Serena perlahan membuka mata yang tampak sayu. Selepas sholat subuh tadi ia dan suaminya kembali tidur karena merasa kurang istrirahat. Namun sedikit saja ia bergerak seluruh tulang seolah lepas, bagian lain dari dirinya terasa sakit sekaligus nyeri. Ia melihat ke sebelahnya tapi tak mendapati sang suami di sana. Kepalanya kembali menoleh ke sebelah dan mendapati dua pasang mata yang tengah menatapnya hangat. Senyum Secerah matahari tersuguhkan di wajah tampan yang tak pernah bosan untuk ia nikmati. Wajah Rehan adalah karya lain dari Tuhan yang sangat patut untuk diberi apresiasi. Serena yang ditatap dengan demikian intens dan hangatnya mengangkat selimut yang membungkus tubuhnya untuk menenggelamkan kepalanya karena malu dan bersemu.
Sementara Rehan sejak ia bangun dan menyelesaikan mandi kedua kalinya seteleh sebelumnya ia mandi sebelum subuh tadi kini duduk dengan letupan kembang api di perutnya. Ia duduk di kursi tak jauh dari ranjang sambil menikmati wajah Serena alih-alih menikmati matahari pagi yang katanya menyehatkan. Matanya lebih memilih untuk menikmati wajah yang tadi belum juga membuka mata dan tampak jelas gurat lelah di wajah ayu itu. Jika Serena pikir Rehan tersenyum saat gadis itu membuka mata, maka Serena salah. Rehan tak bisa menutupi rasa bahagianya karena telah menjadi suami yang seutuhnya untuk sang istri tercinta. Hingga senyum itu tak pernah pudar bahkan terlihat menyilaukan. Rehan bangkit dari duduknya, mendekati Serena untuk menurunkan selimut yang menutupi wajah istrinya.
Serena menutup matanya rapat-rapat karena malu menghadapi Rehan. Rehan terkekeh pelan dengan kelakuan Serena, pipi istrinya nampak memerah.
"Mau membersihkan diri?" Tanya Rehan pelan yang dijawab anggukan oleh Serena.
Serena kemudian memberanikan diri untuk mengulurkan kedua tangannya ke arah Rehan. "Gendong." Pinta gadis itu manja. Sejujurnya Serena sedang kesakitan pada bagian lain dirinya, namun ia belum berani mengutarakannya kepada sang suami takut jika Rehan akan merasa bersalah.
Dengan senang hati Rehan mengangkat tubuh ringan Serena beserta selimutnya. Rehan sedikit tersentak dengan darah di atas ranjang. Bukan, itu jelas bukan darah saat pertama mereka melakukannya karena Rehan sendiri sempat menggantikan sprai saat subuh tadi sebelum ranjang itu mereka gunakan kembali. Ia tak bisa dengan jelas melihat wajah Serena dalam gendongannya karena gadis—ah, wanitanya menenggelamkan wajah pada dadanya yang di sadari Rehan bahwa itu adalah tempat favorit istrinya. Namun Serena tidak mengeluhkan apapun sejak tadi.
Rehan meletakkan tubuh Serena dalam bath-up yang sebelumnya sudah ia isi dengan air hangat. Jika biasanya Serena yang menyiapkan air untuk mandinya, kini Rehan tak mau kalah. Ia menyiapkan air hangat untuk istrinya. Rehan sedikit menelisik wajah Serena yang sempat meringis kecil tadi. Wajah itu nampak kuyu dan pucat. Wajah cerah Rehan berganti khawatir yang menyerangnya tiba-tiba.
Serena mengangkat wajahnya malu-malu sambil berusaha tersenyum, tatapan mata itu tampak sayu. Rehan sedikit menyeka busa tempat istrinya berendam dan mendapati airnya sedikit merah. Rehan sedikit terburu-buru kelauar dari kamar mandi meninggalkan istrinya di sana yang melihatnya heran. Rehan melihat ranjang berisikan darah di sana, segera laki-laki itu menyambar handuk dan masuk kembali ke dalam kamar mandi, mendapati Serena tengah tertunduk. Rehan mengangkat tubuh itu tanpa ada bantahan sedikitpun dari Serena.
Meski kaget, Serena tak protes apapun ketika tiba-tiba Rehan mengangkat tubuhnya dan karena ia merasa kehilangan tenaga dan darah yang keluar dari tubuhnya. Rehan panik luar biasa, segera ia mendial nomot Andes untuk menunjukkan akses rumah sakit atau puskesmas atau apapun yang sejenisnya.
Dengan telaten Rehan memasang semua baju istrinya, "kita ke dokter ya, sayang." Katanya lembut kepada Serena.
Serena kembali mengangguk kecil. "Kenapa tidak bilang kalau ada yang sakit?" Tanya Rehan hampir berbisik.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING Art
RomanceBeberapa orang mengatakan bahwa nikah itu enaknya 5%, sedangkan 95% enak banget! Rehan membenarkan hal tersebut. Pada akhirnya Serena adalah takdirnya, menjadi tempatnya berpulang. Menjadi tempat ia menangis ketika sedih, tempat tertawa ketika ia ba...