Setelah tidak masuk kerja satu hari dan kemarin hanya masuk setengah hari, sekarang ia kewalahan dengan pekerjaan yang menumpuk. Jika saja Bita tidak merecokinya sejak kemarin, sungguh ia tidak berniat ke kantor. Sejak pagi ia sampai di ruangan ia sudah menghubungi istrinya memaksa untuk video call. Padahal tak ada hal yang mereka bicarakan, hanya saja Rehan selalu merindukan wajah teduh itu.
Serena di seberang sana juga tidak melakukan apa-apa dan hanya mengikuti kemauan Rehan yang semakin hari semakin aneh saja. Ia sempat menolak ide video call dari Rehan sebab perempuan tersebut belum mandi atas permintaan Rehan sejak semalam, ia merasa tidak enak dengan suaminya kalau harus menampilkan wajah bantalnya. Namun Rehan mengancam akan pulang jika Serena tetap menolaknya. Sementara Bita—Sekretaris Rehan bukan hanya merecoki Rehan, akan tetapi juga Serena. Karena Rehan sempat menonaktifkan ponselnya ketika laki-laki itu sedang di rumah.
Suara ketukan pintu membuyarkan konsentrasi Rehan dari tumpukan map di depannya dan juga layar ponsel yang menampilkan wajah Serena dengan mata terpejam. Istrinya itu akhir-akhir iuni gemar sekali rebahan. Akan tetapi Rehan tidak mempermasalahkannya, dibandingkan dengan melihat Serena melakukan pekerjaan rumah yang berat-berat, ia lebih menyukai jika istrinya itu tidur seperti ini.
Rehan kemudian mengangkat wajahnya untuk melihat siapa gerangan yang datang, sosok Bita yang muncul diikuti oleh Elina dari belakang.
"Maaf, Pak, Nona Elina katanya ingin bertemu Bapak." Kata Bita sambil menunjuk sopan kepada Elina yang kini sudah berdiri di sampingnya.
"Baik, Mbak Bita. Terima kasih." Ujar Rehan kemudian.
Ia kemudian mengalihkan pandangannya kepada Elina yang langsung duduk di sofa tanpa diperintah. "Ada apa, El?" Tanya Rehan melihat wajah Elina yang sedikit cemberut. Sementara Bita sudah keluar, kembali ke mejanya.
"Mas mau menemaniku makan siang nanti?" Tanya Elina menyampaikan maksud kedatangannya pagi menjelang siang ini.
Rehan melirik tumpukan map di depannya bergantian dengan Elina yang menatapnya penuh harap. "Oke." Akhirnya satu kata itu yang dikeluarkan. Ia tidak tega dengan adiknya ketika sudah mengeluarkan tatapan berkaca-kacanya
Elina seketika bersorak gembira, "aku tunggu di sini saja, ya, Mas." Ucapnya dengan semangat. Wajah cemberutnya sudah hilang entah kemana berganti dengan raut ceria nan manja. Tangannya kini sibuk mengetikkan sesuatu untuk ia kirim kepada seseorang. Sedagkan Rehan mengirim pesan singkat kepada Serena bahwa siang ini ia akan makan siang dengan Elina.
Gadis yang menempati sofa itu melihat kepada Rehan penuh makna, tak ada yang tahu apa yang sedang ia pikirkan. Diam-diam tangannya mengarahkan kamera ponsel pintar kepada Reha yang sedang serius di balik meja. Kedua mata laki-laki itu terbingkai oleh kacamata dan menekuni satu per satu berkas di depannya. Ketampanan Rehan bertambah berkali-kali lipat jika sedang serius seperti ini.
***
Elina bergelayut manja di lengan kiri Rehan, keduanya berjalan memasuki café sesuai dengan permintaan Elina saat Rehan tadi menanyakan gadis itu mereka akan makan di mana. Café yang mereka kunjungi ini cukup ramai dengan orang-orang berpenampilan tak jauh berbeda dengan Rehan—formal dengan jas atau kemeja rapi. Rehan mengerutkan keningnya kala Elina sedikit menarik lengannya ke arah sebuah meja yang sudah terisi oleh seseorang perempuan yang duduk membelakangi mereka.
"Hai, Mbak Salsa." Sapa Elina yang semakin menambah keheranan di wajah Rehan.
Perempuan itu berbalik, wajahnya berubah cerah melihat kedatangan Elina. Ia pun segera berdiri dan memluk singkat Elina sebagai salam pertemuan. "Kamu sudah datang, dek." Katanya. Salsa kemudian beralih pada Rehan dengan tatapan tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING Art
RomanceBeberapa orang mengatakan bahwa nikah itu enaknya 5%, sedangkan 95% enak banget! Rehan membenarkan hal tersebut. Pada akhirnya Serena adalah takdirnya, menjadi tempatnya berpulang. Menjadi tempat ia menangis ketika sedih, tempat tertawa ketika ia ba...