permukaan raganya. Dan kini ia paham dari mana rasa panas itu berasal. Pasalnya kini ada Baskara yang mengendarai Matahari dihadapan Bulan. Mendekat ke arah kerajaannya, membuat netra Bulan bergetar. Oh ayolah, sekarang sedang siang hari. Dimana sihir Matahari berkali-kali lipat ebih kuat dari pada dirinya. Dan jika Matahari mendekat ke arahnya, maka dia harus mengerahkan lebih banyak sihir agar lapisan sistem perbintangan tidak rusak.
Sial, apa-apaan dirinya ini! Ketua macam apa yang seenaknya mendekatkan kehancuran langit. Umpat Bulan dalam hati.
Bulan menarik napasnya perlahan. Memejamkan mata. Jika dilihat, kini jiwa Bulan seakan diselimuti oleh kabut keperakan. Mengerahkan segenap sihirnya. Bagaimanapun ia harus melindungi lapisan sistem perbintangan.
"Bulan." Suara Baskara terdengar. Begitu jelas dan berwibawa.
Bulan mendongkakkan kelapa yang sedari tadi tertunduk. Menatap ke arah Baskara dan Mataharinya yang jaraknya kian dekat. Sehingga ia dapat melihat jelas Baskara yang kini menatapnya dengan tatapan datar.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanya Bulan. Napasnya mulai tersenggal. "Kau bisa menghancurkan sistem perbintangan."
Hening. Baskara tidak berniat untuk bersuara ataupun beranjak menjauh. Malah kini semakin mendekat kearah Bulan yang semakin kepayahan. Membuat tubuhnya bergetar hebat. Jika begini bisa-bisa sistem pebintangan benar-benar akan hancur. Bulan menyipitkan pandangannya. Silau dan panas. Pasrah jika nanti Baskara akan menabrakkan diri kearahnya.
"Kau tahu Bulan, Aku tidak pernah membiarkan sistem perbintangan rusak. Tidak akan." Suara Baskara menggema. "Yang akan merusaknya adalah dirimu sendiri. Kehadiranku sekarang hanya ingin memperingatkanmu. Sekali lagi kau mengacau, siap-siap hukuman langit menghujammu." Ancam Baskara dengan mata memincing dan seringai yang menurut Bulan sangat menyeramkan.
Entah Bulan mendengar perkataannya atau tidak, Baskara dan Matahari segera berlalu pergi. Dia masih mempunyai banyak urusan yang harus dilakukan. Lagipula, ia memang tidak boleh berlama-lama berada di dekat Bulan. Sepertinya peringatan ini cukup untuk menyadarkan Bulan tentang kesalahannya. Semoga saja.
Bulan membuka lebar matanya kala merasakan suhu yang sudah tidak sepanas tadi. Lengang. sudah tidak ada penampakan Matahari dan Baskara sejauh mata memandang. Bulan ambruk.
Lelah.
Sepertinya malam ini dirinya tidak akan turun ke Bumi. Pasalnya kekuatan sihirnya sudah berkurang terlampau banyak. Akan berbahaya jika ia nekat menuju Bumi. Yah, setidaknya ia masih mempunyai majalah yang dia bawa dari Bumi. Jadi ia bisa sedikit terhibur.
Bulan bangkit lantas berjalan terseok-seok masuk kembali ke singgasananya menaruh kepalanya di atas meja. Sesekali matanya melirik ke depan, memastikan sistem perbintangan masih berjalan dengan benar.
Singgasana Bulan berada di tengah-tengah raganya. Namanya saja dia jiwa Bulan. Letaknya berhadapan dengan 'jendela' yang langsung bisa melihat keluar, ke arah sistem perbintangan.
Lima menit diam seperti itu membuat lehernya pegal. Bulan bangkit menuju meja yang lain, yang menyimpan barang-birang pribadinya. Dicarinya majalah Bobo yang ia simpan. Ia tertegun, hanya tersisa lelehan berwarna hitam di tempat majalah itu semula berada. Sialan, Baskara sialan itu telah melelehkan majalah Bobo kesayangannya. Bulan menggebrak meja. Apa salahnya dia membawa beberapa barang remeh untuk menghiburnya. Apa salahnya??
<>~<>~<>~<>~<>
Fenomena alam aneh terjadi di Bumi. Beberapa menit yang lalu, Bumi gelap gulita di siang hari. Para ahli langit tidak bisa mengatakan apa-apa ketika yang mereka lihat bukanlah hal yang sewajarnya. Matahari menghilang. Bagaimana bisa Matahari bergerak dari tempatnya? Beberapa orang bahkan mengatakan itu adalah amarah sesaat penguasa langit. Yang lain mengatakan Matahari mereka sedang mengantuk karena malam asyik bercengkrama dengan bintang-bintang.
Tak terkecuali Raya dan Ivanka, mereka juga ikut heboh mendengar berita ini.
"Van, kamu peramal ya?" Tanya Raya tiba-tiba setelah bumi terang kembali. Ivanka menoleh, menghentikan aktivitas mencatatnya lantas mengendikkan bahu tak peduli dan kembali mencatat pelajarannya.
"Ih,, Ivanka," rajuk Raya menggoyangkan pundak Ivanka karena tidak terima dengan jawaban sahabatnya. Ivanka menyerah, meletakkan bolpennya dan menghadap Raya.
"Aku ini Ivanka, lahir di bumi, orang biasa. Mana bisa meramal-ramal kayak penyihir. Tapi Ray, kalau aku bilang aku dan bulan punya ikatan, kamu percaya?" Tanyanya membuat Raya berpikir, lantas menggeleng.
"Kalau bulan itu maksudmu seorang manusia aku akan percaya. Tapi kalau bulan yang kamu maksud itu yang di langit, Van, sepertinya kita perlu menyembuhkan obsesimu." Jawab Raya sambil serius memandangi Ivanka.
"Hei, bulan itu indah. Apa salahnya aku suka keindahan." Kata Ivanka lantas kembali mencatat. Raya menghela napas. Dasar keras kepala, lalu pergi meninggalkan Ivanka. Entah kemana, mungkin ikut bergosip dengan yang lain tentang fenomena tadi.
<>~<>~<>~<>~<>
Perlahan-lahan, permusuhan antara Bulan dan Matahari mulai tumbuh dan tanpa sadar menciptakan fenomena indah dan langka di langit. Ketika Matahari datang mendekati Bulan yang diselimuti sihirnya demi mempertahankan sistem perbintangan, disitulah alasan Bumi gelap seketika dalam waktu singkat, dan akan diulang dalam beberapa periode. Di kemudian hari, orang-orang menyebutnya Gerhana.
Lihat, satu persatu, alasan semesta mulai terbaca.
Bersambung,,,
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason [End]
FantasyBumi selalu indah. Entah itu di mata para makhluknya ataupun di mata langit sana. Siapapun pasti akan meyakini hal itu, tak terkecuali Bulan. Dia selalu memandang bumi dari atas sana sambil tersenyum dan berangan dapat menginjakkan kaki ke sana. Ent...