Hari ini Rehan memaksa Serena untuk ikut bersamanya ke kantor. Ia tidak rela meninggalkan Serena di rumah sekalipun ada ART. Jadilah perempuan tersebut duduk sofa yang sudah Rehan persiapkan demi kenyamanan sang istri tercinta.
"Mas," panggil Serena.
Rehan yang tadi sedang membaca berkas langsung mengangkat kepala. Ia melihat Serena hangat.
"Sini deh." Pinta Serena matanya penuh binar hingga membuat sang suami penasaran.
"Tangannya mana."
Rehan hanya mengikuti apa yang Serena minta, ia memberikan tangannya yang kemudian dibawa oleh perempuan tersebut ke atas permukaan perutnya.
"Coba sholawat, Mas." Kata Serena lagi.
Rehan pun mengikuti permintaan sang istri dengan senang hati. Belum kelar sholawat tersebut terucap, perut Serena yang ia pegang bergerak kecil. Ia mengangkat pandangannya melihat Serena yang tersenyum manis. Kemudian kembali berpindah ke perut tersebut yang masih bergerak. Matanya yang tadi kering kini mulai berair, bukan karena sedih. Melainkan karena bahagia yang marasuki hati. Ia memeluk istrinya erat, merengkuhnya dalam dekapan hangat yang meneduhkan. Berkali-kali ia memcium kepala Serena.
"Terima kasih, sayang. Terima kasih." Ucap Rehan pelan. Ia benar-benar menangis bahagia sekarang. Beban yang tadi mendera menguap entah kemana.
Tahu apa yang paling disyukuri dalam sebuah pernihakan? Itu adalah berbagi, berbagi cerita, bahagia atau bahkan sakit. Bukan hal besar yang yang diinginkan oleh pasangan. Melainkan hal kecil sekalipun.
"Mas kalau suatu saat aku pergi, mas bakalan nikah lagi nggak?" Tanya Serena dengan polosnya.
Rehan tampak berpikir, "kalau itu adalah kamu, Mas mungkin akan goyah. Tapi jika itu bukan Mbak Istri, Mas nggak akan yakin."
"Jangan nikah lagi, ya, Mas. Nanti aku nggak ada temannya di surga." Kata Serena sambil terkekeh. Mata Serena mulai redup pertanda jika perempuan tersebut mulai mengantuk. Sedangkan Rehan sudah bersiap hendak keluar untuk meeting. Ia tersenyum sambil mengusap surai sang istri dari luar jilbab yang dikenakan, kemudian mengecup sekilas bibir berwarna merah muda tersebut. Lihat saja, bahkan saat tidur pun pipi istrinya bersemu kemerahan. Jika Rehan tidak ingat bahwa ia sebentar lagi akan rapat, ia akan sangat betah bahkan hanya sekedar melihat Serena yang terlelap.
Rehan keluar dari ruangannya meninggalkan Serena yang terlelap di sana. Ada khawatir, tapi meski begitu ia tetap melanjutkan langkah. Menuju ruang meeting yang mungkin hanya tinggal menunggu dirinya saja. Ada banyak proyek baru yang ia menangkan beberapa waktu lalu. Pandai-pandai ia memilih mana yang menjadi prioritas, ia tidak ingin tenggelam dalam pekerjaan hingga keluarga terabaikan.
Sejujurnya ia sudah mulai mendaftarkan orang-orang yang terpercaya, yang mungkin bisa ia embankan tugas. Meski ada sedikit rasa trauma yang membekas akibat kelalaiannya dalam mendidik karyawan. Tapi ia juga tidak mungkin mengemban semua sekaligus.
***
Mata Serena mengerjap pelan, mendapati sebuah box kecil yang terbalut pita. Ada gambar sebuah ponsel terpatri di sana. Beberapa hari ini ia hanya menggunakan ponsel lama yang hanya bisa membalas pesan atau telponan semata. Hp yang hanya sebesar tiga jarinya saja, karena ia memberikan ponselnya kepada Rehan yang lebih membutuhkan.
Tapi sosok Rehan sekarang sedang tidak berada di ruangan. Ia mengambil kotak tersebut dan menemukan post-it menempel di sana.
For my sweet partner in my life.
From Mas Suami.
Yakin itu datangnya dari suaminya, lantas ia langsung membukanya. Samsung Flip. Rasanya Serena ingin berteriak kesenangan, walaupun ia tak pandai teknologi namun beberapa waktu lalu ponsel tersebut pernah didamba. Rehan rela memberikannya yang baru, alih-alih membeli untuk dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING Art
RomanceBeberapa orang mengatakan bahwa nikah itu enaknya 5%, sedangkan 95% enak banget! Rehan membenarkan hal tersebut. Pada akhirnya Serena adalah takdirnya, menjadi tempatnya berpulang. Menjadi tempat ia menangis ketika sedih, tempat tertawa ketika ia ba...