3. Tugas

71 20 12
                                    

Alasan mengapa mereka diciptakan, bukan sekadar hiasan atau ajang pembuktian, namun menjaga segala takdir makhluk-Nya dari kekacauan.

<>~<>~<>~<>

Fajar kali ini, Bulan sudah siap di singgasana 'pengatur' nya. Dia mendengar kabar dari Matahari bahwa hari ini adalah puncak musim panas di Khatulistiwa. Solar yang akan dihasilkannya mungkin akan sedikit berlebihan, mungkin akan sedikit melelehkan Gelembung semesta, melonggarkan pasak masing-masing  bintang dan sekat langit. Mau tidak mau, Bulan harus mengerahkan sihirnya dengan sungguh-sungguh agar bintang tetap di tempatnya.

Mungkin kalian bertanya-tanya bagaimana sistem langit bekerja. Mudah saja. Pada saat itu, semesta belum seperti sekarang. Matahari dan Bulan masih berjaga bergantian, tidak bersamaan seperti sekarang. Ketika Matahari bertugas, maka sianglah semua, begitu juga sebaliknya. Tanpa tahu apa itu saling berotasi, inti dari segalanya, Bumi 'Dewi'nya.

Bintang-bintang di langit berada dalam Gelembung Semesta. Tempat menunggu para Bintang sebelum jatuh ke Bumi dan mengabulkan harapan. Mulut gelembung ada di sebrang atmosfer bumi. Dan di antara keduanya, ada sekat dan juga Sang Pengatur. Bulan, berada di posisi Sang Pengatur, dimana tugasnya ialah memastikan bintang-bintang jatuh sesuai jumlah, bentuk, dan waktu yang telah ditentukan. Ketika malam hari, sihir Bulan kuat. Maka dipastikan sekat itu juga kuat dan tidak akan ada kesalahan. Namun, siang adalah teritorial Matahari. Dimana sihir Matahari sangat kuat. Pancaran panasnya dapat melelehkan Gelembung Semesta dan jika sekat tidak kuat menahan, bisa mengakibatkan Bintang jatuh dengan jumlah yang sangat banyak dengan bentuk yang tidak semestinya. Kalau sudah seperti itu, apa kabar Bumi? Maka, jiwa Bulan harus selalu di dalam raga nya untuk saling menguatkan sekat.

Apakah raga dan jiwa Bulan terpisah? Tentu saja tidak!

Mereka adalah satu kesatuan yang utuh. Hanya saja, jiwa lebih istimewa karena harus bisa menyesuaikan rupa dengan tugas penjagaannya. Secara garis besar, semua planet di semesta ini adalah Sang Penjaga. Kini, mereka berada di semesta yang menjaga manusia. Maka, jiwa dari setiap planet dapat menjelma menjadi manusia.

Hari beranjak pagi. Bulan bisa melihat di seberang sana, Matahari semringah menyapa. Perlahan-lahan, sinar Matahari menyelimuti kerajaannya di permukaan. Bulan masih sedikit santai karena hari masih pagi. Namun, Kerajaannya tiba-tiba terasa panas di permukaan. 'Ada apa?'

Bulan memutuskan untuk keluar, mengecek permukaan. Berdirilah sesosok manusia berpendar terang dan panas dengan tampilan serba merah. Bulan mengembuskan nafas kesal. Dia Baskara, jiwa dari Matahari

"Pagi yang cerah, Bulan!"

"Ck, kau selalu menyebarkan aura menyebalkan, Matahari. Kau mengganggu kesibukanku. Pergi sana," usir Bulan. Mereka tidak pernah akur semenjak Bulan menggantikan posisi Pluto. Alasannya? Sederhana.

'Matahari tidak suka Bulan Karena Bulan tidak cantik'

Baskara terkekeh. "Baskara. Aku Baskara, Bulan. Matahari sedang bekerja. Yah, sekali-kali seriuslah ketika sedang bertugas. Kau pikir ini main-main?" Ucap Baskara sambil berjelan mendekati Bulan. " Bulan, kamu masih seujung kuku di semesta ini. Jangan berani menantang takdir atau Kau sendiri yang akan mendapat karma," lanjutnya sembari menepuk-nepuk pundak Bulan. Bulan mengernyit, apa maksudnya?

Jika dilihat sekarang, mereka sangat kontras. Bulan dengan segala ke'abu-abu-perak'nya yang menenangkan dan Baskara dengan semua ke'merah-oranye'nya yang memeriahkan. Setelah bersitatap sejenak, Baskara pamit. Mau mengawasi kerja planet lain, katanya. Ya, Matahari adalah Ketua Semesta. Selain mengemban tanggung jawab sebagai sumber utama panas dan cahaya, Matahari juga pusat orbit langit di semesta ini yang harus mengawasi tugas-tugas Para Penjaga.

"Satu lagi, Bulan. Jangan kecewakan Gaea karena memilihmu," kata Baskara lantas setelahnya lenyap, meninggalkan sisa asap sebentar di permukaan Bulan. Panas. Itulah yang dirasakan Bulan di pundaknya. Pakaiannya bahkan sedikit berasap, berbau 'setrika panas.'

Bulan berjalan ke pinggir. Ke tempat di mana dia bisa memandang Bumi sepuasnya. Bumi yang indah namun rapuh, Bumi yang berharga dan sangat ketat dijaga, Bumi tempat bersemayam Gaea, nama dari jiwa Bumi. Sejatinya, Bumi lah yang paling pertama tercipta di semesta ini. Namun, Gaea harus menyerahkan jiwa sepenuhnya untuk melaksanakan tugasnya sebagai inti dari Bumi. Inti dari nyawa manusia, inti dari benih-benih plantaea, inti dari segala fauna. Dia tidak bisa mewujud manusia dengan seenaknya, karena ia tidak bisa meninggalkan singgasana tanpa mengorbankan nyawa makhluk semesta. Sehingga dia meminta kepada Penguasa Langit untuk memberinya Para Penjaga. Ya, begitu juga dengan Sang Pengatur. Pluto telah melanggar larangan langit. Maka Gaea harus mengusulkan nama baru. Itulah alasan mengapa mereka diciptakan. Bukan sekadar hiasan atau ajang pembuktian, namun menjaga segala takdir makhluk-Nya dari kekacauan. Namun mengapa Bulan? Mereka tidak akan pernah tahu selain telah selesai menjalankan tugas.

<>~<>~<>~<>

Benar seperti kata Baskara, di tengah hari, Gelembung Semesta bereaksi sedikit mengkhawatirkan. Pasak Bintang juga bergoyang-goyang. Bulan mengerahkan sihir hingga level mediumnya untuk menjaga sekat agar tetap menutup erat. Memang hanya berlangsung 30 menit, namun cukup membuat Bulan kelelahan. Menjelang petang, Bulan dapat beristirahat dengan tenang. Gelembung Semesta dan Pasak Bintang sudah stabil, sekat juga sudah tersihir dengan sempurna.

"Haah," Bulan mengembuskan nafas lelah. Baginya, ini pertama kalinya dia seserius ini menjadi Sang Penjaga. Di semesta sebelumnya, dia tak dianggap begitu penting. Mungkin bisa dikatakan dia hanya menjadi sosok 'penonton.' Bulan sudah memutuskan, malam ini dia akan mengunjungi Bumi. Dia sudah rindu dengan majalah Bobo pinjamannya. Pasti sudah ada edisi terbarunya.

Ah, tiba-tiba terpikirkan olehnya untuk mencari nama. Beberapa tahun belakangan ini, Sang Penjaga seusianya sudah memiliki nama 'fana' masing-masing. Ya, nama fana untuk jiwa mereka yang juga fana. Entahlah, Bulan tidak terlalu mengerti. Benar kata Baskara, dia belum menjadi apa-apa di semesta-Nya.

<>~<>~<>~<>

Bulan merenung di permukaan. Dia bosan, ingin sekali berkunjung ke Bumi. Sialnya, di sana sedang hujan deras dan badai. Bulan hanya diizinkan turun ketika raga nya nampak dari Bumi. Karena, jika raga nya tidak tampak, jiwa nya tidak bisa mengendalikannya. Salah-salah, nanti bergerak pada tempatnya. Bahaya. Apalagi jika berpotensi merusak sekat.

Pikirannya melayang-layang hingga sesosok jiwa mendarat di hadapannya. Dia wanita cantik dengan balutan gaun "Aquamarine" panjang dan kepang panjang rambut hitamnya. Dia Aqua, jiwa Neptunus. Tumben sekali dia ke sini.

"Eh, Aqua?" Yang disapa mengangguk sopan. "Tumben sekali berkunjung. Ada masalah?" Lanjut Bulan.

"Ah, tidak. Aku hanya sebentar. Bulan, jangan sekali-kali bertindak bodoh. Karma itu nyata," Jawab Aqua lantas pergi begitu saja.

"Cih, Aqua dan Baskara memang pasangan serasi yang menyebalkan," decih Bulan lantas tenggelam bersama pikirannya kembali.

Bersambung,,,

Reason [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang