4. Malu

91 17 8
                                    

Tidak semua yang tampak di netra, selaras dengan fakta. Jangan terlalu percaya diri, semesta ini tidak hanya ada Kamu, manusia.

<>~<>~<>~<>

Hujan yang baru saja selesai membuat udara sedikit lebih dingin. Menyebabkan malam yang sudah sepi semikin sepi. Orang-orang lebih memilih diam dirumah, istirahat dibalik selimut tebal mereka. Ya, sebagian besar orang, dan Ivanka menjadi pengecualian. Karena kini gadis itu malah sedang berjalan di sebuah gang pertokoan. Sesekali melompat kecil, menghindari kubangan air. Kedua tangannnya bersedekap didepan dada, mengeratkan jaket tipis yang ia kenakan.

Ia baru saja pulang dari kerja sambilannya. Bibi pemilik toko menutup toko satu jam lebih awal karena cuaca yang tidak memungkinkan adanya pelanggan. Tetapi hal itu tidak lantas membuat dirinya pulang cepat,karena ia juga harus berteduh dulu selama satu jam, menunggu hujan reda.

Langkah Ivanka yang tadinya sedikit berlari agar segera sampai di kos-kosan, kini melambat. Di ujung gang depan sana, ada dua orang asing. Ia menajamkan matanya. Dahinya mengernyit. Ada yang aneh dengan dua orang di ujung gang sana. Ivanka semakin mendekat kearah dua orang asing itu. Kini tampak jelas dimatanya, seorang laki-laki dengan rambut 'gondrong' dengan anak kecil yang sedang menangis.

Tunggu. Ivanka tidak salah lihatkan dan dengarkan? Anak kecil itu menangis? Mata Ivanka semakin membulat kala tangan laki-laki asing itu kini menarik si anak tadi. Dan entah reflek dari mana, Ivanka segera berlalri ke arah laki-laki itu. "Pedofil!"

<>~<>~<>~<>

"Akhirnya aku kembali lagi." Bulan merentangkan tangannya. Bumi yang baru saja selesai diguyur air hujan membuat udara terasa lebih bersih. Segar.

Seperti rutinitasnya yang biasa, ia akan berjalan menuju kios tempatnya biasa 'meminjam' buku. Mengambil sebuah majalah Bobo lawas edisi terbaru. Lantas pergi mencari tempat ternyaman untuknya membaca. Karena selama ini dirinya memang belum mempunyai tempat spesial untuk membaca. Namun sepertinya hari ini jadwal membacanya harus sedikit tergeser karena diperjalanan, ia malah dipertemukan dengan seorang anak kecil yang sedang menangis. Dan entah dorongan dari mana, ia bersingut mendekat. Berjongkok dihadapan si anak kecil, menyemakan tinggi. Tepat beberapa detik saat ia menyentuh lengan si anak kecil, sebuah suara teriakan 'pedofil' terdengar bersamaan dengan tubuhnya yang dihantam sesuatu.

Bulan mengaduh kesakitan saat tubuhnya terjerembab. Ia kini menatap ke arah orang yang tadi menendang tubuhnya tepat pada bagian ulu hati, menyebabkan raganya di atas sana sedikit bergoyang. "Apa yang kau lakukan?!" Bulan kini sudah kembali berdiri. Tendangan tadi tidak terasa apa-apa, hanya membuatnya terkejut saja.

"Seharusnya itu pertanyaanku! Apa yang akan kau lakukan kepada anak kecil?!" Orang--yang tampak seperti seorang gadis itu berteriak kearahnya. "Dasar pedofil!"

Tunggu, barusan Bulan tidak salah dengarkan? Pedofil? Ayolah, sejak menjejakkan kaki ke Bumi, ini pertama kaliya ia menyentuh anak kecil. "Sepertinya kamu salah paham," ujar Bulan berusaha menjelaskan. "Aku hanya ingin menolongnya kerena dia menangis sendirian tadi." Tangan Bulan terjulur, menunjuk si anak kecil yang sekarang terhalang tubuh si gadis.

Plak!

Tangan Bulan mendapatkan tamparan keras. "Jangan tunjuk-tunjuk," gadis itu melototkan matanya. "Mana ada pedofil yang mau mengaku!"

Helaan napas Bulan kini terdengar panjang. Ia lelah dan hanya berniat menolong si anak kecil yang menangis. Kenapa sekarang malah harus terjebak dengan perempuan keras kepala mengklaim dirinya sebagai 'pedofil'?

"Kau tidak bisa seenaknya menuduh orang lain pedofil."

"Tentu saja aku bisa!" gadis itu kembali berseru. "Mukamu menunjukkannya. Lagipula tidak mungkin seorang anak kecil menangis dengan sendirinya kan. Aku yakin kau pasti melakukan hal yang tidak-tidak kepadanya."

Rahang Bulan mengeras. Sungguh, rasanya ingin sekali melenyapkan gadis di depannya ini. "Sudahlah. Terserah kau mau beranggapan diriku seperti apa. Aku harus pergi sekarang," kata Bulan. Ia membalikkan badan, tidak lupa mengambil majalah Bobo yang tergeletak dalam keadaan sedikit basah akibat terjatuh tadi.

Bugh!

Belum sempat Bulan melangkahkan kakinya. Tangan kanannya lebih dahulu ditarik, bersamaan dengan sebuah bogeman mentah yang telak mengenai wajahnya. Membuatnya sedikit terhuyung meskipun tidak merasakan sakit. Ia yakin, 'raga'nya di atas sana juga sedang bergetar.

"Apa yang kau lakukan?!" Suara Bulan terdengar. Tidak bernada tinggi bahkan terkesan datar. Namun menyimpan aura wibawanya tersendiri.

Tangan gadis itu yang masih mencengkram pergelangan tangan Bulan kini melonggar. Melepaskannya secara perlahan. Jujur saja, ini pertama kalinya gadis itu merasakan aura wibawa seperti ini.

"Aku tidak bisa membiarkan orang sepertimu pergi begitu saja!" Gadis itu berkata lantang. Meskipun kini suaranya terdengar sedikit bergetar.

Belum sempat Bulan membalas ucapan si gadis. Seorang wanita paruh baya tiba-tiba atang berlari lalu memeluk si anak kecil yang masih setia menangis. "Untung saja ketemu," kata wanita paruh baya tadi, memeluk tubuh si anak kecil yang juga membalas pelukannya. Bukti bahwa mereka saling mengenal.

"Lho, Ivanka belum pulang?" tanya wanita paruh baya itu tepat saat matamya dengan si gadis bertemu.

Si gadis--Ivanka tersenyum canggung. "Iya, tadi ada sedikit masalah," ucapnya, melirik sekilas ke arah Bulan. "Bibi sendiri kenapa masih berkeliaran saat larut malam?" Ya, wanita paruh baya itu adalah Bibi pemilik toko tempatnya mengambil kerja sambilan.

"Ini, keponakan yang baru datang tepat sesaat tadi menutup toko. Dan, dia minta dibelikan makanan di gang depan sana. Eh, enggak tahunya malah hilang tadi," kata Bibi pemilik toko, menggendong keponakannya. "Adek ngga ketakutan, 'kan?"

"Tadi, sempat takut. Teyus (terus) ada kakak ini mau nolong." Si anak kecil menunjuk ke arah Bulan. "Tapi tiba-tiba ada kakak ini yang mayah-mayah ke kakak ini." Kini jemari ini menunjuk ke arah Ivanka dan Bulan secara bergantian. "Kan adek jadi takut."

Bibi pemilik toko menatap ke arah Ivanka dan Bulan secara bergantian dengan raut wajah bingung. Pasalnya, ia memang tidak megerti dengan apa yang di ucapkan oleh keponakannya itu. "Ah, aku harus pulang sekarang. Ini sudah terlalu larut malam. Kalian juga jangan lupa istirahat. Sampai besok Ivanka." Tanpa mengambil pusing omongan keponakannya tadi, bibi pemilik toko segera pamit. Lantas pergi meninggalkan Ivanka dan Bulan dalam keadaan yang sangat canggung, menurut Ivanka.

"Kau sudah tahu bagaimana kebenarannya, 'kan? Tidak semua yang tampak di netra, selaras dengan fakta. Jangan terlalu percaya diri, semesta ini tidak hanya ada Kamu, manusia." Suara Bulan memecahkan suasana hening sekaligus canggung itu. Membuat Ivanka sedikit berjengit kaget.

"Maafkan aku, aku tidak tahu. Itu dikarenakan memang wajahmu yang seperti orang pedofil. Jadi anggap saja aku melakukan kesalahan. Dan mari kita anggap kejadian tadi tidak pernah ada." Ivanka membungkukkan badan. Ia berbicara dengan sangat cepat. "Maaf juga aku tadi melakukan kekerasan kepadamu yang pasti menyakitkan, jadi mari tidak usah bertemu lagi." Belum sempat Bulan menjawab, Ivanka sudah lebih dahulu berlari pergi. Sungguh gadis itu sangat malu sekarang ini.

Hah. Bulan menghela napas. Rasa kesalnya tentu masih ada, tapi gadis yang jadi sumber kekesalannya kini bahkan sudah pergi entah kemana. Jadi Bulan harus bisa menelan kekesalannya sendiri. Ia menatap ke arah 'raga'nya. Menyadari sesuatu.

Sial. Umpatnya pelan. Waktunya di Bumi sudah habis sejak sepuluh menit yang lalu. Dan dirinya bahkan sama sekali belum membuka majalah Bobonya itu. Tanpa pikir panjang lagi, kini Bulan segera kembali ke 'raga'nya. Tak lupa membawa majalah Bobo. Toh, ia kan belum sempat membacanya. Jadi harusnya tidak masalah asal tidak ketahuan.

Bulan hanya tidak tahu, pergerakannya bahkan selalu di awasi oleh Baskara. Ya, sang Matahari memang selalu mengawasi. Dan dia siap untuk melepaskan amarahnya esok hari kepada Bulan.

Bersambung,,,

Reason [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang