Tak usah ditanya tentang rasa
Tentang lara
Tentang percaya yang terluka
Tentang bait-bait melodi hampa
Yang berdentang di kekosongan jiwa<>~<>~<>~<>
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" Bulan merutuki dirinya sendiri. Pasalnya, beberapa menit kemudian, gerimis datang dan dia tidak membawa payung.
"Ah, kenapa harus kesal. Kan aku udah di bumi." Benar, selama ini dia benci hujan karena dengan turunnya hujan, Bulan tak dapat ke Bumi. Namun kali ini kasusnya berbeda. Apapun yang terjadi dia akan tetap berada di Bumi hingga tugasnya selesai.
Bulan tampak menikmati gerimis malam itu. Dia memejamkan matanya, merasakan tiap tetes-tetes mungil yang mendarat di tubuhnya. Mendengar pesan-pesan langit yang disampaikan melalui rintiknya.
"Hmm .... sampe bintang ketemu ya." Bulan membuka matanya. "Haish, tapi aku terlantar, aku nggak tau mau ngapain, aku nggak punya temen, aku nggak punya kerjaan, aku kek gelandangan lagi. Humm gelandangannya gelandangan? "Ah aku kangen Ivanka!" Bulan berteriak frustrasi. Hingga tiba-tiba sebuah suara menyahut
"Jangan alay. Ayo pulang." Seseorang muncul di depannya memayungi.
"Eh?!"
"Apa ah eh ah eh? Ayo pulang. Nggak lucu orang ganteng masuk angin. Walaupun aku nggak tau Kamu bisa masuk angin atau enggak."
Dia Ivanka. Setelah pengusiran Bulan dari kostnya, gadis itu merenungi perbuatannya. Memang benar cowok itu aneh dan bukan manusia, tapi sepertinya tidak berniat jahat. Dia hanya meminta tolong mencari hewan peliharaannya yang hilang.
"Tapi kenapa aku?" Lagi-lagi pikiran Ivanka meragukan keyakinan hatinya dan segera terngiang kalimat cowok aneh itu
"Aku nggak punya temen selain Kamu."
Tapi, bagaimana jika itu tipuan? Atau memang makhluk seperti dirinya antisosial? Dan bagaimana jika ia merepotkan? Tapi cowok aneh itu bilang jika dia tidak butuh kebutuhan manusia.
Ah, tiba-tiba Ivanka merasa berdosa. Di lubuk hati terdalamnya, dia sudah nyaman dengan hadirnya cowok aneh itu. Ivanka terngiang setiap malam pertemuan mereka. Saling menanti dan bertukar cerita. Dia juga teringat hal yang selalu ditanamkan ibuk pada dirinya. Tolonglah sesama. Dan di sinilah Ivanka berada, menyusul Bulan.
"Woi! Keburu deres! Masih mau aku tampung nggak?" Jahat. Jahat sekali kalimat Ivanka. Tapi Bulan tampak tak sakit hati. Pemuda itu justru tersenyum senang lantas bangkit dan memeluk Ivanka.
"Terima kasih, terima kasih Ivanka. Aku tau aku tidak salah memilih manusia." Ivanka tidak paham apa yang dikatakan Bulan namun ia membalas pelukannya.
Malam itu, di tengah hujan, jiwa dan raga Bulan berpendar terang. Entah karena telah menyambungkan takdirnya atau karena telah menemukan tujuannya. Hal itu menciptakan biasan cahaya di langit yang disebut manusia sebagai Moonbow. Pelangi malam.
<>~<>~<>~<>
"Oke, aku nggak peduli Kamu kedinginan atau enggak, tapi aku nggak mau kost ku basah. Jadi, nih, ganti baju. Habis itu, aku butuh penjelasan lebih lengkap dari yang tadi," perintah Ivanka sembari menyodorkan satu set baju pria yang ia pinjam dari tetangga kostnya kepada Bulan.
"Tapi aku bisa ngeringin diri sendiri kok."
"Eh, bisa sihir?"
Bulan mengangguk. "Beberapa." Lantas memunculkan cahaya biru keperakan dari tangannya, menyentuh kepalanya, dan cahaya itu segera menyebar ke seluruh tubuhnya. Sebentar saja, lantas menghilang bersama basah hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason [End]
FantasyBumi selalu indah. Entah itu di mata para makhluknya ataupun di mata langit sana. Siapapun pasti akan meyakini hal itu, tak terkecuali Bulan. Dia selalu memandang bumi dari atas sana sambil tersenyum dan berangan dapat menginjakkan kaki ke sana. Ent...