18. Kampus

18 8 0
                                    

Aku pernah mendengar
Tentang rahasia-rahasia fana
Yang tergenggam di keluk-keluk asa

<>~<>~<>~<>

"Selamat pagi Ivanka," sapa Bulan ramah lengkap dengan senyum sejuta pesonanya kala mendapati Ivanka yang kini telah berpakaian rapi, hendak berangkat ke kampus.

"Hah?!" Berbanding terbalik dengan wajah Bulan yang cerah, Ivanka malah terkejut mendapati manusia aneh itu kini duduk tepat di depan pintu kost nya.

"Ngapain kamu di sini?!"

"Ya, nungguin kamu lah," jawab Bulan acuh tak acuh.

"Sejak semalem kamu ada di sini?!"

"Iya."

"Tidur di sini?!"

"U huh."

"Ha?!"

"Hm?"

"Ngga kedinginan gitu?!"

"Enggak."

"Kamu gila?!"

"Belum, mungkin."

Ini masih pagi dan rasanya kepala Ivanka sudah pening. Oh ayolah, mana ada manusia sehat yang tidur di pelataran kost di musim hujan seperti ini? Dan apa tanggapan tetangga kostnya yang lain jika melihatnya? Ivanka menepuk jidatnya.

"Orang gila. Minggir, aku mau kuliah," usir Ivanka karena sedari tadi Bulan masih setia duduk di depan pintu.

"Ikut!" Seru Bulan bersemangat. "Aku nunggu kamu soalnya mau ikut kamu ke kampus."

Mata Ivanka memperhatikan Bulan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Lantas menggeleng. "Kamu akan menyita banyak perhatian orang. Sebaiknya kamu menunggu saja di sini."

"Ngga, janji deh ngga bakal menarik perhatian."

Bagaimana mungkin orang-orang tidak memperhatikan jika penampilan orang aneh di depannya ini saja begitu keren?! Rambut panjang keperakan yang di kuncir asal, wajah tampan yang definisi tampannya tidak bisa di gambarkan, dengan baju aneh uniknya acak-acak yang menambah kesan sexy.

"Ngga boleh ikut," ucap Ivanka.

"Ayolah .... Aku penasaran dengan dunia perkuliahan."

"Nggak." Ivanka melangkahkan kakinya. Namun tangan kanannya di cekal kuat oleh Bulan.

"Boleh ya, please ...."

Dengan menghela napas berat, Ivanka menoleh.

"Oke, kasih tau aku namamu." Mendengar syarat dari Ivanka Bulan nampak berpikir. Dia belum memilih nama fananya. Bulan menatap manik Ivanka lama. Ivanka nampak salah tingkah sebelum akhirnya Bulan menggeleng.

Seperti yang sudah Bulan duga, Ivanka memasang wajah dongkolnya. "Fix, sana minggir."

"Van .... jangan jahat sama aku, nanti aku kasih tau beneran." Bulan menatap Ivanka dengan penuh harap. Dia tidak mau penantian semalamannya sia-sia hanya karena nama.

Merasa tidak ada pilihan lain, dengan berat hati Ivanka mengangguk. "Iya deh iya. Awas ngerepotin, lenyap Kau dari hadapanku!" Ancam Ivanka sembari melepaskan cengkeraman Bulan dari tangannya.

Mata Bulan terlihat berbinar lantas segera berdiri dan merapikan bajunya yang menurut Ivanka tidak berpengaruh apa-apa.

"Rambutnya rapiin dulu gih."

"Nggak usah, udah ganteng 'kan?" Jawab Bulan percaya diri. Ivanka melengos namun menjawab iya dalam hati. Setelah mengunci pintu, mereka berjalan menuju halte bus. Entahlah, Ivanka tidak tahu akan seperti apa hari ini.

<>~<>~<>~<>

"Van! Ngelamun mulu! Woi!" Ivanka tersentak lantas memegang telinganya.

"Asli! Kupingku bisa budeg!" Bagaimana tidak? Orang tadi—Raya berteriak tepat di telinganya.

Raya hanya tertawa lantas menarik kursi dan duduk di depan Ivanka. "Jelek banget mukanya. Mikirin apa lagi sekarang?"

"Nggak ada kabar-kabar apa gitu di kampus?" Tanya Ivanka hati-hati. Siapa tahu cowok yang ia bawa sudah menviptakan keributan.

Ya, selepas turun dari bus, Bulan memilih berpisah dari Ivanka. Katanya, dia ingin berkeliling kampus tanpa mengganggu kelas Ivanka. Padahal itu menjadi beban pikiran untuk gadis itu karena Ivanka tidak bisa mengawasinya.

"Kabar apa?" Tanya Raya tak mengerti.

"Syukurlah ... Nggak, nggak apa-apa. Takutnya aku kudet kabar apa gitu kek." Raya menatap aneh sahabatnya. "Nggak jelas." Lantas segera pergi keluar tanpa mengatakan apapun. Sementara Ivanka hanya diam, Raya memang suka berkata dengan nada yang sedikit ketus. Namun bukan berarti gadis itu marah kepada dirinya.

"Efek laper tuh," gumam Ivanka.

<>~<>~<>~<>

Jam kuliah Ivanka sebenarnya sudah selesai sejak 20 menit yang lalu. Hanya saja, gadis itu masih setia duduk di bangkunya.

"Van, kamu beneran masih sibuk apa?" Suara Raya membuat Ivanka mengangkat kepalanya yang memang menunduk, sibuk memandangi buku.

"Iya, masih ngerjain tugas ini," Ivanka menyahut. "Kalo kamu mau pulang ya pulang aja."

"Ih, kan aku mau ke resto bareng kamu."

Ivanka mengangkat buku yang tadi ia baca. Wajahnya seakan mengatakan aku masih lama. Membuat Raya mendengus kesal.

"Ya udah, aku duluan ke resto." Raya menghentakkan kakinya sembari pergi keluar kelas.

"Aku izin nelat Ray!!!" Sejujurnya, tugas Ivanka telah selesai sedari tadi. Namun, ia masih harus menunggu Bulan.

"Kemana pula cowok aneh itu," geram Ivanka sembari merapikan barang-barangnya.

"Ivanka!!!! Kampusmu keren bangeeeeetttt!!! Aku pengen kuliah di sini juga!!!" Teriakan terdengar dari pintu masuk. Ivanka menoleh, ini lah biang masalahnya. Di sana terlihat pemuda berambut pajang keperakan dan baju kebesarannya membawa sebuah buku tebal yang tampak tua terlihat dari pinggiran kertasnya yang sudah menguning. Tentu saja dia Bulan.

"Bagus, nggak tau waktu ya. Aku kan udah bilang jangan ngilang-ngilang!" Teriak Ivanka lantas berjalan ke arah pemuda itu.

"Dari mana aja?!" Tanya Ivanka tidak santai. Dia kesal karena jujur, dia lapar.

"Galak banget. Aku di perpustakaan dari tadi. Nih, aku pinjem satu buku," jawab Bulan sembari menunjukkan sampul buku Dongeng-dongeng dari Langit. Maklum Bulan akan memilih tempat itu karena perpustakaan adalah tempat tersejuk di seantero kampus.

'humm di perpus ya, pantes nggak bikin heboh. Tapi apa-apaan buku yang dipinjamnya itu?' batin Ivanka.

"Terus, kamu mau kerja?" Tebak Bulan. Ivanka mengangguk.

"Nggak usah ikut," sahut Ivanka cepat seperti bisa menebak arah pikir pemuda di depannya. Lihat saja, cengiran lebar sudah terpampang di wajah tampan cowok aneh itu.

Bukan Ivanka membenci Bulan, hanya saja dia tidak suka menjadi sorotan karena penampilan rekannya ini. Di kampus memang masih ada celah untuk bersembunyi namun hal tidak berlaku di restoran.

Setelah mengatakan itu, Ivanka cepat-cepat berlalu dari hadapan Bulan dan dengan tega meninggalkannya.

"Nanti malam saja minta maafnya." Ivanka bermonolog sembari memasuki bus menuju restoran orang tua Raya.

Masih di depan kelas Ivanka, Bulan tersenyum. Menurutnya, Ivanka adalah gadis yang sangat menarik, tidak gampang ditebak, dan bisa dipercaya. Buktinya, dia menunggunya kembali sebelum pulang.

"Sepertinya aku tidak menyesali pengusiran ku," gumamnya sembari melihat buku yang ia genggam lantas berlari menuju kerumunan dengan tujuan restoran.

Bersambung....

Reason [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang