Serena langsung merebahkan dirinya di atas ranjang king size yang begitu menggoda. Badannya terasa remuk redam setelah melalui perjalanan panjang sampai akhirnya bisa mendarat dengan selamat di kota yang konon dikenal sebagai kota romantis.
Matanya yang hampir redup mengikuti pergerakan Rehan yang tengah sibuk mengatur baju-baju mereka di lemari. Ia menghela nafas pelan saat teringat bahwa ia belum mandi. Jika saja ia tidak ingat Rehan, suaminya, ia tidak akan mandi dan memilih untuk berkelana ke alam mimpi. Namun, suaminya adalah yang paling indah dibandingkan dengan mimpi belaka.
Serena hendak beranjak dari tidurnya ketika Rehan datang bergabung. Ia meletakkan kepala di bantal yang sama dengan sang pujaan hati. Sementara ia menjadikan lengannya sebagai bantal untuk sang istri. Sebelah tangannya yang bebas mengusap pelan permukaan perut Serena yang buncit.
"Aku belum mandi, Mas." Kata Serena, kecil.
"Mandinya nanti aja bareng Mas. Sekarang istirahat dulu." Kata Rehan elbut seperti biasa.
"Mandi plus-plus?" Tanya Serena polos.
"Kok pertanyaanya gitu. Emang Mas pernah mandi plus-plus?" Ujar Rehan, namun wajahnya sudah memerah karena malu.
"Harusnya pertanyaannya ganti jadi 'emang pernah Mas tidak mandi plus-plus?'. Harusnya begitu."
"Kan itu selesai mandi, Sweetheart." Ucap Rehan.
"Tapi setelah itu mandi lagi." Ucap Serena tidak mau kalah.
Wajah Rehan memerah, ia semakin mengeratkan pelukan pada sang istri karena gemas. "Jangan dibahas lagi." Bisik Rehan. Sementara Serena terkikik geli melihat Rehan malu.
"Besok jalan-jalan kemana saja, Mas Suami?" Tanya Serena memainkan tangan Rehan.
"Kemana saja Mbak Istri mau. Mas layani dengan sepenuh hati." Jawab Rehan diplomatis. Matanya sudah terpejam, namun Serena tahu suaminya belum tidur.
"Mas kenapa matanya dipejamkan? Emangnya mbak istri nggak menarik lagi?"
Rehan otomatis membuka mata, ia bertemu tatap dengan sang istri lalu menghujami perempuan tesebut dengan kecupam-kecupan mesra. "Mbak istri sangat menarik. Menarik dari apapun yang ada di dunia ini. Makanya mbak istri jangan tinggalin Mas, ya, nanti semangat mas buat hidup ikut hilang juga."
Serena tertawa, "Mas tuh yang harus ingat. Mas dilarang keras ninggalin Mbak istri. Nanti mbak istri nangis."
"InsyaAllah, sweetheart."
***
Sepanjang jalan, tidak sedikit Serena menggumam ketakjubannya pada deretan gedung tua bergaya eropa yang membentang di jalan yang mereka lalui. Mereka sengaja tidak memakai transportasi apapun agar supaya dapat menikmati makna setiap langkah dari kedatangan mereka ke kota tersebut.
Serena sesekali berpose ketika menemukan objek yang menurutnya menarik dan Rehan dengan senang hati menuruti kemauannya untuk di fotokan. Bahkan mereka tak segan meminta bantuan pejalan kaki lain untuk mengambil foto mereka manggunakan camera yang dibeli Rehan saat mereka melewati salah satu toko elektronik yang menjual benda tersebut. Keduanya berjalan bergandengan tangan, sambil mengayunkannya layiknya anak kecil dengan ayahnya.
"Capek nggak?" Tanya Rehan saat mereka duduk di salah satu cafe es krim yang cukup terkenal tidak jauh dari icon kota yang menjulang tinggi.
Serena menggeleng. Semangat yang tadi membara kini sedikit redup. Rehan sedikit terheran dengan perubahan istrinya.
"Kok melamun? Coba bilang sama mas." Katanya pelan sambil mengelus punggung tangan istrinya.
Perempuan itu menatap es krim dan suaminya bergantian, menimbang perkataan yang hendak ia ucapkan. "Mas, aku mau pulang. aku kangen umi dan mama." Ucapnya kecil hampir berbisik.
Rehan mengangkat alisnya, meneliti wajah sang istri barangkali istrinya ini sedang bercanda. Mereka baru sampai semalam dan sekarang sudah ingin kembali ke negara asal.
"Mas jadi penasaran deh, diantara ketiga anak kita, siapa kiranya yang selalu punya keinginan diluar dugaan?" Sebelah tangannya mengelus dagunya sendiri, pura-pura berpikir serius.
Serena tak bisa menahan senyumnya menatap dengan perasaan sedikit malu pada suaminya itu. "Ini kayaknya bukan keinginan mereka tapi keinginan aku drh, Mas. Aku nggak mau kemana-mana lagi. Mau di rumah saja sama mas dan keluarga kita sambil nunggu anak-anak datang bersambut." Ucapnya cerah.
"Apapun untuk mbak istri." Kata Rehan sudah pindah tempat duduk ke samping istrinya. Ia mencium kening Serena lama, meresapi setiap detik kebersamaan mereka. Ia tidak tahu kenapa pada sudut hatinya ada sedih yang melanda. Sudah dsri beberapa hari yang lalu ia rasakan. Namun tak juga mampu ia keluarkan dan alasannya, entah apa.
"Mas kenapa nangis?" Tanya Serena tiba-tiba setelah merasakan ada air yang mengenai wajahnya, ia langsung mendongak melihat sang suami. Alih-alih menjawab, Rehan justru menarik Serena dalam pelukan. Ia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher istrinya.
"Jangan jauh-jauh dari Mas, ya, sayang?"
"Tentu saja tidak. Mas nggak nangis gara-gara aku ngajak pulang, kan?" Tanya Serena memastikan. Sebab jika itu bebar, ia sungguh sudah menjadi istri yang tidak baik. Rasa bersalah tiba-tiba menyelusup dalam hati.
Rehan menggeleng, "mas juga mau pulang saja. Mas takut Mbak istri kenapa-napa di sini. Kalau di rumah masih ada umi, mama, atau ibu. Sekalipun mas sudah belajar tentang bagaimana menghadapi jika saja mbak istri kesakitan karena mau melahirkan, tetap saja pengalaman adalah ilmu terbaik daripada sekedar teori."
"Masih...." kalimat Serena terhenti ketika seseorang menutup matanya dari belakang. Ia meraba-raba tangan itu namun tak terpikirkan siapapun. Sependek yang dia ingat, teman-temannya tidak ada yang stay di paris atau ia pernah janjian dengan seseorang? Tidak-tidak, ia tak pernah janjian dengan siapapun.
"Ayo tebak kami siapa?" Suaranya terdengar familiar.
"Aku Serena, kamu siapa?" Tanya Serena tak mampu memikirkan siapapun.
Kemudian perempuan yang tadi menutup matanya berdecak pelan seraya melepaskan tangannya dsri mata Serena. "Assalamualaikum," sapanya dengan bibir mencebik.
"Waalaikumussalam, Kak Farah!" Suara Serena hampir terpekik. Binar di matanya dalam sepersekian detik kembali lagi.
"Gitu, ya, udah lupa sama saudara sendiri." Protes Farah.
"Kakak apa kabar? Katanya sedang sibuk persiapan fashion show."
"Kakak nggak mungkin, nggak punya waktu buat ketemu kamu. Kenapa nggak bilang kalau ke Paris?"
"Tadinya mau bilang, tapi kakak sibuk. Takut kalau kakak akan kepikiran." Jawab Serena.
Mereka akhirnya tenggelam dalam obrolan panjang seputar calon baby Serena dan karir Farah yang baru saja dimulai. Katanya perempuan itu sudah akan kembali ke Indonesia karena prospek di sana juga lebih besar. Ia tak segan meminta bantuan adiknya itu untuk melihat dab menilai dari sisi keuangan dan peramalan untuk beberapa waktu ke depan.
Sementara Rehan, laki-laki itu pamit entah kemana. Ia hanya memberikan ruang kepada kedua saudara itu yang sudah lama tak jumpa. Meski komunikasi tetap terjalin, namun tetap saja rasanya berbeda jika bertemu secara langsung seperti ini.
***
Tbc
Haha, masih ada yg nungguin.
Tenang, ini udah otewe END kok. Sikit lagi..
Selamat menunaikan ibadah puasa.
Jangan lupa lma waktunya dan yuk tingkatkan hafalan. ❤❤❤❤😘
Love you more..
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING Art
RomanceBeberapa orang mengatakan bahwa nikah itu enaknya 5%, sedangkan 95% enak banget! Rehan membenarkan hal tersebut. Pada akhirnya Serena adalah takdirnya, menjadi tempatnya berpulang. Menjadi tempat ia menangis ketika sedih, tempat tertawa ketika ia ba...