Usai subuh tadi Serena sudah bersiap untuk memulai aktivitas di dapur, akan tetapi Andara melarangnya dengan tegas dan menyuruhnya untuk istirahat. Jadilah ia kembali ke kamar dan entah kapan ia terlelap.
"Kangen banget sama, Mas." Gumamnya masih memejamkan mata, ia bahkan terisak pelan. "Pelukannya terasa nyata."
Ini baru tiga hari dua malam ia berpisah dengan suaminya itu, namun kerinduan seolah setahun. Haus akan kerinduan seperti merindukan embun di tengah padang pasir, ketidaknikmatan yang harus dinikmati. Jika saja waktu dapat diputar, Serena pasti tidak akan menolak ajakan Rehan untuk ikut bersamanya. Ia pikir akan baik-baik saja ditinggal kurang dari seminggu. Nyatanya, baru tiga hari berlalu ia hampir tidak bertahan akan dahaga yang menyiksa.
Sebenarnya Rehan hanya dua hari di sana, namun ternyata waktu terulur hingga hari ketiga. Hal ini semakin menambah rasa sesal Serena semakin besar. Tanpa sadar isak tangis semakin menjadi-jadi.
"Hei, kok nangis, hm?" Seketika tangis itu berhenti. Serena terdiam sejenak mencoba untuk meyakinkan diri bahwa suara tersebut hanyalah mimpi.
"Suaranya aja sangat nyata." Gumamnya yang malah mengeluarkan tangis yang cukup keras.
"Sayang, buka matanya. Mas di sini." Gumam suara tersebut yang tidak asing lagi di telinga Serena. Usapan lembut jari terasa di pipi Serena yang seketika memerah.
Perlahan Serena membuka matanya, ketika tatapannya bertemu dengan sorot mata hangat milik suaminya ia justru kembali terisak. Rehan yang melihatnya semakin gemas, ingin sekali ia memeluk istrinya dengan erat. Namun ia teringat perut Serena yang semakin bertumbuh, di dalam sana bersemaya buah hati mereka.
Tak ada yang mampu perempuan tersebut ucapkan melainkan tangisnya yang masih bertahan. Rehan membawa Serena dalam dekapan, tangannya mengusap dengan lembut air mata yang terus menganak sungai. Ia mengecup sekilas sudut bibir sang istri, lalu kembali memeluknya sambil pelan-pelan mengusap punggung yang terasa pas dalam rengkuhan hangat. Ada kerinduan yang membuncah pada keduanya, kerinduan yang tidak akan pernah cukup jika diungkapkan dengan kata.
Tangis Serena sudah mulai mereda, namun ia seakan enggan untuk sekedar bergerak saja. Keduanya masih dalam keterbungkaman, mengambil waktu sejenak untuk saling meresapi kehadiran masing-masing. Menegaskan bahwa mereka kini tidak lagi dipisahkan oleh jarak, bahwa mereka kini hadir secara nyata bukan dalam bayangan mimpi semata.
Meskipun Serena tidak lagi terisak, namun air mata Serena belum benar-benar berhenti. Kaos yang di kenakan Rehan sudah basah.
"Cukup nangisnya, ya, sayang." Bisik Rehan pelan. Ia menunduk, menyatukan keningnya dengan Serena. "Tahu apa yang paling buat Mas sakit?" Tanya Rehan.
Serena menggeleng, ia masih enggan untuk bersuara.
"Itu adalah air mata ini." Katanya sambil mengusap rahang istrinya. Rehan tidak bohong jika hatinya terasa nyeri saat tadi Serena tanpa sadar terisak dan bergumam pelan yang menggambarkan kerinduan wanitanya. Ia sangat terenyuh, mendapati bahwa Serena ternyata juga merasakan hal yang sama. Rehan pikir bahwa Serena baik-baik saja, karena ketika ia dan Serena mengobrol melalui telepon suara dan raut wajah istrinya menunjukkan bahwa Serena baik-baik saja walaupun sesekali Serena memelas sambil berucap rindu.
Tak jarang ia menanyakannya diam-diam kepada Ghea dan mamanya. Mereka berdua bahkan mengatakan bahwa istrinya itu sangat bahagia. Ingatkan Rehan untuk memotong gaji Ghea selama tiga bulan ke depan. Untung saja ia tidak mengambil hati balasan chatnya dengan kedua perempuan itu.
"Mas kapan pulangnya?" Tanya Serena, ia kemudian mengecup sudut bibir Rehan sebelum ia kembali ke dalam hangatnya dekapan sang suami.
"Tadi, Mbak istri tidurnya lelap banget." Rehan membelai rambut istrinya dengan penuh kasih.
"Tidur lagi, ya, sayang." Pinta Rehan, karena ia sendiri kurang tidur sejak 3 hari lalu. Bagaimana ia bisa tidur dengan nyaman sementara istrinya tidak dalam jangkauan. Lagipula Rehan tahu jika selama hamil istrinya ini mudah sekali tertidur.
Serena mengangguk menyetujui.
"Belum ada ingin sesuatu, yang?" Tanya Rehan masih berharap istrinya akan meminta apapun. Serena kembali menggeleng untuk kesekian kalinya.
Perempuan itu kemudian merubah posisinya menjadi terlentang. Ia menyingkap baju kaos milik Rehan yang sengaja ia pakai sampai sebatas atas perut--membiarkan perutnya yang sudah mulai besar terlihat.
Rehan yang tadi sudah memejamkan mata mengangkat alisnya. Ia baru menyadari jika Serena memakai kaosnya, terlihat kebesaran di tubuh Serena yang mungil. Seolah mengerti, Rehan perlahan menyentuh perut tersebut--membelainya dengan teramat lembut seakan perut itu adalah kaca tipis yang sangat sensitif. Ia kemudian bangkit untuk memberikan kecupan hangat untuk anak-anak mereka di dalam sana sambil bersholawat.
Benar, bukan? Serena sekarang sudah kembali masuk dalam dunia mimpi. Sementara niat Rehan untuk tidur pagi ini menguap begitu saja, ia lebih memilih memandangi wajah polos Serena yang tak pernah bosan ia lakukan.
"Semoga kalian sehat terus, ya, sayang." Gumam Rehan pelan, ia mengecup kening Serena dan menarik Serena untuk kembali dalam pelukan. Sebelah tangannya menggantikan peran bantal di bawah kepala istrinya.
***
Pasca mandi bersama pukul 11 tadi, Rehan sudah tampil dengan wajah yang lebih segar. Tentu saja, asupan energinya sudah kembali. Ia menyanggah kepala dengan sebelah tangannya menjadi tumpuan di atas meja, memperhatikan gerakan sang istri yang begitu cantik bahkan di balik apron. Serena sedang memanaskan makanan yang sudah di persiapkan oleh mertuanya pagi tadi.
Dibandingkan dengan sarapan Serena memilih bertahan dalam rengkuhan Rehan. Sehingga pagi menjelang siang inilah mereka sarapan sekaligus makan siang.
"Berhenti liatin kayak gitu." Kata Serena menutup setengah wajahnya dengan lengan karena malu, wajahnya sudah memanas sejak tadi. Entah seberapa merah pipinya saat ini.
"Aduh, matanya Mas nggak bisa jauh dari mbak istri." Rehan melemparkan gombalan sambil mengerlingkan sebelah matanya untuk Serena.
"Maaasss!" Protes Serena memelas. Wajahnya semakin panas saja, sementara jantungnya sudah berdetak ta karuan.
Rehan terkekeh pelan, "Mbak istri tahu nggak? Hotel kita jadi tuan rumah untuk agenda konferensi beberapa negara. Padahal sebelumnya sudah dua kali nggak tembus."
"Alhamdulillah. Rejekinya mas tahun ini."
"Bukan, itu rejeki mbak istri dan anak-anak." Sanggah Rehan.
Serena tersenyum, kemudian tanpa di duga ia mengecup sekilas pipi Rehan. Namun setelahnya ia berdiri tegak sambil memegang lehernya--memegang benda yang melingkari lehernya dengan liontin huruf S dan R yang tersusun.
"Mas?"
"Gimana? Suka?"
Serena mengangguk senang bercampur haru. "Terima kasih, Ya Habibi."
Kali ini wajah Rehan yang memanas karena ucapan manis dari sang istri. Ia kemudian menarik Serena, memeluknya erat sambil mengecup pucuk kepala perempuan tersebut berkali-kali.
Mereka tak menyadari jika seseorang di sana melihat interaksi keduanya dengan tatapan sendu yang sarat akan bahagia. Setelah apa yang terjadi di masa lalu, Andara selalu takut jika anaknya itu memiliki trauma dengan pernikahan. Tapi ternyata ia salah. Anaknya kini berbahagia dengan perempuan yang juga menjadi pilihannya. Alhamdulillah.
***
Selesai?
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING Art
RomanceBeberapa orang mengatakan bahwa nikah itu enaknya 5%, sedangkan 95% enak banget! Rehan membenarkan hal tersebut. Pada akhirnya Serena adalah takdirnya, menjadi tempatnya berpulang. Menjadi tempat ia menangis ketika sedih, tempat tertawa ketika ia ba...