Serena terus menatap televisi yang menyala di depannya tanpa minat. Sebelah tangannya memindahkan channel untuk mencari acara yang mungkin membuatnya tertarik. Karena bosan, akhirnya ia hanya merubah posisi menjadi berbaring di sofa, sedangkan tv yang tadi menyala kini sudah senyap tak menampilkan apa-apa.
Ingin sekali ia merecoki Rehan yang sedang menekuni berbagai macam berkas di ruang kerjanya. Niat hati Serena akan membantu, tapi Rehan sama sekali tak mengizinkannya. Alasannya nanti Serena lelah dan capek. Serena mencebikkan bibir sebal mengingat Rehan yang melarang keras dirinya tadi untuk menyentuh tumpukan kertas yang laki-laki itu bawa dari kantor.
Malam semakin dalam, namun nampaknya Rehan masih betah berada dalam sana. Dari sofa yang ia tempati, Serena dapat melihat pintu ruang kerja suaminya masih tertutup, belum ada tanda-tanda laki-laki itu akan keluar.
Baru saja ia akan memejamkan mata, niat tersebut urung untuk dilaksanakan. Suara pintu terbuka membuat mata Serena terbuka lebar.
Rehan berucap syukur karena tumpukan pekerjaannya akhirnya terselesaikan, setidaknya untuk hal-hal penting dan dikejar deadline. Ada gurat lelah di wajah tampannya yang tak bisa ia sembunyikan. Rehan mengedarkan padangannya, kemudian berhenti pada sosok yang kini menatapnya dengan penuh makna. Seketika lelah yang tadi mendera menguap begitu saja. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman.
Dari tatapan meneduhkan itu saja, lelah Rehan menghilang. Apalagi kalau lebih--Rehan menggelengkan kepala mengusir pikiran usil yang hinggap. Tanpa buang-buang waktu ia mendekati Serena yang sedang berbaring di sofa. Senyum Rehan semakin lebar, sadar bahwa Serena sedang dalam mode sebal.
Tanpa disuruh Serena sudah merubah posisinya menjadi duduk. Ia menggembungkan pipinya semaki menggemaskan, menunduk menatap jemarinya.
"Marah?" Tanya Rehan mengangkat dagu Serena hingga tatapan mereka kembali bertemu. "Maaf." Ucap Rehan pelan hampir berbisik. Namun senyum di bibirnya tak juga pudar, tangannya kemudian menjawil hidung Serena dengan gemas.
Tidak sakit memang, namun berhasil mengusik pertahanan Serena. Bibir perempuan tersebut berkedut menahan senyum. Rehan seolah tak mau kalah, kemudian ia menggelitik pinggang Serena hingga semburan tawa keluar dari bibir Serena.
"Masih marah?" Tanya Rehan berhenti sejenak dari kegiatannya menggelitik Serena.
"Nggak marah, cuma ngambek saja." Jawabnya di sela-sela tawa.
Rehan tak berucap lagi, ia menarik Serena dalam pelukan. Menenggelamkan wajahnya di lekukan leher sang istri, menghidu dalam-dalam aroma yang begitu ia rindukan setelah seharian tenggelam bersama berkas-berkas yang butuh perhatian.
"Mas mau charge energi dulu." Kata Rehan ketika pergerakan Serena terasa hendak menguraikan pelukan. Parfum Serena selalu sukses menggodanya.
Serena hanya menuruti, ia membalas pelukan Rehan sambil mengusap penggung suaminya. Selalu ada untaian do'a dalam setiap usapan yang ia berikan.
Ya Allah, berilah kesehatan dan keselamaan untuk suamiku,
Berkahi setiap pekerjaan yang ia lakukan,
Jadikan lelahnya sebagai pemberat amalan baik di akhirat-Mu kelak.
Jadikanlah aku sebagai istri yang berbakti,
Dan tetapkan kami dalam jalan ketakwaan kepada-Mu, Ya Allah, Tuhan semesta alam. Aamiin.Serena melakukan hal yang sama dengan Rehan, menghidu aroma suaminya. "Yakin cuma mau peluk saja?" Tanya Serena iseng yang hanya berupa bisikan kecil di telinga Rehan.
Rehan menarik diri dari pelukan, seketika membuat Serena merasa kehilangan. Tatapan Rehan menelisik wajah Serena yang kini sudah merona merah. Pertanyaan Serena barusan seperti bentuk penawaran bagi Rehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING Art
RomanceBeberapa orang mengatakan bahwa nikah itu enaknya 5%, sedangkan 95% enak banget! Rehan membenarkan hal tersebut. Pada akhirnya Serena adalah takdirnya, menjadi tempatnya berpulang. Menjadi tempat ia menangis ketika sedih, tempat tertawa ketika ia ba...