Impianmu memang seperti anila dan bayu yang satu. Namun nyatanya seperti nira dan tuba. Ingin menjadi padu, namun terbelenggu takdir individu.
<>~<>~<>~<>Tengah malam telah lewat, kokok ayam jantan mulai terdengar bersahutan. Menandakan fajar yang sebentar lagi akan datang. Ivanka merebahkan diri di atas kasur tipis tanpa dipan miliknya. Lelah fisik yang ia rasakan hari ini entah mengapa lebih terasa dibanding hari-hari kemarin.
"Untung saja tadi aku berhasil kabur dari preman-preman itu," ujarnya bermonolog sambil menatap langit-langit kamar. Ya, dia Ivanka. Seorang gadis yang tinggal sendirian karena tuntutan perkuliahan, gadis yang dikejar dua preman mabuk ketika tengah malam, gadis yang bertemu dengan sesosok 'pedofil'. Ya, dia gadis itu
"Tapi aneh, kenapa orang tadi tidak mau menolongku ya?" Kini, ingatan Ivanka jatuh kepada sesosok orang 'pedofil' yang tidak mau menolongnya. "Sudahlah, lebih baik aku harus istirahat. Untuk apa pula aku memikirkan orang aneh itu. Lagipula, kami tidak mungkin bertemu lagi," lanjutnya.
Dengan setengah memaksa, akhirnya Ivanka berhasil masuk ke alam mimpi. Istirahat. Gadis itu hanya tidak menyadari, bahwa garis takdirnya telah berubah sejak pertemuannya dengan Bulan.
<>~<>~<>~<>
Suasana di kelas mata kuliah kesusastraan itu hening. Hanya terdengar suara gesekan pena dengan kertas dan suara 'klik-klik' mouse dosen pengajar. Pemandangannya juga tak kalah dari kata 'membosankan' hanya ada kepala tertunduk dan raut wajah serius karena para mahasiswa sedang fokus mengerjakan pretest dari dosen pagi ini.
Keheningan itu pecah ketika dosen pengajar berdiri dan memberitahu bahwa waktu untuk mengerjakan sudah habis karena jam pelajaran telah selesai. Para mahasiswa segera mengumpulkan pekerjaannya, mengucap salam, dan segera keluar dari kelas.
Namun, ada satu yang berbeda. Di barisan terdepan, di depan meja dosen persis, ada satu manusia yang dengan pulasnya tertidur dengan buku yang menutup wajahnya. Keriuhan di sekitarnya tidak mengganggu nikmat kegiatan tidak biasanya itu hingga satu bolpoin melayang tepat mengenai wajahnya yang tak terlindung buku. Sontak dia terbangun dan meringis kesakitan.
"Aduh,,, sakit tahu. Nggak lihat ya kalau-" ucapannya terhenti melihat sosok jangkung dosen pengajar berdiri di hadapannya. "Eh, selamat siang Pak Rey," lanjutnya sambil meringis menahan malu dengan cara mengusap keningnya yang memerah.
"Siang. Tadi kalau apa, Ivanka? Lanjutkan," balas Rey sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menatap aneh mahasiswanya ini. Ivanka adalah salah satu mahasiswa aktif di mata kuliah yang diajarnya. Tumben sekali dia tertidur seperti ini.
"Kamu seharusnya tidak dapat nilai pretest , tapi karena ini pertama kalinya Kamu mengacau di kelas saya, nilai kamu saya potong setengah. Setelah jam kuliahmu selesai, ambil soal pretest di meja saya." Ucap Rey lantas merapikan barang-barangnya dan segera keluar kelas.
Ivanka menganga, merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia tertidur di kelas Pak Rey. Satu-satunya kelas yang ia minati karena sangat berguna demi mencapai masa depannya. Sebenarnya semua mata kuliah yang dia ambil sangat berguna, namun kelas Pak Rey adalah kelas paling asik bagi Ivanka. Entah karena tidak pernah membubarkan kelasnya terlambat atau karena pesona Pak Rey sendiri.
"Ivanka, tumben-tumbenan molor di jam Pak Rey. Kamu sakit? Atau kenapa? Nih, makan dulu." Raya, teman dekat Ivanka datang sambil membawa nasi bento dari kantin. Ivanka menghela nafas kasar.
"Aku tidak bisa tidur tadi malam. Sepanjang pagi aku menahan kantuk. Eh, tidak tahunya ketiduran di jam tadi. Mana ada aku 'mengacau' hey, aku tidur dengan tenang. Aarghh hancur sudah impianku menjadi murid teladan Pak Rey," jawab Ivanka frustrasi.
"Pffttt,,, hahahhaha. Sudah-sudah. Ini, spesial untuk putri tidur baru kita, aku yang traktir." Ucap Raya sambil mendekatkan bento milik Ivanka.
'Kruyyuukk,,,kruyuk." Ivanka meringis, suara perutnya mewakili ucapan terima kasih untuk Raya. Setelah itu, mereka makan dengan tenang.
"Ah, siang nanti bukankah jadwalmu kerja di resto keluargaku?" tanya Raya yang hanya di jawab angukan singkat dari Ivanka.
"Aku ingin ikut!"
"Untuk apa? Bukankah kamu udah sering kesana?" tanya Ivanka heran.
"Ingin mencoba bekerja sepertimu. Aku bosan dirumah. Lagipula mom sudah mengizinkan kok." Jawaban dari teman dekatnya ini membuat Ivanka menepuk jidatnya sendiri. Bagaimana bisa ada orang yang bosan malah menghibur diri dengan bekerja? Temannya ini memang ajaib.
Mata kuliah Ivanka telah selesai untuk hari ini, dan seperti yang diperintahkan Pak Rey, dia harus mengambil soal pretest tadi di meja beliau. Dan tentu saja Raya ikut dengannya, karena mereka akan pulang bersama. Lebih tepatnya menuju restoran milik keluarga Raya bersama.
Tepat saat sampai di pintu masuk ruangan dosennya. Perasaan 'nerveous' datang. Bagaimanapun juga, Pak Rey merupakan salah satu dosen idola di kampus. Dengan tampang lumayan dan cara mengajar yang menyenagkan. Membuat beliau mempunyai banyak penggemar, dan Ivanka adalah salah satunya.
"Udahlah. Ketok aja napa sih? Grogi banget mau ketemu sama doi." Ivanka menatap Raya dengan tatapan tajam. Kesal.
"Permisi," ucap Ivanka sembari mengetok pintu. Ia diam ditempat, menunggu ucapan 'silakan' dari dosen favoritnya. Satu detik, dua detik, tak ada balasan. Akhirnya ia memberanikan diri membuka pintu ruangan.
Kosong. Tidak ada Pak Rey disana.
"Yah, udah ditunggu, si doinya malah ngga ada. Impianmu memang seperti anila dan bayu yang satu. Namun nyatanya seperti nira dan tuba. Ingin menjadi padu, namun terbelenggu takdir individu," goda Raya. Sempat-sempatnya dia menyelipkan sajak.
Ivanka segera masuk dan mengambil satu lembar soal, lantas segera pergi. Meninggalkan Raya yang kini mengejarnya sambil meminta maaf. Yah, dia harus segera menuju ke tempatnya bekerja, atau dia akan terlambat.
Bersambung,,,
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason [End]
FantasyBumi selalu indah. Entah itu di mata para makhluknya ataupun di mata langit sana. Siapapun pasti akan meyakini hal itu, tak terkecuali Bulan. Dia selalu memandang bumi dari atas sana sambil tersenyum dan berangan dapat menginjakkan kaki ke sana. Ent...